“Bu, Salman sudah di rumah sakit. Bersama dengan Rahayu di sini. Ibu baik-baik, ya?“ Salman membuka pembicaraan dalam panggilan video. Ia menghubungi ibunya melalui gawai yang dipegang oleh adiknya, Rini, di dalam ruang perawatan.
Salman baru tiba di rumah sakit tempat ibunya dirawat, setelah menempuh perjalanan jauh dari Jakarta. Ia ingin memberikan semangat ibunya yang saat ini berada di ruang isolasi Madinah akibat terserang covid-19.
Salman ingin membuktikan
bahwa kehadirannya bukan hanya di dunia maya melalui panggilan video dari
tempatnya bekerja di Sumatera. Tapi, ia benar-benar hadir dekat dengan ibunya.
Apalagi dalam dua hari ini kondisi ibunya menurun.
Dari layar gawai terlihat
posisi tidur ibunya sudah berubah dari sebelumnya. Miring dan cenderung
telungkup. Biasanya posisi seperti itu diambil untuk memudahkan pernafasan.
Tadi pagi Salman mendapatkan informasi saturasi oksigen ibunya masih di angka
87.
“Nanti Salman ketemu sama
perawat ya, Bu? Kalau perlu sama dokternya biar bisa bicara lebih detail bagaimana
perawatan Ibu selanjutnya,” kembali Salman menyapa ibunya. Di sana, ibu Salman
hanya memberikan anggukan. Tak sanggup berkata-kata karena sedang sesak nafas
berat.
Panggilan video diakhiri.
Salman dan Rahayu berjalan menuju ruang pengawasan pasien isolasi. Di sana, ia
menemui perawat yang setiap hari secara bergilir memberikan perawatan dan
melakukan observasi terkait kondisi kesehatan ibunya.
Perawat mempersilakan dia
dan istrinya duduk. Antara keduanya dan perawat ada plastik penyekat untuk
membatasi kontak langsung.
“Sejauh ini pengobatan apa
yang sudah diberikan kepada ibu saya, Mbak?” Salman membuka pembicaraan dengan
pertanyaan.
Perawat membuka buku
observasi harian. Lembar demi lembar dibuka lalu memberikan penjelasan kepada
Salman, “Oksigen sentral diberikan dua puluh empat jam. Kami juga memberikan
obat-obat yang diperlukan untuk pemulihan pasien.”
“Saturasi oksigen bagaimana,
Mbak?” Rahayu mengajukan pertanyaan.
“Saturasi naik turun, Bu,”
kata perawat, “pagi tadi 87. Kemarin sempat di atas 90.”
Salman dan Rahayu
berpandangan. Kontak mata keduanya menyiratkan kecocokan dengan informasi yang
diberikan Rini pagi tadi.
“Doakan yang terbaik untuk
ibu ya, Bu. Semoga saturasinya bisa terus naik,” perawat mencoba menenangkan
Salman dan Rini. Ia mengira kedua tamunya ragu-ragu dengan informasi yang baru
saja diberikan.
“Aamiin,” balas Salman dan
Rahayu bersamaan.
Perawat kembali membuka
halaman-halaman berisi catatan medis harian. Ia seperti ingin menyampaikan hal
penting kepada Salman dan Rahayu. Untuk beberapa saat, ketiga orang di tempat
itu terdiam.
“Maaf, Mbak,” Salman memecah
keheningan, “sebetulnya kondisi paru-paru ibu saya bagaimana? Boleh saya tahu
hasil rontgen ibu saya?”
Perawat menegakkan posisi
duduknya. Ia tak memegang hasil rontgen itu. Pun di buku yang ia pegang tidak
ada catatan hasil rontgen maupun interpretasi medisnya.
“Oh, kalau rontgen saya
harus izin dulu ke bagian radiologi,” jawab perawat, “arsipnya ada di sana.
Sebentar ya, Pak.”
“Baik, Mbak,” jawab Salman.
Perawat berdiri lalu ia
pergi meninggalkan Salman dan Rahayu.
Beberapa menit kemudian,
perawat kembali ke tempat semula. Duduk di hadapan Salman dan Rahayu. Ia
membawa satu amplop coklat dan selembar kertas. Ketika amplop coklat dibuka,
ada plastik film berwarna hitam. Perawat mengeluarkan hasil foto rontgen itu.
“Banyak kabut di paru-paru
bagian bawah,” perawat mengawali penjelasannya soal foto rontgen. Sambil
memegang pulpen dan menunjuk ke arah ‘kabut’ yang dimaksud.
“Saya tidak berkompeten
menjelaskan artinya, tapi kemungkinan kondisinya sudah penuh virus,” jelas
perawat sambil menggerak-gerakkan pulpen melingkari warna putih pada paru-paru
bagian bawah. Ia melanjutkan, “Virus sudah masuk sampai ke paru-paru bagian
bawah.”
Salman menarik nafas
panjang. Seperti ada beban berat di pundaknya. Ia membayangkan betapa beratnya kondisi
pernafasan ibunya saat pertama kali masuk rumah sakit ini. Meskipun sempat
membaik beberapa saat, tapi belakangan justru kembali menurun.
Sambil memainkan
jari-jemarinya di meja, Salman bertanya kembali, “Kira-kira sampai kapan ibu
saya berada di ruang isolasi dan bisa dirawat di ruang bangsal, Mbak?”
Perawat seperti hendak
menjawab pertanyaan, tapi Salman buru-buru menyambung pertanyaannya, “Maaf,
Mbak. Berdasarkan pengalaman saya yang pernah kena covid setengah tahun yang
lalu, orang positif covid dengan menunjukkan gejala bisa menjalani isolasi
selama empat belas hari. Apakah itu berlaku juga untuk ibu saya?”
“Wah, kalau untuk itu saya
kurang tahu, Pak,” sahut perawat, “semuanya dokter yang menentukan. Tapi,
sepertinya ibu tetap di ruang isolasi dulu sampai kondisi paru-parunya membaik.
Nanti jika kondisinya sudah memungkinkan, boleh jadi ibu pindah ke bangsal
biasa. Bukan lagi ruang isolasi.”
“Ya, itu yang sudah saya
coba jelaskan ke ibu saya, Mbak,” Salman menimpali kata-kata perawat.
“Maaf, Pak, Bu. Apakah
penjelasan saya cukup? Atau ada hal lain yang ingin ditanyakan?” tanya perawat
kepada Salman dan Rahayu.
“Cukup, Mbak,” jawab Salman,
“terima kasih atas penjelasannya. Mohon izin saya titip ibu saya. Semoga
kondisinya makin membaik.”
“Insya Allah, Pak. Amanah kami
laksanakan,” perawat tersenyum lalu menambahkan, “tetap doakan yang terbaik
buat ibu, Pak.”
Perawat meninggalkan ruang
pertemuan. Ia kembali ke tempat kerjanya, melanjutkan aktivitasnya memantau
pasien yang berada di ruang isolasi Madinah. Selanjutnya, Salman dan Rahayu
menemui Mas Sam, internal audit rumah sakit yang kebetulan masih ada hubungan
famili dengan Salman.
Di ruang terbuka dengan
kursi sofa seadanya, Mas Sam menerima kedatangan Salman dan Rahayu. Sebetulnya
sudah ada komunikasi di antara mereka sebelumnya. Pertemuan hari ini adalah
menegaskan kembali apa-apa yang pernah dibicarakan.
Panjang lebar Salman,
Rahayu, dan Mas Sam berbincang mengenai keluarga, saudara, hingga akhirnya pembicaraan
mengerucut ke ibunda Salman. Salman merasa sangat berutang budi kepada Mas Sam
karena selama ini telah banyak berbuat untuk membantu perawatan ibunya.
“Mas Sam,” Salman
mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, “saya mengucapkan terima kasih
atas bantuan Mas Sam sehingga ibu saya bisa dirawat dengan baik di sini. Minta
tolong titip ibu saya. Kalau ada apa-apa, segera hubungi saya.”
“Sama-sama. Saya hanya bisa
melakukan apa yang menjadi kewajiban saya. Semoga ibu segera membaik dan pulih
kembali,” jawab Mas Sam.
“Maaf, Mas. Apakah saya
diperboleh menitipkan makanan untuk ibu dan adik saya di dalam?” Rahayu
menunjuk ke arah plastik warna biru. Isinya adalah makanan, suplemen, dan
rebusan daun sungkai yang merupakan pemberian dari kawan Salman di Sumatera.
Mas Sam menyilakan Rahayu
menitipkan bungkusan itu ke perawat untuk kemudian disampaikan ke kamar
perawatan. Rahayu berjalan ke pintu masuk ruang perawat dan menyerahkan
bungkusan tersebut.
“Baik, terima kasih, Mas.
Kami pamit dulu,” Salman lagi-lagi mengatupan telapak tangannya di depan dada.
Sejurus kemudian ia bersama istrinya bergegas menuju tempat parkir kendaraan.
Mereka menuju sebuah minimarket yang terletak di depan rumah sakit.
Setelah membeli beberapa
keperluan untuk perjalanan menuju Jakarta, Salman menelepon Mamat, adik
bungsunya yang biasanya membantu memenuhi keperluan ibu dan Rini di ruang
perawatan.
“Mamat, alhamdulillah tadi
aku sudah bertemu dengan pihak rumah sakit,” kata Salman dengan mengeraskan
suara gawai agar didengar oleh Rahayu. “Insya Allah dengan perawatan yang baik
hingga saat ini, ibu segera pulih kembali,” sambungnya.
“Iya, Mas. Terima kasih
sudah menjenguk ibu,” jawab Mamat di ujung telepon sana.
“Kalau begitu, aku dan
Rahayu pamit dulu. Kami harus kembali ke Jakarta. Besok harus tes PCR lalu kembali
ke Padang.”
“Iya, Mas. Hati-hati di
jalan.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikkumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,” Mamat menutup pembicaraan.
Sebelum meninggalkan area
rumah sakit, Rahayu mengingatkan Salman pesanan anak sulung: tahu murni dan
soto tauco khas Tegal. Salman memacu kendaraannya menyusuri Jalan Singkil
hingga perempatan lampu merah lalu belok ke kanan.
Usai memesan tahu aci yang
masih mentah supaya bisa digoreng di rumah, ia bergegas menuju daerah Talang.
Di sana ia memesan tiga porsi soto tauco dengan kuah terpisah. Semua pesanan
lengkap sudah. Saatnya makan siang, shalat, lalu kembali ke Jakarta.
Mobil yang dikendarai Salman
memasuki ruas tol Kanci-Palimanan. Rasa lelah dan perut kenyang setelah makan
siang membuat mata Salman mengantuk. Dia menepikan kendaraannya, masuk ke
tempat istirahat di KM 208.
Rahayu merasakan hal yang
sama. Keduanya menurunkan sandaran kursi, menyetel lagu pelan-pelan, lalu
tidur. Jam menunjuk pukul 14.10 WIB.
Dua puluh menit kemudian,
sebuah nada panggilan masuk ke gawai Salman. Nada deringnya terdengar jelas
karena tersambung dengan pengeras suara di dalam mobil. Rupanya telepon dari
Rini.
“Mas Salman, tolong jangan
ke Jakarta dulu,” sebuah kelimat seperti diucapkan dengan tergesa-gesa,
“saturasi ibu turun jadi 65!”
Salman menangkap tanda-tanda
kedaruratan. Apalagi setelahnya terdengar kalimat zikir seperti sedang men-talkin seseorang yang sedang sekarat.
Ini masalah serius. “Oke, aku segera kembali ke rumah sakit,” jawab Salman
singkat.
Rahayu meminta Salman tetap
tenang, tidak tergesa-gesa. Ia melihat aura kecemasan di wajah Salman. Meski
seorang perempuan, ia terlihat tegar. Rahayu bukan sekali ini saja menghadapi
situasi yang mengkhawatirkan. Sebagai mantan manajer di rumah sakit, ia paham
betul bagaimana menguasai emosi dan perasaan pada saat-saat genting.
Salman memacu kendaraannya
agak cepat. Mencari pintu keluar tol terdekat. Rambu-rambu memberikan petunjuk
keluar tol Ciperna dalam jarak 1 km. usai melintasi jalanan non-tol, Salman
kemudian kembali masuk ke pintu tol mengarah ke Tegal.
Tepat pukul 15.00, Rini yang
berada di ruangan bersama ibu menghubungi Rahayu melalui telepon, memberikan
kabar duka. Ibu telah tiada. Inna lillahi
wa inna ilaihi roji’un. Salman yang masih memegang setir tak bisa
berkata-kata. Air matanya tumpah. Orang yang sangat dicintainya telah kembali
ke haribaan-Nya.
Rahayu memeluk Salman. “Sabar,
ya. Menepi dulu. Tenangkan hati dan pikiran,” kata Rahayu dengan lembut. Ia
mengelus-elus rambut suaminya. Salman menepikan kendaraannya ke jalur darurat
di sebelah kiri. Tepat di KM 226.600.
“Apa kata Rini tadi?” Salman
tak puas dengan kata-kata istrinya.
“Ibu sudah tiada. Sabar, ya?
Istighfar. Insya Allah ibu husnulkhatimah,”
Rahayu kembali menenangkan suaminya. Matanya berkaca-kaca. Tapi, ia mengerdip
berkali-kali, membuat air matanya kembali terserap. Tak ikut tumpah seperti
suaminya.
“Janji, ya? Hanya menangis
di hadapanku saja. Jangan di depan adik-adik. Mereka butuh penguatan. Kita
harus kuat di hadapan mereka,” Rahayu meminta kesediaan suaminya untuk tetap
tegar. Sesuatu yang tidak mudah. Tapi harus Salman lakukan. Ia adalah anak
sulung.
Telepon masuk tak
henti-henti. Adik-adik Salman, paman, uwak,
termasuk juga Mas Sam yang ikut mengucapkan bela sungkawa. Semua panggilan
masuk diterima oleh Rahayu karena Salman masih dalam kondisi emosional.
Salman kembali menginjak
gas. Spidometer menujuk angka 120 lalu pindah ke 140. Salman berkendara dengan
kecepatan tinggi. Satu jam kemudian, kendaraan sampai ke pintu keluar tol
Tegal.
Tak perlu waktu lama untuk
sampai kembali ke rumah sakit karena hanya berjarak 2,5 kilometer dari pintu
tol. Dalam waktu tujuh menit, kendaraan Salman memasuki parkir di depan gedung
Zamzam.
Salman bergegas menemui
perawat ruang isolasi. Kepada petugas ia meminta izin untuk dapat memandikan,
mengkafani, dan menyalati ibunya.
“Tolong ya, Mbak, ini bakti
terakhir saya buat ibu saya,” pinta Salman.
Pihak rumah sakit
mengizinkan. Salman menandatangani beberapa berkas surat.
“Maaf, Pak. Kira-kira ibu
mau dimakamkan di mana?” perawat bertanya kepada Salman.
“Di sebelah makan bapak saya
saja, Bu. Apakah bisa?”
“Bisa, Pak. Silakan Bapak
hubungi pihak keluarga untuk menyiapkan liang kubur dan jika sudah siap segera
kabari kami. Petugas ambulan akan bersiap jika sudah ada informasi dari Bapak,”
jawab perawat.
“Sudah, Bu. Sekarang akan
disiapkan liang kuburnya. Nanti saya kabarkan kepada Ibu jika proses penggalian
sudah selesai.”
“Baik kalau begitu, Pak.
Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Mengenakan pakaian hazmat
lengkap dengan sarung tangan karet, masker ganda, dan penutup wajah, Salman
bersama-sama dengan perawat memasuki lorong ruang isolasi Madinah. Tak lupa ia
mengambil sepasang sarung tangan karet untuk diberikan kepada Rini yang juga
akan membantunya memandikan ibu.
Salman melihat kamar-kamar
perawatan dengan kondisi pasien yang kebanyakan sesak nafas. Dada pasien
terlihat jelas naik-turun. Ia jadi teringat ibunya. Matanya meleleh lagi.
Nafasnya jadi sesak karena masker ganda yang ia pakai.
Di ruang isolasi, Salman
bertemu dengan Rini dan memberikan sarung tangan karet untuk dipakai ketika
memandikan jenazah ibu. Prosesi memandikan jenazah segera dimulai.
Salman memandang wajah
ibunya dengan perasaan sedih. Mata ibunya yang terpejam, seolah-olah hanyalah
tidur sebentar. Ia seperti belum percaya ibunya sudah wafat.
Di akhir proses memandikan,
Salman mewudhukan ibunya. Ia menyiramkan air ke bagian-bagian seperti telapak
tangan, muka, kedua lengan hingga ke siku, rambut, telinga, dan kedua kaki.
Berikutnya jenazah dikafani,
dibungkus dengan kantong mayat, lalu diletakkan di atas dipan sambil menunggu
peti jenazah disiapkan oleh petugas. Salman keluar dari ruang pemulasaran,
melepas pakaian hazmat lalu membersihkan badannya dengan sabun.
Menjelang maghrib, Salman
menghubungi keluarga dan aparat desa untuk menanyakan apakah penggalian liang
kubur telah usai. Karena waktu sudah senja, penggalian akan dilanjutkan usai
shalat maghrib.
Salman dan Rahayu istirahat
sejenak. Sembari menunggu kabar selanjutnya, mereka shalat maghrib dijamak
dengan shalat isya. Sementara Rini shalat di kamar perawatan, tempat ibunya
semula dirawat. Mukena dan pakaian shalat masih ada di kamar.
Menjelang isya, petugas
penguburan telah siap. Tapi, atas saran dari aparat desa, sebaiknya proses
penguburan dilakukan usai shalat isya. Di dekat makam ada mushala yang bisa
digunakan untuk melakukan shalat jenazah. Setelah itu baru jenazah dibawa ke
pemakaman.
Selepas isya, Salman
mendapatkan kabar kesiapan masyarakat menyambut kedatangan jenazah untuk
dishalatkan di mushala. Petugas ambulan bersiap. Kendaraan melaju dengan
kencang. Semua kendaraan yang lewat diminta menepi. Sirine meraung-raung.
Lima belas menit kemudian,
kendaraan memasuk area mushala. Jamaah shalat sudah menunggu untuk melaksanakan
shalat jenazah di halaman mushala. Imam yang memimpin shalat berwasiat takwa
dan mengingatkan akan nasihat terbaik berupa kematian.
Mendekati pukul delapan
malam, pemakaman usai dilakukan. Petugas KUA kelurahan membacakan beberapa
kalimat talkin. Berwasiat agar ahli
kubur selalu memegang kalimat tauhid dan tidak ragu menjawab pertanyaan
malaikat Munkar dan Nakir.
Petugas KUA memimpin doa.
Semua orang yang hadir mengamini, tak terkecuali Salman. Ia hampir menangis,
tapi buru-buru mengambil nafas dalam-dalam. Ia ingat pesan istrinya di KM 226.600
tadi siang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar