Selasa, 11 April 2023

Perempuan di Teras Masjid

 

Ini adalah malam ke-27 Ramadan. Malam yang banyak dinanti para tetua di Kompleks Sriwijaya Makmur. Biasanya, peserta iktikaf lebih banyak daripada malam sebelumnya. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai awal Ramadan, penghuni kompleks sepakat bahwa malam ke-27 jatuh pada malam ini.

Bagi anak-anak, iktikaf di masjid selalu menyenangkan. Bukan untuk tadarus Al-Qur’an atau shalat malam, tapi ajang bertemu dan bermain. Mereka berlarian kian kemari. Berkejaran satu sama lain. Ada yang asyik mengotak-atik rubik atau memainkan games di gawai. Kalau bosan di masjid, mereka berpindah arena bermain di luar masjid. Alhasil, jalanan sekitar jadi ramai. Bahkan hingga ke beberapa gang di luar masjid.

Namun, ada yang kurang suka dengan keriuhan anak-anak di masjid apalagi saat iktikaf. Pak Barno, misalnya. “Hei! Kalau mau main-main, jangan di dalam masjid! Keluar sana!” suara Pak Barno keras dan menggelegar. Usianya yang sudah uzur tak membuatnya kehilangan ketegasan. Kalau sudah mendengar bentakan Pak Barno, anak-anak diam. Tak lagi terdengar suara. Pelan tapi pasti, mereka menepi ke tembok masjid lalu keluar melalui celah pintu yang sedikit terbuka.

Anehnya, begitu keluar dari ruang utama masjid, suara mereka kembali bersahutan. Riuh sekali. Kalau sudah begini, Pak Barno hanya bisa geleng-geleng kepala sembali berkacak pinggang. Tak ada orang tua yang berani melarang Pak Barno. Mereka paham kalau sebetulnya Pak Barno tak benar-benar marah. Dia hanya ingin mengingatkan anak-anak supaya tidak berisik di dalam masjid. Nyatanya, setelah itu ia kembali tersenyum kepada semua yang masih ada di dalam masjid.

Iktikaf juga menjadi berkah buat pedagang kaki lima yang berjualan di malam hari. Pedagang bakso dan nasi goreng panen rezeki. Seperti sudah direncanakan, para pedagang selalu mendatangi area masjid di atas jam sepuluh malam sesudah berkeliling ke tempat lain.

Ketika waktu mendekati jam sebelas malam, anak-anak kembali ke masjid. Mereka merengek lapar, minta dibelikan makanan. Kalau sudah begini, orang tua tak tega membiarkan anak-anak mereka menahan lapar. Meski sadar makan terlalu larut malam apalagi menjelang tidur tak baik bagi kesehatan.

Sekitar jam dua belas malam, makin banyak orang berdatangan dari berbagai arah. Ada yang ke ruang utama masjid, ada pula yang langsung duduk di selasar. Kaum wanita langsung naik tangga menuju lantai atas. Setelah menggelar sajadah, mereka menegakkan shalat. Lembar-lembar mushaf dibuka. Alunan bacaan Al-Qur’an menggema dari semua sudut masjid. Anak-anak tetap pada permainannya di dalam dan di luar masjid, meskipun jumlahnya makin sedikit. Sebagian dari mereka sudah memejamkan mata.

Di sudut depan ruang utama masjid, Pak Sabar menggerak-gerakkan jemarinya. Menghitung satu demi satu kalimat zikir yang keluar dari mulutnya. Sisi itu seolah menjadi kavling tetap Pak Sabar sejak iktikaf dimulai pada malam ke-21 Ramadan. Tak ada jamaah iktikaf yang berani menempatinya. Bahkan Pak Barno sekali pun.

Ada satu hal yang selalu melekat dengan aktivitas iktikaf Pak Sabar dan diketahui oleh seluruh jamaah masjid. Selain kebiasaannya beriktikaf selama sepuluh hari di masjid tanpa pulang ke rumah, jamaah kerap melihat Bu Sa’adah, istri Pak Sabar. Perempuan itu selalu berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari suaminya selama beriktikaf terutama makanan dan pakaian. Ia tahu betul kebiasaan suaminya yang meninggalkan kegiatan duniawi selama sepuluh hari terakhir Ramadan.

Tak semua orang bisa meniru cara iktikaf Pak Sabar. Ada yang masih harus bekerja kantoran, berdagang, atau mencari rezeki dengan cara lain. Bagi mereka, iktikaf hanya bisa dikerjakan di malam hari. Waktunya dari selesai shalat tarawih hingga usai shalat shubuh. Setelah itu mereka bekerja kembali mencari karunia Allah SWT. Orang-orang seperti ini berdalih, “Kami memperbanyak iktikaf sesuai dengan kemampuan kami.”

Pak Sabar menugasi istrinya mengantarkan pakaian ganti ke masjid. Di saat yang bersamaan, pakaian yang sudah kotor ditempatkan di sebuah kantong plastik lalu dibawa pulang Bu Sa’adah. Soal makanan, Bu Sa’adah tak lagi khawatir. Panitia selalu menyediakan menu sahur dan buka puasa di masjid tanpa mewajibkan jamaah membayarkan sejumlah uang. Meskipun demikian, Pak Sabar tak pernah absen berinfak untuk panitia. Ia tak ingin menjadi beban orang lain. Untuk menambah gizi, Bu Sa’adah mengantarkan buah-buahan seperti nanas, anggur, atau pisang, serta kurma sebagai makanan kesukaan Pak Sabar.

Suara anak-anak sudah tak ada lagi. Mereka sudah lelap dan terbuai dengan mimpinya sendiri-sendiri. Pak Sabar dan para tetua lainnya makin khusyuk membaca Al-Qur’an. Bagi mereka, inilah waktu yang paling nikmat untuk berdialog dengan Sang Maha Kuasa. Melalui huruf-huruf Al-Qur’an yang dibaca, hati-hati mereka seperti dimasuki embun sejuk yang menenangkan batin. Ada yang berdoa hingga menitikkan air mata. Sungguh samudera kenikmatan batin yang luar biasa.

Waktu terus beranjak. Jamaah iktikaf yang tertidur mulai bangun. Namun, ada yang masih membaca Al-Qur’an. Pak Barno menyalakan mikrofon dan memberikan pengumuman, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jamaah yang semoga dirahmati Allah. Jam di Masjid Al Ikhlas menunjukkan pukul setengah tiga. Jamaah yang ingin melaksanakan shalat malam agar segera bangun, bersuci, dan berkumpul di ruang utama masjid. Imam shalat kita adalah Ustadz Yusuf dan alhamdulillah telah hadir di tengah-tengah kita.”

Tepat pukul empat pagi. Shalat malam usai sudah. Jamaah iktikaf bersiap untuk santap sahur. Seorang panitia bernama Mi’an sibuk membagikan makanan sahur. Tinggal dua kotak nasi yang belum dibagi. Loh? Harusnya sisa satu saja. Untuk dirinya. Berarti ada satu orang yang belum mengambil jatah makan sahur. Mi’an meneliti satu per satu jamaah yang sedang menikmati sahur. Rupanya Pak Sabar masih di tempatnya beriktikaf. Ia tak beranjak sedikit pun. Mi’an mencoba menyapa Pak Sabar.

“Assalamu’alaikum, Pak Sabar.”

“Wa’alaikumussalam. Ya, kenapa, Mas Mi’an?”

“Maaf, Pak. Sepertinya Bapak belum ambil makan sahur. Nasinya masih sisa satu.”

“Oh, iya, Mas Mi’an. Sebentar ya. Saya masih menunggu istri saya datang. Biasanya dia ke sini menjelang makan sahur. Ada pakaian dan buah-buahan yang mau dia bawa buat saya. Tapi, sampai saat ini istri saya belum datang.”

“Kalau begitu, nasinya saya bawa ke sini ya, Pak Sabar.”

“Nanti saja, Mas. Saya tunggu istri saya dulu.”

Mi’an tak berani membantah. Ia berbalik arah lalu menuju meja panitia. Sisa satu kotak nasi ia sisihkan untuk Pak Sabar.

Waktu makin mendekati adzan shubuh. Kira-kira tinggal sepuluh menit lagi. Tapi, Pak Sabar belum juga mengambil makan sahur. Mi’an makin resah. Ia merasa bersalah kalau sampai Pak Sabar tak makan sahur hari ini. Sekali lagi, ia mencoba mendekati Pak Sabar yang masih khusyuk berzikir.

“Maaf, Pak Sabar,” sapa Mi’an dengan sopan.

Pak Sabar menghentikan zikirnya. Ia menoleh ke arah suara.

“Sepuluh menit lagi adzan shubuh. Sebaiknya Pak Sabar segera makan sahur dulu.”

“Sebentar ya, Mas Mi’an. Saya telepon istri dulu. Kok sampai sekarang belum juga ke sini.”

Mi’an menyodorkan kotak berisi makan sahur, tapi Pak Sabar memberikan isyarat menolak. Mi’an kebingungan. Pak Sabar memencet tombol gawai untuk menghubungi istrinya yang berada di rumah. Tapi, teleponnya tak dijawab.

Tiba-tiba, Pak Sabar memegang pundak Mi’an. “Mas Mi’an,” kata Pak Sabar pelan, “saya minta tolong. Mas Mi’an bisa antar saya ke rumah? Saya ingin memastikan istri saya baik-baik saja.”

“Baik, Pak,” jawab Mi’an. Ia bergegas mengantar Pak Sabar ke rumahnya yang jaraknya tak sampai seratus meter dari masjid.

Pak Sabar melihat sesuatu yang aneh dari rumahnya. Lampu ruang tengah masih menyala, tapi tak ada aktivitas penghuni rumah. Ia dan Mi’an bergerak masuk. Pintu tak terkunci.

“Assalamu’alaikum,” Pak Sabar mengetuk pintu ruang tamu. “Bu …! Ini Bapak. Ibu belum bangun?” Pak Sabar kemudian mengulangi salamnya hingga tiga kali. Namun, tak ada jawaban sama sekali.

“Mi’an, kamu tunggu di sini ya. Saya mau masuk ke kamar,” kata Pak Sabar kepada Mi’an.

Pak Sabar terkejut melihat sosok istrinya dalam posisi tertidur. Ada sedikit senyum di bibir perempuan itu. Perempuan itu tak kunjung membuka mata menyambut kedatangan suaminya. Kedua tangannya bersedekap. Dahinya sedikit basah oleh keringat. Tak terlihat gerakan naik-turun dari dadanya. Lengan nadinya dipegang, tak ada denyut sama sekali. Pak Sabar sadar apa yang terjadi pada istrinya.

“Mi’an, tolong masuk!” Pak Sabar berkata agak keras.

Mi’an pun memasuki kamar Pak Sabar. Dilihatnya Pak Sabar mengelus-elus dahi istrinya sembari menitikkan air mata.

“Bu, maafkan Bapak, ya. Sudah membuat repot Ibu selama ini,” ujar Pak Sabar pelan. Adzan shubuh berkumandang, tapi bukan suara Mi’an.

Tiga tahun berselang sejak kejadian shubuh itu, Pak Sabar pindah rumah ke daerah Jonggol. Di sana ia tinggal bersama anak dan cucunya. Makam almarhumah Bu Sa’adah berada di dekat rumah tersebut. Rumah di Kompleks Sriwijaya Makmur dikontrak oleh seorang pegawai pemda.

Waktu kembali memasuki bulan Ramadan di sepuluh hari terakhir. Iktikaf kembali diadakan di Masjid Al Ikhlas. Seperti biasa, kekhusyukan jamaah diselingi dengan keriuhan anak-anak bermain. Mereka sudah beda generasi. Namun, keceriaan anak-anak sepertinya sama saja. Mereka tak terlalu peduli pada tilawah, doa, dan zikir orang tua. Mereka hanya ingin bertemu dengan teman bermain dan menikmati malam-makam indah di masjid. Tidur di karpet masjid, lalu menyantap menu sahur bersama-sama sambil terus bercengkrama.

Menjelang pukul empat pagi, jamaah iktikaf mulai mengambil jatah makan sahur. Mi’an bersama Jerri, marbot baru di masjid itu, masih sibuk melayani jamaah yang hendak mengambil nasi kotak. Usai tugas tersebut, mereka berdua siap untuk bersantap sahur. Jerri berjalan ke arah tempat wudhu pria. Ia hendak mencuci tangan. Kebetulan letak tempat wudhu dekat dengan teras masjid, tempat jamaah meletakkan sandal dan sepatu.

Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab rapi mendekati Jerri. Ia datang dari pintu dekat teras masjid.

“Assalamu’alaikum, Mas!” sapa perempuan tersebut.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Jerri.

“Maaf, Mas. Mas marbot baru di sini?”

“Benar, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Jerri bertanya sambil membungkukkan badan. Marbot yang satu ini memang dikenal sangat sopan kepada siapa saja. Kalau berbicara selalu menundukkan kepala. Jika bertemu dengan orang yang disegani, ia tak ragu untuk bersalaman lalu mencium tangan. Jamaah suka dengan perilaku Jerri. Bahkan, setiap jamaah laki-laki yang berpeci putih selalu dipanggilnya “Pak Haji”.

“Maaf, Mas. Saya minta tolong titip bungkusan ini buat Pak Sabar. Beliau sedang beriktikaf di masjid ini. Tolong ya, Mas?” ujar perempuan itu sambil menyerahkan kotak terbungkus plastik kresek putih.

“Oh, iya, Bu. Insya Allah nanti saya serahkan,” jawab Jerri. Lagi-lagi ia membungkukkan badan.

“Kalau begitu terima kasih, Mas. Saya pulang dulu,” kata perempuan itu.

Jerri mengurungkan niatnya mencuci tangan. Ia bersegera menemui Mi’an. Sejujurnya ia tak tahu siapa Pak Sabar. Pikirnya, nanti biar ditanyakan ke Mi’an saja. Sebagai marbot yang sudah lebih lama bekerja daripada dia, Jerri yakin kalau Mi’an pasti tahu siapa Pak Sabar.

“Mas Mi’an!” Jerri memanggil Mi’an yang sedang menikmati suapan nasi kotak lauk rendang ayam.

“Ada apa, Jerri?”

“Mas tahu Pak Sabar?”

“Hah? Pak Sabar?” Mi’an menghentikan kunyahan makanannya. Matanya melotot menatap Jerri.

“Ada apa, Mas Mi’an? Mas tahu tidak Pak Sabar? Apa benar orang tersebut iktikaf di sini?” tanya Jerri tak sabar ingin mendapatkan jawaban dari Mi’an. Ia berpikir ingin segera mencuci tangan dan bersantap sahur.

“Pak Sabar yang biasa iktikaf di sini?” tanya Mi’an.

“Iya kali, Mas. Aku kan tak paham. Ini ada ibu-ibu titip bungkusan buat Pak Sabar. Katanya Pak Sabar sedang iktikaf di sini. Terus terang aku tak tahu siapa Pak Sabar. Makanya saya tanya Mas Mi’an.”

“Astaghfirullah…! Serius kamu?” tanya Mi’an. Suaranya agak keras. Beberapa orang di sekelilingnya menoleh ke arah Mi’an.

“Mengapa, Mas? Ada yang salah?” tanya Jerri makin bingung.

“Pak Sabar yang biasa iktikaf? Beliau kan sudah pindah ke Jonggol. Sudah tidak iktikaf di sini lagi. Lalu, perempuan itu siapa?”

Jamaah mulai sadar apa yang menjadi perbicangan antara Mi’an dan Jerri.

“Coba buka bungkusannya,” pinta Mi’an.

Jerri pelan-pelan membuka bungkusan kresek putih itu. Di dalamnya ada beberapa pakaian bersih serta kotak mika berisi pisang dan potongan buah nanas, serta kurma sebagai makanan kesukaan Pak Sabar. Persis isi bungkusan yang biasa diantar untuk Pak Sabar dari istri beliau, Bu Sa’adah.

“Kamu lihat muka perempuan itu?” tanya Mi’an makin penasaran.

“Aku tak terlalu memperhatikan. Dia berjilbab putih. Ada tahi lalat terlihat jelas di samping hidungnya,” jawab Jerri.

“Allahu akbar! Bu Sa’adah!” Mi’an mencoba menahan kata-katanya. Ia sadar sedang menjadi perhatian jamaah yang sedang makan sahur.

“Siapa Bu Sa’adah, Mas Mi’an?” Jerri bertanya dengan polosnya.

“Dulu, Pak Sabar adalah jamaah aktif di sini. Beliau selalu beriktikaf di selupuh hari terakhir tanpa putus. Makan, istirahat, beribadah, semua beliau lakukan di masjid. Bu Sa’adah selalu mengantarkan makanan dan pakaian untuk Pak Sabar. Pekerjaan itu dilakukan bertahun-tahun. Selalu seperti itu di setiap sepuluh hari terakhir Ramadan,” Mi’an seperti sudah tak bernafsu makan lagi.

“Jadi…” Jerri mencoba menebak arah pembicaraan Mi’an, “benar kan, kalau bungkusan Bu Sa’adah ini diberikan untuk Pak Sabar?”.

“Masalahnya,” Mi’an menarik lengan Jerri. Ia mulai kesal. Disuruhnya Jerri untuk duduk di sampingnya. Mi’an melanjutkan perkataannya. Kali ini lebih pelan lagi, “Bu Sa’adah sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Pak Sabar sudah tidak tinggal di sini lagi!”

“Hah?”

Semua mata menoleh ke arah Jerri yang mengatupkan telapak tangannya ke mulutnya. Sebentar lagi waktu mendekati adzan shubuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar