Selasa, 13 September 2022

Ayah Tak Sakit Lagi

Bonggan menatap layar komputer yang menyajikan grafik penjualan. Tangan kirinya memainkan bolpoin. Berputar-putar, tombol atasnya ditekan lalu dilepas lagi. Tangan kanannya memutar tetikus, menyoroti beberapa kalimat presentasi yang menurutnya perlu diperbaiki.

Di sebelah kanan papan ketik, sepiring makanan selat belum dihabiskan. Tinggal tersisa sepotong kentang, selada, dan buncis. Bonggan masih berkonsentrasi pada pekerjaannya. Ia bahkan tak peduli pada tatapan Mas Tumben yang dari tadi memperhatikannya.

 

Mas Tumben menggeleng-gelengkan kepala. Ia salut pada kesungguhan Bonggan menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti biasanya, Bonggan tak akan beranjak dari tempat duduknya sebelum pekerjaannya selesai.

Sebuah gawai tergeletak di sisi kiri Bonggan. Benda itu menyala lalu mengeluarkan nada dering. Panggilan masuk dari ibu. Bonggan menghentikan aktivitasnya.

“Assalamu’alaikum, Ibu!” Bonggan menyapa ramah. Punggungnya menyandar pada kursi yang posisinya memang sudah mepet ke arah tembok. Kakinya dijulurkan ke kolong meja. Tangan kanannya membiak rambut lalu mengusap muka.

“Kau baik-baik, Nak?” tanya ibu Bonggan di ujung telepon.

“Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana?”

“Ibu juga baik.”

Bonggan merasa kalimat ibunya tak sungguh-sungguh ketika mengatakan kondisinya yang “baik-baik saja”. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari ibunya.

“Ibu, ada kabar apa?” Bonggan penasaran dan berharap ibunya berterus terang.

Beberapa saat lamanya ibu Bonggan tak berkata-kata. Nafasnya terasa berat bahkan terdengar hingga ke gagang telepon.

“Ibu yakin baik-baik saja? Ada apa, Bu?” Bonggan mengulangi pertanyaannya.

“Ayah sudah tak sadarkan diri. Jika kau ada waktu, pulanglah!” terdengar suara tangis ibu Bondan di ujung telepon.

Tenggorokan Bonggan tercekat. Baru saja kemarin ia menelepon rumah dan diterima langsung oleh ayahnya. Ia yakin ayahnya dalam kondisi sehat. Tapi, mengapa hari ini tak sadarkan diri? Ada apa gerangan?

Ibu Bonggan menjelaskan bahwa ayah terjatuh saat berjalan masuk rumah kemarin. Waktu itu ayah baru saja pulang dari olahraga jalan kaki ke tepi sungai. Ketika hendak masuk rumah, tiba-tiba badannya limbung. Ia terjatuh di ruang tamu.

Seseorang yang kebetulan melintas melihat ayah Bonggan sudah berada di lantai. Ia memberikan pertolongan dengan segera. Ayah diangkat lalu dibaringkan di tempat tidur dekat dapur. Nafasnya terasa berat. Detak jantungnya naik. Beberapa saat kemudian, ia diam dan matanya terpejam.

Kini, ayah Bonggan sudah berada di rumah sakit. Ia ditempatkan di ruang ICU. Pihak rumah sakit hanya memperkenankan pasien ditunggu oleh satu orang. Boleh bergantian, tapi tak boleh lebih dari satu orang. Agar pasien bisa beristirahat.

Mendengar permintaan ibunya, Bonggan menjawab, “Baik, Bu. Insya Allah nanti malam aku pulang. Siang ini sedang ada pekerjaan dan kegiatan sampai sekitar pukul empat sore. Setelah itu, Bonggan segera pulang, Bu!”

Ibu Bonggan memaklumi kesibukan anaknya. Pun jarak tempat anaknya bekerja dengan kampung dan tempat ayahnya dirawat sangat jauh. Ia membiarkan sang anak menyelesaikan tanggung jawabnya. Berharap Bonggan mengajak serta istri dan anak-anaknya.

“Hati-hati di jalan, Nak,” ibu Bonggan memberi nasihat sambil menangis.

“Baik, Bu,” jawab Bonggan. Ia merasa bersalah telah membuat ibunya menangis. Ia tahu ibunya pasti berat mengurus ayah seorang diri. Nanti malam ia harus pulang, setidaknya untuk memastikan keadaan ayahnya.

“Assalamu’alaikum, Nak,” ibu mengakhiri percakapan.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” Bonggan menutup pembicaraan. Ia meletakkan gawainya dengan hati gundah. Tak ada yang mengetahui kesedihan Bonggan di ruang kerjanya. Ia terus melanjutkan menganalisis beberapa data.

Delapan tahun yang lalu, ayah Bonggan pernah terserang stroke. Waktu itu Bonggan baru lima bulan bekerja. Ia bahkan baru saja menerima gaji pertama dan rapelan tunjangan selama lima bulan bekerja. Statusnya masih calon pegawai.

Waktu itu, gaji dan tunjangan yang baru saja diterima Bonggan diserahkan kepada ibu. “Kamu yakin menyerahkan semua uang kamu ke ibu, Nak?” tanya ibu ketika Bonggan menyerahkan amplop berisi beberapa lembar uang kertas.

“Bonggan masih pegang uang di dompet kok, Bu. Bulan depan insya Allah masih ada gajian,” Bonggan tersenyum. Ia ingin meyakinkan ibu bahwa kondisinya baik-baik saja.

Uang itu digunakan untuk membantu biaya pengobatan sakit ayah yang menurut hasil pemeriksaan diakibatkan adanya penyumbatan pembuluh darah di otak. Serangan itu yang mengakibatkan keseimbangan ayah terganggu.

Perlu waktu dua tahun untuk memulihkan kembali fungsi saraf akibat stroke. Setiap hari ayah diterapi berjalan dengan didampingi oleh dua orang di sisi kakan dan kiri. Menjelang pukul sembilan, ritual jalan kaki berakhir. Ayah kembali ke rumah.

Selain itu, ayah juga rutin dipijit oleh ahli fisioterapi. Kadang-kadang diselingi dengan pijit tradisional karena uangnya tak mencukupi untuk terapi ke rumah sakit terus-menerus. Dua tahun setelah menjalani terapi, ayah akhirnya bisa kembali berjalan.

Namun, keseimbangannya belum sepenuhnya pulih. Fungsi sarafnya belum normal seperti sediakala. Kadang-kadang ayah berjalan tak sesuai dengan arah yang semestinya.

Pernah suatu hari, ayah berjalan pulang dari masjid. Ia merasa sudah di tepi jalan. Anehnya, beberapa pengendara membunyikan klakson meminta ayah segera menepi. Rupanya posisi ayah masih di tengah jalan.

***

Pukul empat sore, Bonggan sudah tiba di rumah. Kondisi ayah yang kritis sudah ia sampaikan ke istrinya, Sri, siang tadi melalui sambungan telepon. Ia meminta istrinya tetap di rumah menunggui anak-anaknya yang masih kecil.

Sri merelakan suaminya pergi sementara waktu untuk menjenguk ayahnya. Ia menyiapkan sebungkus nasi dan minuman dalam botol untuk bekal Bonggan di perjalanan. Beberapa setel pakaian sudah dimasukkan ke dalam tas ransel.

Bonggan memesan taksi. Beberapa menit kemudian, taksi tiba di halaman rumah. Bonggan berpamintan dengan Sri dan anak-anaknya. Langit mendung menurunkan rintik-rintik hujan.

Taksi melaju pelan melintasi dua perempatan lampu merah. Berbelok ke kanan melewati jembatan Kali Pepe, hingga tiba di pos tempat pemesanan tiket di luar terminal. Bonggan memilih tempat tersebut untuk menghentikan dan naik ke bus karena tak ingin berurusan dengan calo terminal.

Hujan menderas. Tiga bus berlalu di depan Bonggan. Tapi, bus-bus itu tak mau berhenti. Mungkin karena kursi sudah penuh atau kru bus tak mau berurusan dengan penumpang saat hujan. Entahlah. Bonggan berharap bus keempat mau mengangkutnya.

Gawai di saku baju Bonggan berbunyi. Telepon dari ibu. “Kamu sudah sampai mana, Nak?” tanya ibu di ujung telepon.

Dengan suara agak keras untuk mengalahkan suara percikan air di jalan raya, Bonggan menjawab panggilan, “Masih di sekitar terminal, Bu. Hujan deras sekali di sini. Aku sudah menunggu bus tapi tak satu pun mau berhenti.”

“Oh, ya sudah. Semoga lancar di perjalanan ya, Nak?” suara ibu lirih.

“Kondisi ayah bagaimana, Bu?” Bonggan bertanya.

“Ayahmu masih diam. Tak bicara satu kata pun,” jawab ibu dengan suara bergetar.

Bonggan mencoba bersikap tenang. Ia tak ingin tampak panik atau sedih. Ia harus kuat. “Baik, Bu. Semoga sebentar lagi ada bus yang mau berhenti,” Bonggan mengakhiri percakapan.

Sudah pukul setengah sembilan. Hujan mulai reda. Tapi, tak satu bus pun mau berhenti. Padahal biasanya bus-bus itu masih mau mencari penumpang di luar terminal. Malam ini sungguh aneh.

Bonggan memutuskan untuk kembali pulang. Mengajak istri dan anak-anaknya mengikutinya pulang ke kampung menjenguk ayah. Ia tak ingin kehilangan kesempatan bertemu ayahnya yang saat ini sudah tak sadarkan diri. Sebuah taksi menghampiri dan mengantarnya kembali ke rumah.

“Dik, yuk kita pulang kampung bersama. Ajak anak-anak,” ujar Bonggan ketika tiba kembali ke rumah.

Mendengar permintaan itu, Sri terkejut. Bagaimana mungkin pulang kampung tanpa persiapan memadai? Apalagi dengan mengajak anak-anak. Tentu, perlu waktu setidaknya untuk mengemas barang dan pakaian. Anak-anak pun sudah tertidur.

“Apakah secepat itu? Bagaimana kondisi ayah?” tanya Sri.

“Kau segeralah berkemas. Pakaian anak-anak juga disiapkan. Kita berangkat pakai mobil kita,” perintah Bonggan kepada Sri, sambil berjalan mencari kunci mobil.

Sebetulnya dari awal Bonggan bisa memutuskan untuk menjenguk ayahnya menggunakan mobil. Tapi, karena anak-anaknya masih kecil ditambah lagi dengan kelelahan bekerja seharian, ia memilih pergi dengan bus.

Kebetulan malam ini bus tak mau mengangkutnya. Akhirnya, ia kembali ke pilihan menggunakan kendaraan pribadi. Dengan tenaga yang ada, ia siap berkendara demi menunjukkan baktinya kepada kedua orang tua.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Mas!” Sri protes kepada Bonggan.

Bonggan seperti baru sadar kalau pertanyaan istrinya tadi belum dijawab. “Ayah masih belum sadarkan diri. Aku tak lagi berpikir seberapa parah sakit ayah. Kita harus pulang,” urai Bonggan.

Setengah jam kemudian, seluruh perbekalan telah siap. Bonggan memasukkannya ke bagasi mobil. Kedua anaknya yang masih balita dibopong dan diletakkan di kursi tengah. Mereka masih terlelap meski berpindah tempat tidur.

Sri duduk di depan bersandingan dengan Bonggan. Kijang Super warna merah melaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan rumah Bonggan. Menerobos jalanan yang basah dan mulai sepi.

Hujan sudah benar-benar reda, tapi hawa dinginnya membuat kaca mobil berembun. Dengan telapak tangan, Bonggan mengusap-usap kaca agar embun tak menghalangi pandangan.

Gawai di saku kembali berdering. Ibu Bonggan kembali menghubungi. “Bonggan, kau sudah sampai mana?” tanya suara di ujung telepon. Suaranya cukup terdengar hingga ke telinga Sri.

“Masih di perjalanan. Ini sudah satu jam perjalanan naik mobil bareng Sri dan anak-anak,” jawab Bonggan sambil terus menyetir kendaraannya. Jalanan yang mulai sepi memacu Bonggan melaju lebih cepat.

Ia melanjutkan percakapan dengan ibunya, “Semoga tujuh jam lagi segera sampai, Bu.”

“Hati-hati, Bonggan. Jangan paksakan diri. Kalau mengantuk, istirahatlah,” ibu memberikan nasihat singkat.

“Baik, terima kasih, Bu.”

Tiga jam sudah Bonggan menempuh perjalanan. Kendaraannya memasuki jalan tol. Jalan yang mulus dan jumlah kendaraan yang tak terlalu banyak ditambah stamina yang mulai menurun, membuat Bonggan merasa mengantuk. Ia menepikan kendaraan lalu beristirahat di rest area.

“Aku tidur dulu, Dik. Nanti setelah satu jam tolong dibangunkan, ya?” Bonggan berpesan kepada Sri.

“Iya, Mas,” jawab Sri.

Satu jam sudah Bonggan tertidur. Suaranya mendengkur karena kelelahan. Sebetulnya Sri tak tega membangunkan suaminya. Tapi, tujuan akhir masih jauh. Sri menyentuh pundak suaminya. Bonggan bangun, memggeliat, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Tiga jam mobil melaju di jalan non tol. Adzan shubuh terdengar sayup sampai dari dalam kendaraan. Bonggan menepikan mobilnya ke sebuah SPBU. Ia mengerjakan shalat shubuh lalu melemaskan badan dengan gerakan ringan untuk menghilangkan kantuk.

Kijang Super merah kembali melaju. Kali ini jalanan mulai diisi oleh moda transportasi dari berbagai jenis: sepeda, becak, sepeda motor, mobil, bus, dan truk. Kira-kira satu jam lagi Bonggan sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat.

Tepat di pertigaan lampu merah, mobil Bonggan berbelok ke kanan. Itu adalah jalan menuju rumah sakit. Jaraknya kira-kira satu kilometer lagi. Ia menepikan kendaraannya untuk menghubungi ibunya. Setidaknya memastikan nama dan nomor kamar tempat ayahnya dirawat.

Gawai ibu tak bisa dihubungi. Akhirnya Bonggan menghubungi nomor rumah. Nada sambung telepon terdengar jelas. Sebuah suara menyapa.

“Assalamu’alaikum!” Bonggan memulai pembicaraan.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab penerima telepon.

“Asih, ayah dirawat di kamar apa? Aku sudah hampir sampai rumah sakit,” Bonggan tahu bahwa penerima telepon adalah adiknya yang bernama Asih.

“Mas Bonggan, kata ibu Mas langsung ke rumah saja. Tidak perlu ke rumah sakit,” jawab Asih dengan tenang.

“Memang kenapa?” tanya Bonggan.

“Tidak apa-apa. Ayah sudah tidak sakit,” Asih tetap berusaha tenang. Tapi, Bonggan menaruh kecurigaan. Seperti ada yang tidak beres.

“Apa maksudmu?” tanya Bonggan.

Bonggan mendengar suara ibunya mendekat ke ujung telepon. Suara beralih dari Asih ke ibunya.

“Ibu, kenapa Asih memintaku pulang ke rumah? Bukannya ayah di rumah sakit? Di kamar apa? Aku sudah hampir tiba di rumah sakit,” Bonggan tak sabar ingin mendapatkan kepastian tempat ayahnya dirawat. Semalaman ia lelah berkendara tapi justru ketika hendak sampai di tujuan diminta untuk ke rumah.

Ibu Bonggan menarik nafas pelan. Ia menata kalimat untuk disampaikan kepada anaknya. Akhirnya, ibu berkakta, “Nak, ayah sudah di rumah. Ayah sudah tak sakit lagi.”

“Maksud Ibu apa?” Bonggan masih belum sepenuhnya memahami kalimat ibunya.

“Tadi malam ayah sudah tiada, Nak!” ada suara tangis ibu yang tertahan dari ujung telepon. Hanya Bonggan yang bisa mendengar suara itu.

Suara Bonggan tercekat. Ia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia ingin menangis, tapi isaknya tak keluar. Tenggorokannya seperti tercekik.

Sri yang duduk di sampingnya bertanya, “Ada apa, Mas?”

Bonggan meneteskan air mata. Bibirnya bergetar. Mukanya memerah. Mulutnya berkata lirih, “Ayah…!”

1 komentar:

  1. Ayah teladan dan panutan bagi keluarga besar nya.
    beliau seorang pekerja keras dan pantang menyerah. sakit stroke yg di alaminya bukan penghalang bagi nya. masjid sejauh 1 KM pun ia datangi tun menunaikan ibadah sholat yg menjadi kewajiban nya. salute buat babak, kaulah teladan bagi kami semua. semoga Allah lapangkan kuburnya, dan masuk syurga Allah ta'ala

    BalasHapus