Selasa, 13 September 2022

Mushallaku yang Malang

Dug! Dug! Cek! Bunyi pengeras suara mushalla mengusik keramaian. Wardi yang menyalakannya. Seperti biasa. Sesaat lagi waktu maghrib tiba. Ia yang bertanggung jawab melantunkan adzan.

Shalawat tarhim menjadi awalan sebelum adzan dikumandangkan. Sebuah rekaman dinyalakan. Suaranya sangat merdu dan syahdu. Ash shalatu wassalamu ‘alaik, ya Imamal Mujahidin. Ya Rasulallah…!

 

Pukul enam tepat. Wardi meraih mikrofon. Melantunkan adzan dengan sangat merdu. Menentramkan hati-hati manusia yang rindu kepada Sang Pencipta. Membungkam suara jangkrik di balik semak-semak yang sejak tadi bersahutan.

Di luar mushalla, puluhan bohlam mulai menyala. Menerangi tenda-tenda di sekitar pintu jalan tol. Pemilik tenda-tenda itu sibuk menata makanan dan minuman. Seolah tak peduli bahwa Sang Pemberi Rezeki tengah memanggilnya melalui lisan seseorang bernama Wardi.

Dari kejauhan, nyala bohlam itu mirip kunang-kunang. Berkedip-kedip. Elok dan meriah, menghiasi tenda yang berajar di pinggir jalan. Nyalanya makin terang seiring redupnya sinar mentari yang ditelan senja.

Adzan telah usai. Wardi lalu melantunkan puji-pujian. Sebait shalawat nariyah mengalun sambil menunggu kedatangan imam shalat. Sekian lamanya puji-pujian dilantunkan, hanya sedikit orang yang menyambutnya dengan datang ke mushalla.

Para pemuda lebih senang shalat di rumah secara sendiri-sendiri. Ada satu-dua pedagang yang membawa sajadah dan shalat di tendanya. Jika ditanya mengapa tak shalat di mushalla, mereka tak mau kehilangan pelanggan ketika harus ditinggal shalat di mushalla.

Sejak jalan tol beroperasi, kawasan itu memang ramai dilalui pengguna jalan. Di tempat tersebut, ada pintu masuk tol di sisi selatan dan pintu keluar di sisi utara. Para pengendara yang masuk maupun keluar tol sering membeli makanan baik sebagai bekal perjalanan maupun dimakan di rumah.

Kondisi demikian membuat penduduk di sekitar pintu tol alih profesi dari buruh dan petani menjadi pedagang makanan dan minuman. Omzetnya lumayan, antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta sehari. Itu artinya, jika berdagang satu bulan penuh, mereka bisa memperoleh omzet antara Rp15 juta hingga Rp30 juta.

Namun, perubahan ekonomi justru membuat spiritual makin gersang. Seperti adzan maghrib yang dilantunkan Wardi tadi. Orang menganggap semata-mata penanda waktu bahwa petang telah tiba dan keriuhan malam menjelang. Tak ada yang bergegas mendatangi suara adzan. Padahal jarak mushalla dan tenda-tenda para pedagang tak sampai seratus meter.

Sementara di dalam perkampungan, orang-orang berusia di atas lima puluh tahun lebih suka menghabiskan waktunya bermain domino. Tak peduli siang atau malam. Sesekali dalam permainan mereka pasang uang recehan seribu rupiah sebagai taruhan.

Tapi, mereka tak mau disebut berjudi. Katanya, judi itu kalau pasangnya besar. Sedangkan uang yang mereka pasang kecil. Ini hanya sebatas ‘permainan’. Ah, sama saja. Uang hasil jerih payah bekerja yang hasilnya tak seberapa digunakan untuk taruhan terus-menerus. Lama-lama uang itu habis.

Para petani pun setali tiga uang. Kala siang, mereka sibuk mengurusi sawah-sawahnya. Suara adzan zhuhur yang terdengar lirih dari tetangga desa hanya sekadar pengingat bagi petani untuk beristirahat. Mereka berteduh di dangau, menikmati makan siang yang dimasak dan diantar istri atau anak perempuannya.

Usai beristirahat, para petani melanjutkan pekerjaannya hingga bayangan benda melebihi panjang sebenarnya. Pemandangan para pemuda yang berada di sawah mengerjakan shalat di dangau atau di atas batu besar di pinggir sungai mulai jarang terlihat.

Kebetulan masa tanam baru saja usai. Kini saatnya mereka merawat tanaman padi dengan memberi pupuk. Tak lupa, irigasi juga harus dipastikan tak terkendala. Untuk urusan ini, mereka bahkan rela melakukan apa saja, asalkan air mengalir ke sawahnya.

Pernah suatu sore, seorang petani bernama Sarno cekcok dengan tetangganya karena urusan irigasi. Ia menuduh Parto menutup aliran air ke sawahnya. Menurutnya, aliran itu sengaja dialihkan ke sawah Parto supaya sawah Sarno jadi kering.

“Kau yang serakah, semua air irigasi tak boleh mengalir ke tempat lain!” Parto berteriak, tak terima dituduh Sarno mengalihkan aliran irigasi.

“Hei, dengar! Kau yang sawahnya bersebelahan denganku. Mana mungkin orang lain yang memindahkan aliran airnya. Kecuali kau!” gantian Sarno yang marah. Ia yakin bahwa ulah di balik semuanya adalah Parto.

“Kau jangan sembarangan menuduh, Kang!” telunjuk Parto mengarah ke muka Sarno, “apa bukti bahwa aku yang mengalihkan irigasi sawahmu, hah?!”

“Halah, mana ada maling yang mengaku sih, Parto!” Sarno menyeringai.

Keduanya nyaris baku hantam. Untung Ketua RT segera hadir dan menengahi Sarno dan Parto yang sama-sama naik pitam. Peristiwa sore itu menjadi ingatan warga kampung. Mereka tak mau main-main soal irigasi karena itu menjadi bagian penting dari mata pencaharian mereka.

Pemuda yang ‘gagal’ menjadi petani memilih bekerja jadi buruh atau pedagang. Desa memang menjadi ramai. Tak peduli siang maupun malam. Kala siang beranjak, pedagang sibuk dengan urusannya. Ada yang menjual hasil bumi, hewan ternak, bahkan anjing peliharaan untuk memburu babi hutan.

Sore ini, para pemuda dan pemudi bersolek. Ini adalah waktunya muda-mudi untuk mencari pasangan. Dimulai sejak maghrib tiba. Makin malam, mereka makin ramai mengunjungi warung tenda. Lampu berkelap-kelip. Musik bersahutan dari segala penjuru.

Keberadaan jalan tol yang melewati desa telah mengubah segalanya. Orang yang dulunya tidak punya apa-apa selain tanah warisan, mendadak jadi kaya raya. Uang ganti rugi dari pemerintah digunakan untuk membeli kendaraan. Ada yang menyimpannya di bank sebagai tabungan. Sebagian dipakai untuk menikah dengan istri baru.

Dulu orang tua mengisi waktunya menjelang maghrib dengan berzikir dan melantunkan kalimat-kalimat suci melalui pengeras suara mushalla. Para pemuda mengisi air di padasan untuk berwudhu. Kini, semuanya telah hilang ditelan nafsu mencari harta dan kekayaan.

Bahkan, ada yang mengusulkan agar mushalla dibongkar lalu dijadikan tempat hiburan. Usul itu disampaikan oleh Si Bajul, preman kampung yang paling ditakuti para pemuda. Ia berprofesi sebagai tukang parkir. Hasil kerjanya dipakai untuk judi dan mabuk-mabukan.

Pemerintah menjanjikan bahwa area di sekitar jalan tol adalah wilayah yang disediakan untuk masyarakat berjualan. Itu artinya mereka punya kesempatan untuk mengisi pundi-pundi uangnya lebih banyak setelah memperoleh hasil menjual lahannya kepada pemerintah.

Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malasan. Kesempatan tak boleh disia-siakan. Siang dan malam adalah kesempatan emas untuk mengais rezeki. Jalan tol telah mengubah segalanya. Uang jadi tuhan yang disembah siang dan malam.

Wardi tetap setia melantunkan puji-pujian. Ketika imam shalat memasuki mushalla, Wardi mengumandangkan iqomat. Suaranya lantang seolah mengingatkan orang-orang untuk bersegera menunaikan kewajiban. Namun, mushalla yang malang ini sudah banyak ditinggalkan. Para pemuda memilih meramaikan tenda-tenda malam.

1 komentar:

  1. Keren pak hofir karya karyanya. Mengingatkan masa awal di Jakarta tahun 2000... official ciptoisme hehehe...

    BalasHapus