Rabu, 28 September 2022

Wedangan Pendhopo yang Aduhai

 

Kota Solo. Apa yang terbayang ketika berbicara tentang kota ini? Baju batik, wanita yang lemah gemulai koyo macan luwe, atau kuliner tradisional yang enak dengan harga murah? Ya, gambaran itu tak ada yang salah sama sekali.

Mus Mulyadi pernah memopulerkan lagu berjudul Kota Solo. Liriknya seperti ini: Kota Solo kota tempat kesenian asli, tarian indah murni irama yang mengiringi, banyak pesiaran sejak purba hingga kini, para agung serta pendeta sungguh maha sakti. Indah, bukan?

 

Dari sekian banyak daya tarik Kota Solo, saya ingin bercerita tentang makanan tradisionalnya. Biasanya, hidangan khas Solo disajikan di warung-warung kecil. Ada gerobak tempat menempatkan menu makanan dan minuman, kursi panjang dari kayu, dan atap sederhana yang terbuat dari plastik tenda atau seng.

Karena diidolakan oleh masyarakat kampung, orang menyebut makanan di warung-warung itu dengan Hidangan Istimewa Kampung atau disingkat HIK. Kini, anda sudah tahu mengapa warung hik menjamur di hampir setiap sudut Kota Solo.

***

Hari beranjak malam ketika saya beserta istri dan kawan-kawan meninggalkan hotel menuju ke sebuah tempat sajian khas Solo. Lokasi yang dituju tak jauh dari Hotel Paragon di kawasan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Lho, kok Surakarta? Bukan Solo? Ah, panjang sekali kalau bicara soal ini dan saya tak akan bercerita panjang lebar untuk mengulasnya. Maaf.

Menyusuri Jalan Adi Sucipto ke arah timur, kendaraan yang saya tumpangi melewati perempatan lampu merah Manahan. Terus melaju ke timur melewati Stadion Manahan di sebelah kiri.

Di sisi tenggara stadion terdapat jalan layang yang membelokkan arah kendaraan ke kanan menuju lapangan Kota Barat. Persis di selatan lapangan, kendaraan berbelok ke kiri, lalu ke kiri lagi hingga memasuki Jalan Yosodipuro. Belok kanan sedikit, lalu nampak petunjuk nama jalan di sisi kiri: Jalan Telasih II.

Tak jauh dari pintu masuk Jalan Telasih II, seorang juru parkir segera berdiri dan langsung mengarahkan kendaraan untuk parkir di sisi kanan. Rupanya itu adalah halaman sebuah sekolah: SMK Kanisius Surakarta.

“Wedangan Pendhopo, Mas?” saya bertanya kepada juru parkir. Saya mengira halaman sekolah itulah lokasi Wedangan Pendhopo. Rupanya perkiraan saya keliru.

“Ngapunten, Mas. Monggo parkir rumiyin wonten lebet,” jawab juru parkir dengan ramah. Artinya: “Maaf, Mas. Silakan parkir dulu di dalam.”

Usai memarkir kendaraan, saya dan rombongan berjalan ke luar halaman sekolah. Juru parkir memberikan petunjuk, “Wedangan Pendhopo wonten siseh tengen nggih, Mas. Margi ingkang alit.” Artinya: Wedangan Pendhopo ada di sisi kanan ya, Mas. Di jalan kecil.

Seperti yang dikatakan juru parkir, kami memang hendak menuju Wedangan Pendhopo. Konon, tempat ini digemari para pejabat Kota Solo termasuk Pak Jokowi dan keluarganya. Kami makin bersemangat dan pastinya penasaran dengan menu yang ada di tempat tersebut.

Wedangan Pendhopo terletak di Jalan Srigading I. Dari Jalan Yosodipuro yang barusan kami lewati hingga menuju Jalan Telasih II, posisi Jalan Srigading I berada di sisi kiri. Bangunannya sederhana.

Tembok yang sudah tua dihiasi kusen jati bercat hijau. Jendela yang terbuka dan ventilasi yang cukup lebar membuat ruang makan pengunjung tak terasa panas. Sejuk dan semilir.

Menu makanan dan minuman di Wedangan Pendhopo disajikan di luar rumah di sisi barat. Terdapat sebuah meja besar tempat aneka makanan dihidangkan antara lain nasi dengan berbagai pilihan: nasi bandeng, nasi oseng tempe, nasi ikan teri, atau nasi campur.

Ada lauk-pauk seperti berbagai jenis gorengan, sate-satean (sate kerang, sate kikil, sate paru, sate usus, dan sejenisnya), dan tahu bacem. Camilan seperti jadah (Sunda: gemblong) tanpa isi, jadah isi coklat, dan tapai ketan pun ada.

Di belakang meja, seorang wanita tua (diduga pemilik warung) sibuk mengambil nasi dan menempatkannya di sebuah piring seng dengan tatakan daun pisang. Porsinya pas. Tak bikin perut merasa kurang atau terlalu kenyang.

Persis di samping meja besar terdapat tungku pembakaran tempat memanggang penganan yang dipesan pengunjung. Ya, sebagaimana umumnya warung hik, penganan dihangatkan dengan cara dipanggang di atas arang. Bukan digoreng. Jadi, aromanya sangat khas.

Ketika saya menyodorkan makanan pilihan dan minta untuk segera dipanaskan, pelayan buru-buru mengatakan, “Sekedap nggih, Mas. Antre!” Artinya: sebentar ya, Mas. Antre! Saya diminta bersabar. Sabar, sabar…

Dalam jarak satu meter di samping tungku panggang, ada meja kasir. Di tempat ini terdapat daftar menu makanan berikut harganya. Jika anda bingung memilih jenis makanan dan minuman, silakan lihat daftar tersebut.

Setelah memilih jenis makanan dan minuman, menu yang dipilih ditempatkan dalam satu wadah untuk dihitung harganya sekaligus ditulis kode pembelinya. Pelayan meminta saya meninggalkan konter pemesanan dan memilih tempat duduk di dalam Pendhopo. Nanti ada petugas yang khusus mengantarkan makanan dan minuman ke meja pelanggan.

Selain makanan, ada beberapa pilihan minuman di Wedangan Pendhopo: susu, jahe, teh krampul (teh dicampur irisan lemon), atau wedang uwuh. Rata-rata minuman disajikan dengan air panas. “Benar-benar selera mbah-mbah,” batin saya.

Awalnya istri saya memesan pisang owol. Itu adalah penganan yang terbuat dari pisang goreng tepung yang dipotong-potong, lalu dilumuri susu kental manis dan ditaburi coklat. Kadang-kadang ditambah parutan keju. Tapi, rupanya menu itu sudah habis. Akhirnya, pilihan jatuh ke menu makanan berat: nasi dan lauk-pauk.

Kami memesan dua porsi nasi bandeng, sate kerang, sate paru, tahu bacem, dan sepotong jadah. Untuk minuman, kami memilih susu jahe merah. Aroma bakaran lauk-pauk dan minuman sangat terasa di hidung. Ditambah dengan pemandangan klasik di dalam ruangan, rasa makanan jadi lebih nikmat.

Banyak benda antik dipajang di sekitar tempat makan. Di atas meja ada patung tokoh pewayangan punokawan (Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng), radio lawas, setrika cap jago, dan alat gilingan es. Di dinding terpasang beberapa foto zaman kolonial Belanda seperti Pasar Gede Solo dan kawasan Purwosari masa 1930-an serta iklan-iklan jadul dengan tulisan ejaan lama.

Ada juga hiasan yang digantung di ruang tamu dan ruang tengah seperti lampu model kuno, biola, dan klontong yaitu kalung lonceng yang bisa dipasang di leher sapi. Sementara itu, persis di tengah ruangan berdiri sepeda motor Harley Davidson model lama dengan sandaran menyamping.

Melihat benda-benda antik itu, saya merasa terbawa ke masa lampau. Entah kapan. Saya sendiri tak pernah mengalami masa-masa itu. Namun, saya banyak belajar dari melihat gambar dan tulisan yang ada di Wedangan Pendhopo.

Jarum jam menunjuk ke pukul sepuluh malam. Saya dan kawan-kawan merasa cukup menikmati hidangan dan pemandangan. Setelah membayar, kami bergegas pulang. Kembali memasuki halaman SMK Kanisius lalu tancap gas meninggalkan tempat itu.

Harum masakan aneka makanan dan minuman masih terbayang di benak kami. Keunikan Wedangan Pendhopo memang sangat mengesankan. Dari sekian banyak warung hik yang pernah dikunjungi, sepertinya ini yang paling mengasyikkan. Sekali lagi, saya membuktikan Solo sebagai tempat kuliner tradisional yang aduhai. Anda boleh mencobanya.

 

Catatan Kecil (Cakil) Abdul Hofir

Solo, 27 September 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar