Kamis, 23 September 2021

KM 226.600

“Bu, Salman sudah di rumah sakit. Bersama dengan Rahayu di sini. Ibu baik-baik, ya?“ Salman membuka pembicaraan dalam panggilan video. Ia menghubungi ibunya melalui gawai yang dipegang oleh adiknya, Rini, di dalam ruang perawatan.

Salman baru tiba di rumah sakit tempat ibunya dirawat, setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta. Ia ingin memberikan semangat ibunya yang saat ini berada di ruang isolasi Madinah akibat terserang covid-19.

Salman ingin membuktikan bahwa kehadirannya bukan hanya di dunia maya melalui panggilan video dari tempatnya bekerja di Sumatera. Tapi, ia benar-benar hadir dekat dengan ibunya. Apalagi dalam dua hari ini kondisi ibunya menurun.

Dari layar gawai terlihat posisi tidur ibunya sudah berubah dari sebelumnya. Miring dan cenderung telungkup. Biasanya posisi seperti itu diambil untuk memudahkan pernafasan. Tadi pagi Salman mendapatkan informasi saturasi oksigen ibunya masih di angka 87.

“Nanti Salman ketemu sama perawat ya, Bu? Kalau perlu sama dokternya biar bisa bicara lebih detail bagaimana perawatan Ibu selanjutnya,” kembali Salman menyapa ibunya. Di sana, ibu Salman hanya memberikan anggukan. Tak sanggup berkata-kata karena sedang sesak nafas berat.

Panggilan video diakhiri. Salman dan Rahayu berjalan menuju ruang pengawasan pasien isolasi. Di sana, ia menemui perawat yang setiap hari secara bergilir memberikan perawatan dan melakukan observasi terkait kondisi kesehatan ibunya.

Perawat mempersilakan dia dan istrinya duduk. Antara keduanya dan perawat ada plastik penyekat untuk membatasi kontak langsung.

“Sejauh ini pengobatan apa yang sudah diberikan kepada ibu saya, Mbak?” Salman membuka pembicaraan dengan pertanyaan.

Perawat membuka buku observasi harian. Lembar demi lembar dibuka lalu memberikan penjelasan kepada Salman, “Oksigen sentral diberikan dua puluh empat jam. Kami juga memberikan obat-obat yang diperlukan untuk pemulihan pasien.”

“Saturasi oksigen bagaimana, Mbak?” Rahayu mengajukan pertanyaan.

“Saturasi naik turun, Bu,” kata perawat, “pagi tadi 87. Kemarin sempat di atas 90.”

Salman dan Rahayu berpandangan. Kontak mata keduanya menyiratkan kecocokan dengan informasi yang diberikan Rini pagi tadi.

“Doakan yang terbaik untuk ibu ya, Bu. Semoga saturasinya bisa terus naik,” perawat mencoba menenangkan Salman dan Rini. Ia mengira kedua tamunya ragu-ragu dengan informasi yang baru saja diberikan.

“Aamiin,” balas Salman dan Rahayu bersamaan.

Perawat kembali membuka halaman-halaman berisi catatan medis harian. Ia seperti ingin menyampaikan hal penting kepada Salman dan Rahayu. Untuk beberapa saat, ketiga orang di tempat itu terdiam.

“Maaf, Mbak,” Salman memecah keheningan, “sebetulnya kondisi paru-paru ibu saya bagaimana? Boleh saya tahu hasil rontgen ibu saya?”

Perawat menegakkan posisi duduknya. Ia tak memegang hasil rontgen itu. Pun di buku yang ia pegang tidak ada catatan hasil rontgen maupun interpretasi medisnya.

“Oh, kalau rontgen saya harus izin dulu ke bagian radiologi,” jawab perawat, “arsipnya ada di sana. Sebentar ya, Pak.”

“Baik, Mbak,” jawab Salman.

Perawat berdiri lalu ia pergi meninggalkan Salman dan Rahayu.

Beberapa menit kemudian, perawat kembali ke tempat semula. Duduk di hadapan Salman dan Rahayu. Ia membawa satu amplop coklat dan selembar kertas. Ketika amplop coklat dibuka, ada plastik film berwarna hitam. Perawat mengeluarkan hasil foto rontgen itu.

“Banyak kabut di paru-paru bagian bawah,” perawat mengawali penjelasannya soal foto rontgen. Sambil memegang pulpen dan menunjuk ke arah ‘kabut’ yang dimaksud.

“Saya tidak berkompeten menjelaskan artinya, tapi kemungkinan kondisinya sudah penuh virus,” jelas perawat sambil menggerak-gerakkan pulpen melingkari warna putih pada paru-paru bagian bawah. Ia melanjutkan, “Virus sudah masuk sampai ke paru-paru bagian bawah.”

Salman menarik nafas panjang. Seperti ada beban berat di pundaknya. Ia membayangkan betapa beratnya kondisi pernafasan ibunya saat pertama kali masuk rumah sakit ini. Meskipun sempat membaik beberapa saat, tapi belakangan justru kembali menurun.

Sambil memainkan jari-jemarinya di meja, Salman bertanya kembali, “Kira-kira sampai kapan ibu saya berada di ruang isolasi dan bisa dirawat di ruang bangsal, Mbak?”

Perawat seperti hendak menjawab pertanyaan, tapi Salman buru-buru menyambung pertanyaannya, “Maaf, Mbak. Berdasarkan pengalaman saya yang pernah kena covid setengah tahun yang lalu, orang positif covid dengan menunjukkan gejala bisa menjalani isolasi selama empat belas hari. Apakah itu berlaku juga untuk ibu saya?”

“Wah, kalau untuk itu saya kurang tahu, Pak,” sahut perawat, “semuanya dokter yang menentukan. Tapi, sepertinya ibu tetap di ruang isolasi dulu sampai kondisi paru-parunya membaik. Nanti jika kondisinya sudah memungkinkan, boleh jadi ibu pindah ke bangsal biasa. Bukan lagi ruang isolasi.”

“Ya, itu yang sudah saya coba jelaskan ke ibu saya, Mbak,” Salman menimpali kata-kata perawat.

“Maaf, Pak, Bu. Apakah penjelasan saya cukup? Atau ada hal lain yang ingin ditanyakan?” tanya perawat kepada Salman dan Rahayu.

“Cukup, Mbak,” jawab Salman, “terima kasih atas penjelasannya. Mohon izin saya titip ibu saya. Semoga kondisinya makin membaik.”

“Insya Allah, Pak. Amanah kami laksanakan,” perawat tersenyum lalu menambahkan, “tetap doakan yang terbaik buat ibu, Pak.”

Perawat meninggalkan ruang pertemuan. Ia kembali ke tempat kerjanya, melanjutkan aktivitasnya memantau pasien yang berada di ruang isolasi Madinah. Selanjutnya, Salman dan Rahayu menemui Mas Sam, internal audit rumah sakit yang kebetulan masih ada hubungan famili dengan Salman.

Di ruang terbuka dengan kursi sofa seadanya, Mas Sam menerima kedatangan Salman dan Rahayu. Sebetulnya sudah ada komunikasi di antara mereka sebelumnya. Pertemuan hari ini adalah menegaskan kembali apa-apa yang pernah dibicarakan.

Panjang lebar Salman, Rahayu, dan Mas Sam berbincang mengenai keluarga, saudara, hingga akhirnya pembicaraan mengerucut ke ibunda Salman. Salman merasa sangat berutang budi kepada Mas Sam karena selama ini telah banyak berbuat untuk membantu perawatan ibunya.

“Mas Sam,” Salman mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, “saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Mas Sam sehingga ibu saya bisa dirawat dengan baik di sini. Minta tolong titip ibu saya. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya.”

“Sama-sama. Saya hanya bisa melakukan apa yang menjadi kewajiban saya. Semoga ibu segera membaik dan pulih kembali,” jawab Mas Sam.

“Maaf, Mas. Apakah saya diperboleh menitipkan makanan untuk ibu dan adik saya di dalam?” Rahayu menunjuk ke arah plastik warna biru. Isinya adalah makanan, suplemen, dan rebusan daun sungkai yang merupakan pemberian dari kawan Salman di Sumatera.

Mas Sam menyilakan Rahayu menitipkan bungkusan itu ke perawat untuk kemudian disampaikan ke kamar perawatan. Rahayu berjalan ke pintu masuk ruang perawat dan menyerahkan bungkusan tersebut.

“Baik, terima kasih, Mas. Kami pamit dulu,” Salman lagi-lagi mengatupan telapak tangannya di depan dada. Sejurus kemudian ia bersama istrinya bergegas menuju tempat parkir kendaraan. Mereka menuju sebuah minimarket yang terletak di depan rumah sakit.

Setelah membeli beberapa keperluan untuk perjalanan menuju Jakarta, Salman menelepon Mamat, adik bungsunya yang biasanya membantu memenuhi keperluan ibu dan Rini di ruang perawatan.

“Mamat, alhamdulillah tadi aku sudah bertemu dengan pihak rumah sakit,” kata Salman dengan mengeraskan suara gawai agar didengar oleh Rahayu. “Insya Allah dengan perawatan yang baik hingga saat ini, ibu segera pulih kembali,” sambungnya.

“Iya, Mas. Terima kasih sudah menjenguk ibu,” jawab Mamat di ujung telepon sana.

“Kalau begitu, aku dan Rahayu pamit dulu. Kami harus kembali ke Jakarta. Besok harus tes PCR lalu kembali ke Padang.”

“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikkumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” Mamat menutup pembicaraan.

Sebelum meninggalkan area rumah sakit, Rahayu mengingatkan Salman pesanan anak sulung: tahu murni dan soto tauco khas Tegal. Salman memacu kendaraannya menyusuri Jalan Singkil hingga perempatan lampu merah lalu belok ke kanan.

Usai memesan tahu aci yang masih mentah supaya bisa digoreng di rumah, ia bergegas menuju daerah Talang. Di sana ia memesan tiga porsi soto tauco dengan kuah terpisah. Semua pesanan lengkap sudah. Saatnya makan siang, shalat, lalu kembali ke Jakarta.

Mobil yang dikendarai Salman memasuki ruas tol Kanci-Palimanan. Rasa lelah dan perut kenyang setelah makan siang membuat mata Salman mengantuk. Dia menepikan kendaraannya, masuk ke tempat istirahat di KM 208.

Rahayu merasakan hal yang sama. Keduanya menurunkan sandaran kursi, menyetel lagu pelan-pelan, lalu tidur. Jam menunjuk pukul 14.10 WIB.

Dua puluh menit kemudian, sebuah nada panggilan masuk ke gawai Salman. Nada deringnya terdengar jelas karena tersambung dengan pengeras suara di dalam mobil. Rupanya telepon dari Rini.

“Mas Salman, tolong jangan ke Jakarta dulu,” sebuah kelimat seperti diucapkan dengan tergesa-gesa, “saturasi ibu turun jadi 65!”

Salman menangkap tanda-tanda kedaruratan. Apalagi setelahnya terdengar kalimat zikir seperti sedang men-talkin seseorang yang sedang sekarat. Ini masalah serius. “Oke, aku segera kembali ke rumah sakit,” jawab Salman singkat.

Rahayu meminta Salman tetap tenang, tidak tergesa-gesa. Ia melihat aura kecemasan di wajah Salman. Meski seorang perempuan, ia terlihat tegar. Rahayu bukan sekali ini saja menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Sebagai mantan manajer di rumah sakit, ia paham betul bagaimana menguasai emosi dan perasaan pada saat-saat genting.

Salman memacu kendaraannya agak cepat. Mencari pintu keluar tol terdekat. Rambu-rambu memberikan petunjuk keluar tol Ciperna dalam jarak 1 km. usai melintasi jalanan non-tol, Salman kemudian kembali masuk ke pintu tol mengarah ke Tegal.

Tepat pukul 15.00, Rini yang berada di ruangan bersama ibu menghubungi Rahayu melalui telepon, memberikan kabar duka. Ibu telah tiada. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Salman yang masih memegang setir tak bisa berkata-kata. Air matanya tumpah. Orang yang sangat dicintainya telah kembali ke haribaan-Nya.

Rahayu memeluk Salman. “Sabar, ya. Menepi dulu. Tenangkan hati dan pikiran,” kata Rahayu dengan lembut. Ia mengelus-elus rambut suaminya. Salman menepikan kendaraannya ke jalur darurat di sebelah kiri. Tepat di KM 226.600.

“Apa kata Rini tadi?” Salman tak puas dengan kata-kata istrinya.

“Ibu sudah tiada. Sabar, ya? Istighfar. Insya Allah ibu husnulkhatimah,” Rahayu kembali menenangkan suaminya. Matanya berkaca-kaca. Tapi, ia mengerdip berkali-kali, membuat air matanya kembali terserap. Tak ikut tumpah seperti suaminya.

“Janji, ya? Hanya menangis di hadapanku saja. Jangan di depan adik-adik. Mereka butuh penguatan. Kita harus kuat di hadapan mereka,” Rahayu meminta kesediaan suaminya untuk tetap tegar. Sesuatu yang tidak mudah. Tapi harus Salman lakukan. Ia adalah anak sulung.

Telepon masuk tak henti-henti. Adik-adik Salman, paman, uwak, termasuk juga Mas Sam yang ikut mengucapkan bela sungkawa. Semua panggilan masuk diterima oleh Rahayu karena Salman masih dalam kondisi emosional.

Salman kembali menginjak gas. Spidometer menujuk angka 120 lalu pindah ke 140. Salman berkendara dengan kecepatan tinggi. Satu jam kemudian, kendaraan sampai ke pintu keluar tol Tegal.

Tak perlu waktu lama untuk sampai kembali ke rumah sakit karena hanya berjarak 2,5 kilometer dari pintu tol. Dalam waktu tujuh menit, kendaraan Salman memasuki parkir di depan gedung Zamzam.

Salman bergegas menemui perawat ruang isolasi. Kepada petugas ia meminta izin untuk dapat memandikan, mengkafani, dan menyalati ibunya.

“Tolong ya, Mbak, ini bakti terakhir saya buat ibu saya,” pinta Salman.

Pihak rumah sakit mengizinkan. Salman menandatangani beberapa berkas surat.

“Maaf, Pak. Kira-kira ibu mau dimakamkan di mana?” perawat bertanya kepada Salman.

“Di sebelah makan bapak saya saja, Bu. Apakah bisa?”

“Bisa, Pak. Silakan Bapak hubungi pihak keluarga untuk menyiapkan liang kubur dan jika sudah siap segera kabari kami. Petugas ambulan akan bersiap jika sudah ada informasi dari Bapak,” jawab perawat.

“Sudah, Bu. Sekarang akan disiapkan liang kuburnya. Nanti saya kabarkan kepada Ibu jika proses penggalian sudah selesai.”

“Baik kalau begitu, Pak. Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Mengenakan pakaian hazmat lengkap dengan sarung tangan karet, masker ganda, dan penutup wajah, Salman bersama-sama dengan perawat memasuki lorong ruang isolasi Madinah. Tak lupa ia mengambil sepasang sarung tangan karet untuk diberikan kepada Rini yang juga akan membantunya memandikan ibu.

Salman melihat kamar-kamar perawatan dengan kondisi pasien yang kebanyakan sesak nafas. Dada pasien terlihat jelas naik-turun. Ia jadi teringat ibunya. Matanya meleleh lagi. Nafasnya jadi sesak karena masker ganda yang ia pakai.

Di ruang isolasi, Salman bertemu dengan Rini dan memberikan sarung tangan karet untuk dipakai ketika memandikan jenazah ibu. Prosesi memandikan jenazah segera dimulai.

Salman memandang wajah ibunya dengan perasaan sedih. Mata ibunya yang terpejam, seolah-olah hanyalah tidur sebentar. Ia seperti belum percaya ibunya sudah wafat.

Di akhir proses memandikan, Salman mewudhukan ibunya. Ia menyiramkan air ke bagian-bagian seperti telapak tangan, muka, kedua lengan hingga ke siku, rambut, telinga, dan kedua kaki.

Berikutnya jenazah dikafani, dibungkus dengan kantong mayat, lalu diletakkan di atas dipan sambil menunggu peti jenazah disiapkan oleh petugas. Salman keluar dari ruang pemulasaran, melepas pakaian hazmat lalu membersihkan badannya dengan sabun.

Menjelang maghrib, Salman menghubungi keluarga dan aparat desa untuk menanyakan apakah penggalian liang kubur telah usai. Karena waktu sudah senja, penggalian akan dilanjutkan usai shalat maghrib.

Salman dan Rahayu istirahat sejenak. Sembari menunggu kabar selanjutnya, mereka shalat maghrib dijamak dengan shalat isya. Sementara Rini shalat di kamar perawatan, tempat ibunya semula dirawat. Mukena dan pakaian shalat masih ada di kamar.

Menjelang isya, petugas penguburan telah siap. Tapi, atas saran dari aparat desa, sebaiknya proses penguburan dilakukan usai shalat isya. Di dekat makam ada mushala yang bisa digunakan untuk melakukan shalat jenazah. Setelah itu baru jenazah dibawa ke pemakaman.

Selepas isya, Salman mendapatkan kabar kesiapan masyarakat menyambut kedatangan jenazah untuk dishalatkan di mushala. Petugas ambulan bersiap. Kendaraan melaju dengan kencang. Semua kendaraan yang lewat diminta menepi. Sirine meraung-raung.

Lima belas menit kemudian, kendaraan memasuk area mushala. Jamaah shalat sudah menunggu untuk melaksanakan shalat jenazah di halaman mushala. Imam yang memimpin shalat berwasiat takwa dan mengingatkan akan nasihat terbaik berupa kematian.

Mendekati pukul delapan malam, pemakaman usai dilakukan. Petugas KUA kelurahan membacakan beberapa kalimat talkin. Berwasiat agar ahli kubur selalu memegang kalimat tauhid dan tidak ragu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.

Petugas KUA memimpin doa. Semua orang yang hadir mengamini, tak terkecuali Salman. Ia hampir menangis, tapi buru-buru mengambil nafas dalam-dalam. Ia ingat pesan istrinya di KM 226.600 tadi siang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar