Bonggan melahap hidangan yang menurutnya istimewa siang itu: sayur asam, tempe goreng, ikan asin, dan sambal terasi. Sayur dan sambal dicampur dan diaduk-aduk sehingga membuat warna nasi menjadi kemerahan. Bagi Bonggan, warna itu membuatnya bersemangat.
Suapan nasi dan sayur asam ke mulutnya menimbulkan bunyi slruuup yang khas. Seperti seruputan teh panas. Bunyi itu terdengar di penjuru ruang tengah tempat penghuni rumah makan siang.
Meta yang berada di sebelah Bonggan memasang muka sebal. “Kalau makan jangan bunyi seperti itu!” kata Meta dengan mata melotot.
Bonggan melirik lalu mengatupkan mulutnya. Kali ini ia mengunyah makanan dengan sedikit sopan. Namun, sorot matanya menyiratkan rasa tak suka mendapatkan peringatan dari Meta.
Ting! Tiba-tiba sendok Bonggan berbunyi nyaring ketika mencoba mengiris tempe goreng. Ujungnya yang cekung mengenai piring. Lagi-lagi ruangan jadi gaduh. Meta makin jengkel lalu ia berdiri, “Dibilangin jangan berisik. Malah piringnya dipukul-pukul pakai sendok!”
“Aku tidak memukul piring ini pakai sendok!” elak Bonggan.
Meta tak menerima penjelasan Bonggan, “Terus tadi suara apa?”
“Aku mau memotong tempe. Tapi sendoknya kena piring,” Bonggan mengemukakan alasan.
“Ah, sama saja!” Meta makin kesal.
“Terserah, kalau maunya marah,” Bonggan menyingkir dari hadapan Meta. Ia mendekat ke meja makan. Menjauh dari sisi Meta. Lalu melanjutkan aktivitas makannya.
Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari anak-anak makan di ruang tengah karena meja makan hanya cukup untuk menaruh nasi dan lauk-pauk saja. Siapa yang mau makan harus mengambil nasi dan lauk-pauk itu lalu makan di ruang tengah sambil menonton televisi.
Melihat Bonggan berpindah tempat, Meta kembali duduk dan meneruskan makan. Hatinya masih kesal terhadap Bonggan. Matanya memperhatikan gerak-gerik Bonggan. Bocah lelaki kurus itu duduk membelakangi Meta.
Bukan kali ini saja Meta mengingatkan Bonggan untuk tidak makan dengan bersuara atau membuat gaduh. Seperti nasihat gurunya di sekolah. Tapi, Bonggan selalu saja melanggar. Malah seperti sengaja melakukannya. Entah karena apa.
Sebetulnya di ruang tengah bukan hanya ada Bonggan dan Meta. Adik-adik Bonggan yaitu Karep dan Bontot juga ada di situ. Tapi, sebagai junior, mereka tak berani melawan Meta. Mereka hanya duduk diam menyaksikan pertengkaran Bonggan dan Meta.
Sementara adik-adik Meta yaitu Lili, Dila, dan Syah, setali tiga uang dengan Karep dan Bontot. Mereka tak berani berkata-kata. Meta seringkali tampil menguasai sesiapa anak yang ada di rumah itu. Meskipun ia perempuan, ia yang paling tua di antara mereka.
Mungkin perlu sedikit penjelasan mengenai siapa Bonggan dan Meta. Dua orang ini sebetulnya adalah saudara sepupu. Ibu Meta yang bernama Hasanah adalah adik dari ayah Bonggan yang bernama Lukman.
Jadi, Bonggan memanggil ibu Meta dengan panggilan Bibi Hasanah, sedangkan Meta memanggil ayah Bonggan dengan panggilan Wak Lukman.
Dua tahun yang lalu, ayah Meta wafat karena penyakit kanker paru-paru. Waktu itu Bibi Hasanah, Meta, dan adik-adiknya masih tinggal di rumah milik orang tua sang ayah. Sepeninggal suaminya, Hasanah merasa seperti orang asing di rumah tersebut.
Setelah bermusyawarah dengan mertua, Bibi Hasanah memutuskan untuk pindah dan kembali ke rumah orang tuanya sendiri. Ibu mertua Hasanah mempersilakan menantunya beserta anak-anaknya berpindah rumah.
Sementara itu, Bonggan dan adik-adiknya sudah lama menetap dan tinggal bersama orang tua dan neneknya. Di rumah tersebut, Bonggan menikmati masa kecil penuh ceria. Bermain petak umpet, berlarian, main hujan-hujanan, hingga mandi dan mencari ikan di sungai.
Karena desakan ekonomi, orang tua Bonggan merantau ke Jakarta menjadi pedagang kaki lima. Mereka menitipkan Bonggan dan adik-adiknya kepada sang nenek. Dengan penuh kasih sayang, nenek mengasuh cucu-cucunya di rumahnya sendiri.
Sebulan sekali Lukman berkirim uang untuk keperluan nenek dan anak-anak Lukman. Jumlahnya kadang kurang dari yang semestinya. Tapi, nenek tak kehilangan akal. Ia mencari tambahan penghasilan melayani pesanan kue dari tetangga.
Ketika Bibi Hasanah memutuskan kembali ke rumah orang tuanya, anak-anaknya tinggal satu rumah dengan anak-anak Lukman. Kini, penghuni rumah jadi makin banyak. Ada nenek, Bibi Hasanah, Bonggan dan adik-adiknya, juga Meta dan adik-adiknya. Bedanya, Bonggan masih mempunyai orang tua lengkap, sedangkan Meta seorang yatim.
Awalnya mereka canggung karena sudah sekian lama berbeda tempat tinggal. Tapi, lama-lama mereka sudah seperti adik-kakak kandung. Berangkat sekolah, makan, bermain, semuanya dilakukan bersama-sama. Meta dan adik-adiknya tidak lagi bersedih dengan kepergian ayah mereka.
Kita kembali ke momen saat Bonggan makan di meja makan. Tinggal beberapa suapan lagi, lauk tempenya hampir habis. Sementara nasi dan sayur asam masih banyak. Bibi Hasanah yang memasak sengaja membuat irisan tempe tipis-tipis supaya bisa jadi banyak.
Secara spontan tangan Bonggan meraih satu irisan tempe lagi yang terhidang di hadapannya. Ia melihat masih ada tiga iris yang tersisa.
Meta tahu apa yang diperbuat Bonggan. Meskipun ia berada di ruang tengah, penglihatannya tak terhalang oleh apapun sehingga bisa memperhatikan tingkah laku Bonggan.
“Jangan nambah tempe! Emak belum makan!” tiba-tiba Bonggan mendengar teriakan Meta. Ia mengingatkan Bonggan bahwa Bibi Hasanah belum makan.
Tangan Bonggan masih memegang tempe goreng, namun tempe itu tak diarahkan ke atas piringnya. Hanya diam. Tempe itu tak kunjung dilepaskan. Logika dan perasaan Bonggan berlawanan.
Logikanya mengatakan, “Aku masih ingin tempe goreng.”
Sementara perasaannya, “Kasihan, Bibi Hasanah belum makan.”
Akhirnya, tempe terlepas dari tangan Bonggan dan kembali ke tempat semula.
Bonggan meneruskan beberapa suapan terakhir nasinya tanpa lauk. Hanya kuah sayur asam yang menjadi hiasan rasa di lidah. Meski kecewa, ia tak ingin ribut lagi dengan Meta. Bagaimana pun, Bibi Hasanah yang memasak makanan ini adalah ibu Meta.
Bibinya itu pasti akan membela anaknya. Bonggan tahu betul kebiasaan Bibi Hasanah yang suka menyalahkan dia di hadapan orang-orang ketika tanpa sengaja melakukan kesalahan kecil. Seolah-olah ia tak pernah benar saja.
Bonggan ingat kejadian tiga hari lalu. Ketika itu jam empat sore. Ia sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku. Meta sedang menyapu lantai. Ketika melihat ada piring dan gelas kotor, ia meminta Bonggan membawanya ke dapur untuk dicuci.
“Bonggan, itu piring dan gelas bawa ke dapur. Nggak usaha pura-pura sibuk. Baca buku terus dari tadi,” perintah Meta kepada Bonggan.
“Iya, nanti!” jawab Bonggan singkat.
Meta kesal dengan jawaban Bonggan yang terkesan meremahkan permintaannya. Ia berniat mengadukan soal itu ke ibunya ketika nanti pulang ke rumah.
Benar saja, ketika Bibi Hasanah memasuki rumah, Meta mengadukan perihal piring dan gelas kotor itu. Tanpa bertanya lagi, Bibi Hasanah marah dan langsung mengomel ke Bonggan,
“Hai, Bonggan!” bentak Hasanan, “kamu ini seperti anak kecil saja. Kamu sudah besar. Harus tahu urusan rumah. Taruh piring dan gelas itu ke dapur!”
Bonggan tak kuasa menolak perintah bibinya. Ia tahu bahwa sumber dari kemarahan bibinya adalah aduan dari Meta. “Awas nanti aku balas kau!” batin Bonggan ketika melihat Meta duduk di ruang tengah. Perempuan itu tertawa puas, merasa bisa membalas apa yang diperbuat Bonggan.
Kejadian di hari itu benar-benar menjadi pelajaran berharga bagi Bonggan. Ia tak berani macam-macam pada Meta. Salah sedikit, ia bisa diadukan ke bibinya. Maka, untuk urusan makanan ini pun Bonggan memilih mengalah.
Beberapa saat kemudian, Bibi Hasanah masuk ke rumah. Ia baru saja pulang dari warung membeli beberapa butir telur untuk dimasak sebagai lauk makan malam nanti.
“Sudah makan semuanya?” tanya Bibi Hasanah kepada anak-anak.
“Sudah, Mak,” jawab Meta, “tuh, Bonggan tadi mau nambah tempe. Aku bilang supaya jangan nambah tempe. Kan Emak belum makan.”
“Bonggan selalu begitu,” Bibi Hasanah langsung menyalahkan keponakannya. “Kamu harus tahu lauk kita cuma segitu. Jangan serakah. Bukan cuma aku, nenek juga belum makan,” sambungnya.
Bonggan merasa tersudut. Memang benar, tadi ia hendak mengambil sepotong tempe lagi. Tapi kan Meta langsung marah dan akhirnya ia urung mengambil tempe itu. Bibi Hasanah berbicara seolah-olah ia sudah mengambil tempe itu. Bonggan masygul.
“Ya sudah, aku nggak jadi makan!” kata Bonggan dengan nada sedikit tinggi. Ia meninggalkan meja makan begitu saja. Nasi yang masih tersisa beberapa suap ia tinggalkan. Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan. Matanya berkaca-kaca.
Bibi Hasanah kesal dengan sikap Bonggan. “Heh, nggak jadi makan? Itu nasi sudah banyak kamu makan, dibilang nggak jadi.”
Bonggan telanjur kesal. Ia tak memedulikan bibinya yang terus menggerutu. Selalu begitu sikap Bibi Hasanah ketika kesal dengan siapa pun. Ngomel sendiri dan tak mau berhenti. Bonggan hafal betul dengan sikap bibinya itu.
Anak-anak yang berkumpul di ruang tengah menaruh kasihan kepada Bonggan. Anak laki-laki itu sering jadi korban kemarahan Bibi Hasanah. Sementara Meta justru tersenyum, puas dengan apa yang menimpa Bonggan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar