Hujan enggan untuk berhenti. Tetesan airnya satu per satu menembus pori-pori bumi lalu meresap ke dalam tanah. Ketika pori-pori itu rapat karena tumpukan debu yang sudah basah, air dibiarkan mengalir menuju dataran yang lebih rendah. Aliran itu lama-kelamaan mengenai bibir sungai, bermigrasi ke tengah, dan meluap. Sungai menjadi keruh karena bercampur dengan lumpur yang terbawa arus.
Pak Kasno membiarkan potongan kayu yang ia jemur di depan rumah basah oleh hujan. Kayu-kayu itu adalah patahan ranting yang jatuh dari pepohonan di sekitar hutan di Bukit Sitanjung. Setiap hari Pak Kasno mencari patahan ranting dari satu tempat ke tempat lainnya untuk dikumpulkan lalu dijual ke pasar.
Tuhan Maha Pengasih. Setiap hari selalu saja ada ranting patah yang bisa dipungut Pak Kasno. Kumpulan ranting itu adalah sumber rezeki bagi Pak Kasno. Dulu, ia melakukannya bersama dengan istrinya, Mbok Sarmi. Namun, setelah kematian Mbok Sarmi setahun lalu, Pak Kasno bekerja seorang diri.
Gubuk yang didirikan di lereng Bukit Sitanjung menjadi satu-satunya harta yang dimiliki Pak Kasno. Gubuk itu berukuran 3 x 5 meter persegi. Tiangnya terbuat dari kayu glugu atau batang pohon kelapa. Dindingnya dari geribik yang dibeli dari pengrajin di desa tetangga. Atapnya dari jerami yang dialasi plastik untuk menahan air agar tak masuk ke dalam rumah.
Hujan hari ini kembali mengguyur Bukit Sitanjung. Memupus harapan Pak Kasno menjual kayu bakar ke pasar. Tubuhnya yang kurus dan renta menjadi gampang kena masuk angin ketika udara dingin. Sudah empat hari tubuh Pak Kasno terserang demam.
Hujan enggan untuk berhenti. Pak Kasno berdiam diri dan lebih banyak tidur. Kemarin lusa ketika hari masih panas, ia mencari daun dadap ke sekitar lokasi rumahnya di Bukit Sitanjung. Dua lembar daun dilinting hingga lunak lalu ditempelkan di dahi. Ia percaya daun ciptaan Tuhan itu mampu menurunkan panas.
Namun, panas Pak Kasno belum juga reda. Tubuhnya makin melemah. Ditambah lagi rasa sakit di tenggorokan membuat Pak Kasno malas makan. Itu pula yang membuat kondisinya makin menurun. Ia hanya menyeruput teh tubruk panas buatannya sendiri.
Hari beranjak siang. Pak Kasno seperti melihat sosok istrinya mengetuk pintu dan memanggil namanya. Ia tak merasa takut atau terkejut sama sekali.
“Pak, Sampeyan lagi apa?” tanya sosok yang mirip Mbok Sarmi. Seketika Pak Kasno mendongakkan kepalanya. Menengok ke arah pintu. Ia melihat dengan jelas Mbok Sarmi dengan rambutnya yang panjang dan berwarna putih.
“Oh, kowe to, Mbok. Aku lagi demam. Sudah empat hari,” suara Pak Kasno terdengar lemah sekali. Ia berusaha bangkit, tapi tenanganya seperti terkuras. Hanya dadanya yang sedikit terangkat lalu kembali ke posisi semula.
“Sampeyan itu sudah tua, Pak. Sudahlah, banyak-banyak eling saja sama Gusti Allah. Istighfar. Insya Allah Sampeyan kembali ke alam baka dengan tenang,” sosok Mbok Sarmi memberikan nasihat kepada Pak Kasno.
Dalam hati, Pak Kasno mengatakan, “Lha iya kan di rumah tinggal aku sendirian. Aku juga perlu makan. Tak ada pekerjaan lain selain mencari ranting kayu. Kadang aku paksakan juga menjemur kayu-kayu itu di halaman supaya kering sebelum dijual ke pasar.”
Pak Kasno mendesah pelan. Matanya memandang langit-langit. Sambil mendengar suara butiran air yang jatuh ke atap rumah, mengenai plastik yang tak tertutupi jerami.
Sosok Mbok Sarmi kembali berkata, “Ya sudah. Kalau begitu aku pergi dulu ya, Pak. Aku tunggu Sampeyan di alam keabadian.”
“Iya. Suwun ya, Mbok,” jawab Pak Kasno lirih.
Hujan enggan untuk berhenti. Kadang disertai suara petir bergulung-gulung. Pak Kasno berharap hujan segera reda supaya bisa kembali bekerja. Batinnya bertanya mengapa Tuhan menurunkan hujan dalam beberapa hari tiada henti. Sementara kayu-kayu di depan rumahnya sudah beberapa hari terkena air.
Waktu menjelang ashar. Pak Kasno lupa kalau belum shalat zhuhur. Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi. Berwudhu dari air padasan yang ia isi dari mata air dekat sungai. Badannya yang demam tak menghalanginya untuk membasuh air di muka, tangan, rambut, telinga, dan kakinya.
Usai berwudhu, Pak Kasno mengambil selembar sajadah tipis. Badannya menghadap kiblat. Kedua telapak tangannya diangkat. Ia mengagungkan nama Tuhan yang memberinya umur dan kesempatan untuk melakukan banyak kebajikan.
***
Apapun kondisinya, Pak Kasno merasa harus banyak bersyukur. Ia lahir sebagai anak tunggal dari keluarga yang terbilang kaya. Ayahnya seorang petani yang memiliki sawah luas. Hasil panen padinya selalu melimpah. Sebagian padi itu dijual dan sebagian lagi tetap disimpan di lumbung untuk persediaan makanan keluarga.
Di area persawahan itu pula disebar bibit ikan. Pada waktu menjelang panen padi, ikan-ikan itu diambil dan dikonsumsi sebagai tambahan protein. Kebanyakan dari jenis ikan lele. Tapi, ada juga ikan wader dan uceng.
Kondisi itu berubah ketika ayah Pak Kasno terlibat utang dengan rentenir. Ia diiming-imingi pinjaman. Alih-alih digunakan untuk usaha atau meningkatkan produksi padi, pinjaman itu dipakai untuk membeli kendaraan dan barang-barang mewah.
Sebagian pinjaman itu digunakan juga untuk biaya pernikahan Kasno dengan gadis idamannya bernama Sarmi. Ketika itu, Sarmi adalah gadis idaman para pemuda kampung. Sayangnya, dari sekian banyak pemuda, Kasnolah yang pertama menanyakan kepada Sarmi, “Dik, kamu mau menikah dengan aku?”
Duhai, gadis mana yang tak melayang ketika diajak menikah oleh seorang pemuda? Itulah kata-kata penuh keberanian dibanding sejumlah rayuan dan iming-iming kebahagiaan namun hanya sekadar bualan. Sarmi menerima pinangan Kasno dan mereka menikah dengan uang pinjaman rentenir.
Satu tahun sejak menikah, pasangan Kasno dan Sarmi belum dikaruniai keturunan. Para pemuda sering mencibir Kasno dan menuduhnya tak cakap memerankan diri sebagai seorang suami. Bukan lelaki tulen. Mereka bahkan berolok-olok rela menunggu Sarmi berstatus janda seandainya lepas dari Kasno. Tega!
Tapi, Kasno amat menyayangi istrinya. Ia terus berdoa kepada Sang Pemberi Rezeki agar kelak diberikan keturunan. Hingga tahun kedua, buah hati tak kunjung diberi. Kasno kini memusatkan perhatiannya pada bagaimana menghidupi keluarganya. Ayahnya sudah mulai renta dan sakit-sakitan.
Beberapa bulan kemudian, ayah Pak Kasno jatuh sakit. Badannya panas dan diare tak henti. Malam harinya ia menghembuskan nafas terakhir. Mati dan masih meninggalkan sisa utang kepada rentenir. Kasno, Sarmi, dan ibunya yang menanggung sisa utang itu yang entah tinggal berapa jumlahnya.
Pihak rentenir tak mengasuransikan pinjaman itu. Setelah masa berkabung usai, mereka menagih utang ayah Kasno. Harta benda yang ada di rumah tak mencukupi untuk membayar utang. Rentenir meminta tanah sawah.
Keluarga Kasno awalnya menolak. Tapi, karena mendapatkan ancaman akan dipolisikan, mereka akhirnya merelakan tanah sawahnya menjadi alat melunasi utang.
Pihak rentenir menyisakan tanah sawah seukuran 3 x 5 meter untuk dikembalikan kepada Kasno dan keluarganya karena sudah cukup untuk melunasi utang. Harta lain yang tersisa hanya rumah tinggal yang dihuni Kasno, ibunya, dan Sarmi.
Kehilangan lahan sawah milik almarhum ayahnya mengakibatkan Kasno kehilangan pekerjaan utamanya sebagai petani. Ditambah kedukaan yang ia alami setahun kemudian ketika ibunya juga meninggal dunia karena terserang demam berdarah dan terlambat ditangani.
Kasno bingung dengan arah kehidupannya. Ia belum bermata pencaharian tetap. Bertani dengan lahan sendiri sudah tak memungkinkan. Paling-paling jadi buruh tani. Itu pun harus rela berbagi hasil dengan pemilik sawah. Akhirnya, ia memutuskan menjual rumah warisan.
Sisa tanah sawah 3 x 5 meter hasil pengembalian dari rentenir kelak dijadikan rumah Kasno dan Sarmi. Di tempat tersebut, mereka tinggal dan mencukupi kebutuhannya dengan mencari kayu bakar di perbukitan. Kayu-kayu itu dijemur, diikat kecil-kecil, lalu diangkut ke pasar menggunakan becak.
***
“Allaahu akbar!” Pak Kasno berbisik lemah seperti tak bertenaga. Tangannya hendak disedekapkan. Namun, jari-jemarinya tangan kanannya tak sanggup menggenggam lengan kirinya. Gemetar. Tubuhnya sangat lemah.
Pak Kasno mencoba menguatkan tulang kakinya untuk tetap berdiri. Ia ingin menyempurnakan rukun shalatnya. Akan tetapi, tubuhnya limbung, lalu terjatuh. Kepalanya mendarat di kasur tipis tempat tidur. Bibirnya bergetar dan terus melafalkan bacaan shalat.
Perlahan, Pak Kasno mencoba untuk berbaring. Ia menyedekapkan tangannya di atas dada. Beberapa menit kemudian, tubuh Pak Kasno tak lagi bergerak. Nafasnya sudah tak lagi naik-turun.
Hujan enggan untuk berhenti. Sebentar lagi petang menjelang. Biasanya, Pak Kasno mulai menyalakan lentera di halaman dan ruang tengah rumahnya. Namun, kali ini berbeda. Rumah itu gelap gulita. Hanya angin yang menerobos daun pintu lalu pergi dari bilik dapur.
Bukit Sitanjung menyambut datangnya malam dengan menarik selimut dingin. Air yang turun dibiarkan meresap ke pori-pori tanah. Sebagian mengalir ke sungai menjadi luapan, bersenyawa dengan debu dan tanah. Kumpulan air dan tanah itu menyampaikan kabar duka kepada seluruh alam. Seorang hamba telah habis masa dan rezekinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar