Rabu, 10 November 2021

Menguatkan Peran “Money Maker” PPN


            Dalam “General Report” yang dimuat dalam buku Cashiers de Droit Fiscal International volume LXVIIIb tahun 1983, Prof. Dr. Hans Georg Ruppe, seorang guru besar Hukum Fiskal dan Direktur The Institute for Financial Law of the University of Graz, Austria, menyatakan bahwa pada hakikatnya konsepsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) semata-mata mengandung pengertian sebagai suatu tata cara pemungutan pajak, daripada sebagai suatu jenis pajak (Untung Sukardji, 2015:9).

            PPN memiliki beberapa legal karakter yang diyakini sebagai keunggulan dibandingkan dengan Pajak Penjualan (PPn) yang pernah berlaku sebelumnya. Hal tersebut menjadi alasan PPN diterapkan di beberapa negara maju seperti Jerman (1968) dengan nama Consumption Type Value Added Tax dan Prancis (1954).


Negara-negara lain yang kemudian ikut menerapkan PPN seperti Denmark (1967), Belanda dan Swedia (1969), Luzemburg dan Norwegia (1970), serta Inggris, Italia, dan Austria (1973).

Indonesia mulai memberlakukan PPN dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). UU ini juga disebut dengan UU PPN 1984 sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983.

Di antara legal karakter PPN itu adalah bahwa PPN merupakan pajak objektif. Dengan karakter ini, PPN mengedepankan adanya objek pajak dibandingkan kondisi subjek pajak. Hal tersebut berarti bahwa sepanjang ada konsumsi barang dan jasa, di situ ada PPN. Tak peduli konsumen orang kaya atau rakyat jelata.

Selain objektif, PPN jugabersifat netral: dikenakan terhadap konsumsi barang dan jasa baik domestik maupun impor. Pengenaan PPN mestinya tidak memengaruhi pola konsumsi masyarakat.

Namun, faktanya pemerintah menetapkan beberapa jenis barang dan jasa tidak dikenai PPN alias bukan objek PPN. Hal ini yang diatur di dalam Pasal 4A UU PPN 1984 dan perubahannya. Ada 4 jenis barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN (sebelum terbit UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan—HPP).

Selain itu, terhadap barang dan jasa tertentu yang merupakan objek PPN diberikan fasilitas PPN baik berupa pembebasan PPN, PPN tidak dipungut, maupun PPN ditanggung pemerintah.

Pemerintah beralasan bahwa fasilitas di bidang PPN diperlukan terutama untuk keberhasilan sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.

Pengecualian barang dan jasa dari pengenaan PPN dan pemberian fasilitas di bidang PPN sejak pertama kali UU PPN diundangkan kadang menjadikan masyarakat resisten ketika terjadi perubahan suatu barang dan jasa dari semula tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.

Ini terjadi, misalnya, ketika pada awal Oktober 2021 pemerintah dan DPR menyepakati RUU HPP menjadi UU. Dalam UU HPP, menurut informasi yang penulis terima, pengecualian barang yang tidak dikenai PPN (bukan barang kena pajak—disingkat non BKP) tinggal tersisa 2 (dua) jenis saja.

Kedua jenis barang tersebut adalah makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD); serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

Sementara itu, jasa yang tidak dikenai PPN (bukan jasa kena pajak—disingkat non JKP) dari semula 17 jenis kini hanya tinggal 6 jenis saja. Pertama, jasa keagamaan. Kedua, jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan yang merupakan objek PDRD.

Ketiga, jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek PDRD. Keempat, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

Kelima, jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek PDRD.

Keenam, jasa boga atau katering, meliputi semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek PDRD.

Sejak diberlakukan di Indonesia pada 1 April 1985 (meskipun dasar hukumnya adalah UU No. 8 Tahun 1983), PPN dan PPnBM terbukti efektif menjadi mesin pencetak uang (money maker) penerimaan pajak. Hal ini wajar mengingat PPN dikenakan di setiap mata rantai penyerahan barang dan jasa.

Data yang penulis peroleh baik Laporan Tahunan DJP tahun 2003 s.d. 2015 maupun Laporan Kinerja (Lakin) DJP tahun 2016 s.d. 2020, PPN dan PPnBM memperoleh porsi penerimaan sekitar 40% dari total penerimaan pajak. Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2020 mencapai Rp507,51 triliun dari total penerimaan pajak sebesar Rp1.198,80 triliun.

Meskipun dikenakan di setiap mata rantai penyerahan barang dan jasa, PPN tidak menimbulkan pajak ganda (pajak atas pajak—cascading effect). Pasalnya, ada mekanisme pengkreditan PPN atas perolehan barang dan jasa yang dikenal dengan istilah pajak masukan.

Sebagai contoh, seorang pedagang komputer membeli komputer dari pemasok dengan nilai pembelian Rp5 juta. Atas pembelian tersebut, pedagang membayar PPN sebesar 10% atau Rp500 ribu. PPN yang dibayar kepada pemasok tersebut diistilahkan dengan pajak masukan.

Selanjutnya, komputer tersebut dijual ke konsumen akhir dengan harga Rp7 juta ditambah PPN 10% atau Rp700 ribu. PPN yang dipungut pedagang dari konsumen disebut dengan pajak keluaran.

Berdasarkan contoh di atas, PPN yang dibayar ke kas negara oleh pedagang adalah selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan (Rp700 ribu – Rp500 ribu) sebesar Rp200 ribu. Itulah yang disebut dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan.

Banyak pihak mengakali kekurangan bayar PPN ke kas negara dengan cara memperbesar pajak masukan, namun tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Tindakan ini merupakan pidana pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A huruf a UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (disingkat UU KUP).

                Pengenaan PPN terhadap sejumlah barang dan jasa yang semula tidak dikenai PPN memunculkan kekhawatiran akan adanya kenaikan harga. Hal tersebut sangat wajar mengingat konsumen akhir merupakan sasaran pengenaan PPN (destinataris).

                Namun, kebijakan ini dibarengi dengan pemberian fasilitas berupa pembebasan PPN sehingga bagi konsumen hal ini tidak berdampak secara ekonomi. Tidak ada PPN yang harus dibayar kepada pihak yang melakukan penyerahan barang atau jasa.

                Sebetulnya, baik pengecualian objek pajak maupun pemberian fasilitas di bidang PPN, keduanya termasuk salah satu bentuk belanja pajak (tax expenditure—TE) sehingga mengurangi penerimaan pajak dari jumlah yang seharusnya dipungut dan disetorkan ke kas negara.

                Data Tax Expenditure Report (TER) yang diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu tahun 2016 s.d. 2019 menunjukkan bahwa total TE berjumlah Rp143,6 triliun pada tahun 2016, Rp154,7 triliun tahun 2017, Rp221,1 triliun tahun 2018, dan Rp257,2 triliun tahun 2019.

                Khusus di tahun 2019, TE terbesar adalah dari PPN dan PPnBM sebesar Rp166,9 triliun atau 64,9% dari total TE. Jumlah ini berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun.

            Demikain juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.

                Agar tetap memberikan kontribusi kepada penerimaan negara, UU HPP menetapkan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 serta 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Ini sekaligus sebagai upaya pemerintah mengatasi dampak pandemi Covid-19 dalam bentuk vaksin, bansos, BLT, dan lain-lain.

UU HPP harus dapat membuktikan bahwa PPN berpihak pada kepentingan masyarakat dengan memberikan fasilitas pembebasan PPN untuk barang dan jasa tertentu. Di sisi lain, PPN juga harus menunjukkan kembali perannya sebagai money maker penerimaan pajak. Pastikan setiap pengusaha kena pajak menjalankan kewajiban PPN-nya sesuai dengan undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar