Dalam “General Report” yang
dimuat dalam buku Cashiers de Droit Fiscal International volume LXVIIIb tahun
1983, Prof. Dr. Hans Georg Ruppe, seorang guru besar Hukum Fiskal dan Direktur
The Institute for Financial Law of the University of Graz, Austria, menyatakan
bahwa pada hakikatnya konsepsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) semata-mata
mengandung pengertian sebagai suatu tata cara pemungutan pajak, daripada
sebagai suatu jenis pajak (Untung Sukardji, 2015:9).
PPN memiliki beberapa legal karakter yang diyakini sebagai keunggulan dibandingkan dengan Pajak Penjualan (PPn) yang pernah berlaku sebelumnya. Hal tersebut menjadi alasan PPN diterapkan di beberapa negara maju seperti Jerman (1968) dengan nama Consumption Type Value Added Tax dan Prancis (1954).
Negara-negara lain yang kemudian ikut menerapkan PPN seperti Denmark (1967), Belanda dan Swedia (1969), Luzemburg dan Norwegia (1970), serta Inggris, Italia, dan Austria (1973).
Indonesia mulai memberlakukan
PPN dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). UU ini juga
disebut dengan UU PPN 1984 sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983.
Di antara legal karakter PPN
itu adalah bahwa PPN merupakan pajak objektif. Dengan karakter ini, PPN
mengedepankan adanya objek pajak dibandingkan kondisi subjek pajak. Hal
tersebut berarti bahwa sepanjang ada konsumsi barang dan jasa, di situ ada PPN.
Tak peduli konsumen orang kaya atau rakyat jelata.
Selain objektif, PPN jugabersifat
netral: dikenakan terhadap konsumsi barang dan jasa baik domestik maupun impor.
Pengenaan PPN mestinya tidak memengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Namun, faktanya pemerintah menetapkan
beberapa jenis barang dan jasa tidak dikenai PPN alias bukan objek PPN. Hal ini
yang diatur di dalam Pasal 4A UU PPN 1984 dan perubahannya. Ada 4 jenis barang
dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN (sebelum terbit UU Harmonisasi
Peraturan Perpajakan—HPP).
Selain itu, terhadap barang
dan jasa tertentu yang merupakan objek PPN diberikan fasilitas PPN baik berupa
pembebasan PPN, PPN tidak dipungut, maupun PPN ditanggung pemerintah.
Pemerintah beralasan bahwa
fasilitas di bidang PPN diperlukan terutama untuk keberhasilan sektor kegiatan
ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan
dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
Pengecualian barang dan jasa
dari pengenaan PPN dan pemberian fasilitas di bidang PPN sejak pertama kali UU
PPN diundangkan kadang menjadikan masyarakat resisten ketika terjadi perubahan
suatu barang dan jasa dari semula tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.
Ini terjadi, misalnya,
ketika pada awal Oktober 2021 pemerintah dan DPR menyepakati RUU HPP menjadi
UU. Dalam UU HPP, menurut informasi yang penulis terima, pengecualian barang
yang tidak dikenai PPN (bukan barang kena pajak—disingkat non BKP) tinggal
tersisa 2 (dua) jenis saja.
Kedua jenis barang tersebut
adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha
jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah
(PDRD); serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan
surat berharga.
Sementara itu, jasa yang
tidak dikenai PPN (bukan jasa kena pajak—disingkat non JKP) dari semula 17
jenis kini hanya tinggal 6 jenis saja. Pertama,
jasa keagamaan. Kedua, jasa kesenian
dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan
hiburan yang merupakan objek PDRD.
Ketiga, jasa
perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di
hotel yang merupakan objek PDRD. Keempat,
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.
Kelima, jasa
penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat
parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola
tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek PDRD.
Keenam, jasa
boga atau katering, meliputi semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan
minuman yang merupakan objek PDRD.
Sejak diberlakukan di
Indonesia pada 1 April 1985 (meskipun dasar hukumnya adalah UU No. 8 Tahun
1983), PPN dan PPnBM terbukti efektif menjadi mesin pencetak uang (money maker) penerimaan pajak. Hal ini
wajar mengingat PPN dikenakan di setiap mata rantai penyerahan barang dan jasa.
Data yang penulis peroleh
baik Laporan Tahunan DJP tahun 2003 s.d. 2015 maupun Laporan Kinerja (Lakin)
DJP tahun 2016 s.d. 2020, PPN dan PPnBM memperoleh porsi penerimaan sekitar 40%
dari total penerimaan pajak. Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2020 mencapai
Rp507,51 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.198,80 triliun.
Meskipun dikenakan di setiap
mata rantai penyerahan barang dan jasa, PPN tidak menimbulkan pajak ganda
(pajak atas pajak—cascading effect).
Pasalnya, ada mekanisme pengkreditan PPN atas perolehan barang dan jasa yang
dikenal dengan istilah pajak masukan.
Sebagai contoh, seorang
pedagang komputer membeli komputer dari pemasok dengan nilai pembelian Rp5
juta. Atas pembelian tersebut, pedagang membayar PPN sebesar 10% atau Rp500
ribu. PPN yang dibayar kepada pemasok tersebut diistilahkan dengan pajak
masukan.
Selanjutnya, komputer
tersebut dijual ke konsumen akhir dengan harga Rp7 juta ditambah PPN 10% atau
Rp700 ribu. PPN yang dipungut pedagang dari konsumen disebut dengan pajak
keluaran.
Berdasarkan contoh di atas,
PPN yang dibayar ke kas negara oleh pedagang adalah selisih antara pajak
keluaran dan pajak masukan (Rp700 ribu – Rp500 ribu) sebesar Rp200 ribu. Itulah
yang disebut dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan.
Banyak pihak mengakali
kekurangan bayar PPN ke kas negara dengan cara memperbesar pajak masukan, namun
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Tindakan ini merupakan pidana
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A huruf a UU Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (disingkat UU KUP).
Pengenaan PPN terhadap sejumlah barang dan
jasa yang semula tidak dikenai PPN memunculkan kekhawatiran akan adanya
kenaikan harga. Hal tersebut sangat wajar mengingat konsumen akhir merupakan
sasaran pengenaan PPN (destinataris).
Namun, kebijakan ini dibarengi dengan
pemberian fasilitas berupa pembebasan PPN sehingga bagi konsumen hal ini tidak
berdampak secara ekonomi. Tidak ada PPN yang harus dibayar kepada pihak yang
melakukan penyerahan barang atau jasa.
Sebetulnya, baik pengecualian objek pajak
maupun pemberian fasilitas di bidang PPN, keduanya termasuk salah satu bentuk
belanja pajak (tax expenditure—TE)
sehingga mengurangi penerimaan pajak dari jumlah yang seharusnya dipungut dan
disetorkan ke kas negara.
Data Tax
Expenditure Report (TER) yang diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal
Kemenkeu tahun 2016 s.d. 2019 menunjukkan bahwa total TE berjumlah Rp143,6
triliun pada tahun 2016, Rp154,7 triliun tahun 2017, Rp221,1 triliun tahun
2018, dan Rp257,2 triliun tahun 2019.
Khusus di tahun 2019, TE terbesar adalah dari PPN dan PPnBM sebesar Rp166,9 triliun atau 64,9% dari total TE. Jumlah ini berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun.
Demikain juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
Agar tetap memberikan kontribusi kepada
penerimaan negara, UU HPP menetapkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11%
pada 1 April 2022 serta 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Ini sekaligus
sebagai upaya pemerintah mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk vaksin,
bansos, BLT, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar