Selasa, 11 April 2023

Bacaan Qur'an Nenek

 

Sarah membiarkan nenek membaca Al-Qur’an. Anak berusia tujuh tahun itu tahu ada beberapa kesalahan dalam bacaan Qur’an nenek. Namun, ia tak lekas membetulkan kesalahan itu. Takut mengganggu, apalagi jika membuat nenek tersinggung. Paling tidak, biarkan nenek bersemangat dengan hobi barunya: membaca Al-Qur’an di setiap selesai shalat lima waktu.

 Pernah di suatu sore ketika seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu, Sarah bertanya kepada nenek, “Nenek sudah bisa baca Al-Qur’an?”

“Alhamdulillah sudah, cucuku,” jawab nenek sembari tersenyum. Ia senang pada apa pun yang ditanyakan oleh sang cucu kesayangannya itu.

“Sudah sampai Iqro berapa?” tanya Sarah lagi.

“Iqro lima,” nenek kembali tersenyum.

“Ya sudah, coba baca!” perintah Sarah tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia bermaksud meminta nenek membaca ayat mana pun yang bisa dibaca untuk membuktikan bahwa nenek memang sudah sampai buku Iqro jilid lima.

Semua yang ada di ruang tamu itu tertawa mendengar permintaan polos dari bocah bernama Sarah. Termasuk nenek. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak melihat celoteh sang cucu.

Nenek patut berbahagia. Meskipun pelan, ia sudah bisa merangkai bacaan kalimat-kalimat dalam ayat Al-Qur’an. Satu tahun terakhir ia belajar membaca Al-Qur’an kepada Nyai Sholihah. Istri Kyai Sam itu biasa mengajari para remaja putri dan ibu-ibu membaca Al-Qur’an di rumahnya.

Jika petang telah tiba dan shalat maghrib usai ditunaikan, giliran Kyai Sam yang mengajari anak-anak dan remaja putra membaca Al-Qur’an di mushalla hingga masuk waktu isya. Dari yang masih mengeja satu demi satu huruf hingga yang sudah lancar membaca.

Perjuangan kyai-nyai itu sudah dimulai sejak mereka berusia muda ketika keduanya hijrah ke kampung ini tiga puluh tahun yang lalu. Kyai Sam dan Nyai Sholihah adalah lulusan Pondok Pesantren Attauhidiyyah yang terletak di Desa Cikura.

Masyarakat mengakui keilmuan Kyai Sam dan Nyai Sholihah sebagai alumni pesantren yang sudah berdiri sangat lama. Mereka meminta keduanya menjadi pengajar Al-Qur’an di kampung. Mereka mengajar di madrasah, rumah, dan mushalla.

Nenek sadar betul kekurangannya yang belum juga bisa membaca Al-Qur’an. Sudah lama sekali ingin belajar. Rasa itu bahkan mengalahkan keinginan lainnya yaitu membaca huruf latin yang selama ini juga tak dikuasainya.

Sejak kecil nenek hanya pandai berhitung dan membaca angka. Meskipun demikian, kepiawaian dalam berhitung itu yang membimbingnya menjadi pedagang dan membuatnya berani merantau ke Ibu Kota.

Ia bersuamikan seorang pedagang, yang sama-sama merantau di Ibu Kota. Ia bermimpi suatu saat suaminya mampu membimbingnya membaca huruf latin maupun huruf arab. Namun, hingga sang suami wafat sepuluh tahun yang lalu, belum ada satu pun ilmu membaca yang diajarkan kepadanya.

Kini, nenek merasa sudah tiba waktunya untuk segera belajar membaca Al-Qur’an. Ia seringkali merenung. Sudah sekian puluh tahun usianya, tapi masih belum sanggup membaca Al-Qur’an. Bahkan mengenal huruf-hurufnya pun tidak. Ia sangat malu.

Namun, keadaan hidup membuat nenek seperti tak memiliki kesempatan. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang, membantu suaminya bekerja, dan membesarkan anak-anak. Entah berapa tahun lagi ia masih bisa hidup. Alangkah meruginya jika sampai tidak bisa membaca Al-Qur’an yang konon merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Suatu sore, nenek menemui Nyai Sholihah. Ia menyampaikan permintaannya supaya bisa belajar bersama Nyai. Alhamdulillah, Nyai Sholihah mengabulkan permintaan nenek. Dengan meneteskan air mata, Nyai Sholihah berkata, “Ya Allah, sudah lama sekali saya merindukan nenek bisa datang kemari.

“Saya tahu nenek belum bisa membaca Al-Qur’an. Namun, alangkah tidak beradabnya jika saya yang menyuruh nenek belajar. Hingga nenek sendiri yang memintanya kepada saya.”

“Kalau begitu, kapan saya bisa mulai belajar, Nyai?” tanya nenek.

“Nanti sore nenek boleh datang ke sini. Belajar bersama ibu-ibu yang lain,” jawab Nyai Sholihah.

“Bersama ibu-ibu yang lain?” tanya nenek.

“Iya. Mengapa?” Nyai Sholihah balik bertanya.

“Saya malu, Nyai,” jawab nenek.

“Nek,” Nyai Sholihah memegang pundak nenek pelan-pelan, “tidak perlu malu belajar Al-Qur’an. Semua orang pernah belajar dari nol. Termasuk saya. Insya Allah ibu-ibu yang lain sangat senang bisa belajar dengan nenek di sini. Ya, Nek?”

“Baik, Nyai,” nenek tersenyum simpul. Tetap menunduk di depan Nyai Sholihah.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Satu demi satu huruf Arab nenek kenal. Alif, ba, ta, hingga ya. Lalu tanda baca a, i, u, dan huruf panjang. Lambat laun nenek bisa membaca kalimat pendek dalam bacaan huruf Al-Qur’an. Sampai akhirnya Nyai Sholihah mengizinkan nenek membaca juz 30. Dimulai dari Al Fatihah, An Nas, dan seterusnya.

Pernah nenek menitikkan air mata ketika berdiri melakukan shalat. Ia baru menyadari bahwa surat Al Fatihah yang selama ini ia lantunkan berasal dari huruf-huruf Arab yang belum lama ini dipelajarinya. Ia sangat bersyukur bahwa pada akhirnya ia benar-benar bisa membaca.

Dunia terasa terbentang lebar. Apalagi ketika nenek pernah mendengar penjelasan dari Nyai Sholihah bahwa setiap kata dari Al-Qur’an mengandung makna. “Al-Qur’an itu bukan sekadar tulisan, Nek,” Nyai Sholihah memberi nasihat kepada nenek.

“Bahkan, ada sepuluh kebaikan di setiap huruf yang dibaca. Di dalamnya terdapat banyak petunjuk bagi kita supaya tidak tersesat dalam menjalani kehidupan. Ada kisah-kisah yang bisa dipelajari dan diambil hikmahnya. Oleh sebab itu, setelah membaca Al-Qur’an kita dianjurkan untuk memahami maknanya.

“Kanjeng Sunan Ampel pernah memberi nasihat kepada kita bahwa salah satu obat penyakit hati adalah moco Qur’an lan maknane. Puncak kesempurnaan mempelajari Al-Qur’an adalah ketika kita bisa mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.”

Sejak menerima wejangan dari Nyai Sholihah, ada keinginan kuat dalam hati nenek untuk memahami isi Al-Qur’an. Namun, buru-buru Nyai Sholihah mengingatkan, “Tidak boleh terburu-buru ya, Nek. Semuanya harus bertahap. Kanjeng Nabi SAW bahkan pernah ditegur ketika ingin buru-buru menguasai semua isi Al-Qur’an. Laa tuharrik bihii lisaanaka lita’jala bihi.”

Musim lebaran haji tiba. Kaum muslimin menyembelih hewan kurban. Daging hasil sembelihan hewan kurban dibagikan ke semua lapisan. Banyak orang berpesta dan menyajikan daging kurban menjadi berbagai masakan: sate, gulai, tongseng.

Nenek mendapatkan jatah daging dan kaki kambing. Ia sangat pandai memasak. Seisi rumah menikmati makanan lezat hari itu. Sayangnya, anak-anaknya masih berada di tempat lain. Hanya si bungsu yang ikut menikmati masakan bersama nenek.

Tiga hari berselang, badan nenek mendadak panas. Nafasnya terasa sesak. Anak bungsunya memberikan beberapa obat antipanas kepada nenek. Namun, kondisinya tak kunjung membaik. Nafasnya justru makin bertambah sesak.

Melalui sambungan telepon, anak sulungnya menyarankan nenek dibawa ke rumah sakit. Nenek menolak saran itu. Ia takut kalau diisolasi di rumah sakit. Apalagi jika tidak diperbolehkan untuk dijenguk.

Selama ini nenek dikenal suka bergaul. Menyendiri adalah sesuatu yang sangat menyiksa nenek. Maka, ia tetap pada pendiriannya: dirawat di rumah bersama si bungsu.

Hari keempat, kondisi nenek memburuk. Kembali anak sulungnya memaksa nenek untuk dibawa ke rumah sakit. Nenek dijanjikan untuk bisa ditemani. Ia tak akan diisolasi seperti pasien lainnya. Nenek setuju.

Tiba di rumah sakit, nenek dirawat di ruang isolasi. Kondisi nenek dari hari ke hari tidak stabil. Kadang membaik, kadang memburuk. Dokter dan perawat memberikan nasihat kepada nenek dan anak-anaknya agar terus berdoa.

Allah memberikan yang terbaik bagi nenek. Selamat dirawat, nenek tetap mendirikan shalat dan membaca Al-Qur’an. Ia sangat rindu dan senang jika sudah membuka lembar demi lembar kitab suci. Sesuatu yang sangat diinginkannya sejak lama. Berharap bacaannya—meskipun pelan—di tengah sakit yang mendera bisa menjadi penggugur dosa-dosanya selama ini.

Anak sulung nenek merasa harus segera pulang menjenguk ibunya. Ia tak tahu apakah ini saat terakhir bertemu dengan ibu yang amat dicintainya, atau boleh jadi kehadirannya menjadi penguat dan penyebab kesembuhannya. Jujur, kemungkinan kedua yang ia harapkan.

Tepat di hari yang ketujuh, nenek menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika anak sulungnya baru saja tiba di tempat ibunya dirawat. Tak ada tatap muka. Hanya berbicara melalui layar gawai. Itu pun sudah cukup membuat nenek bahagia.

Sayang, takdir Allah tidak bisa dilawan. Ialah Pemilik Kekuasaan. Boleh jadi wafatnya nenek pertanda baik. Ia meninggal dunia dalam kondisi syahid. Wafat karena wabah.

Nenek dimakamkan di samping makan suaminya. Di atas kepalanya, tertancap nisan bertuliskan nama sang nenek: Fatimah. Nama yang sama dengan putri Nabi SAW. Semoga ia mendapatkan syafaat dari Sang Nabi dan digabungkan bersama-sama orang baik di surga. Aamiin. Selamat jalan nenek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar