Seandainya waktu bisa diputar, Mardi tak akan merasa semenyesal ini meratapi bangunan tua mushalla yang kini nyaris roboh digerogoti rayap. Tiang-tiangnya yang meskipun terlihat tegak, jika dipukul pelan akan berbunyi nyaring, pertanda tidak ada isi di tengahnya. Keropos.
Atap
seng yang berkarat di sana-sini, beberapa bagiannya sudah terangkat akibat
terpaan angin. Dulu, lubang di seng itu boleh dikatakan bocor. Tapi, dengan
kerusakan separah ini, kata ‘bocor’ tidak lagi tepat. Air yang melewati lubang
atap hanya dalam waktu sebentar saja sudah menjadi banjir.
Kusen
jendela di sisi utara nyaris lepas dari kayu yang mengikatnya. Kacanya sudah
pecah. Sebagian kaca lain yang retak, posisinya menggantung. Hanya dengan
sentuhan kecil saja, retakan itu akan dengan mudah terjatuh.
Mardi
duduk di atas sajadah tipis berwarna merah kusam. Menghadap kiblat. Bibirnya
melantunkan kalimat zikir, tapi hatinya tak bisa khusyuk. Ia masih memikirkan
bagaimana cara memakmurkan kembali mushalla pascakematian Kyai Rodhi tujuh
tahun yang lalu. Kondisi jamaah kini jauh berubah.
Dalam
lima tahun terakhir, jarang sekali orang mau shalat berjamaah di mushalla.
Bahkan, sulit sekali mencari orang yang mau mengumandangkan adzan. Terutama
para pemuda. Alasannya macam-macam: suara parau, takut salah, atau terlambat
datang ke mushalla.
Mardi
menyangka itu hanyalah alasan yang dibuat-buat. Padahal, dari dulu Kyai Rodhi
tidak pernah menyalahkan siapa pun yang adzan di mushalla ini.
Tapi,
ada satu kejadian yang selalu Mardi ingat dan mungkin menjadi alasan pemuda
tidak mau lagi adzan di mushalla itu. Suatu hari, Parman yang masih kelas tiga
sekolah dasar mengumandangkan adzan zhuhur dengan lantang. Pekerjaan itu ia lakukan
sama seperti hari-hari sebelumnya.
Sampai
di kalimat hayya ‘alash shalat
ternyata Parman keliru mengucapkan hayya
‘alal falah. Kesalahan itu tak disengaja. Parman benar-benar tak
menyadarinya. Ia merasa kalimatnya benar. Padahal nyatanya memang keliru.
Mardi
yang tinggal di samping mushalla langsung keluar rumah. Ia berlari dengan
tergopoh-gopoh. “Hei, bocah! Kalau belum bisa adzan, tak usah kau adzan,”
katanya sambil berteriak, “bikin kacau saja! Sudah, biar digantikan sama yang
lain. Bikin malu kaum mushalla!”
Parman
yang hampir saja selesai dengan kalimat terakhir adzan, menghentikan
kumandangnya. Wajahnya pucat. Ia memandangi wajah Mardi dengan perasaan tegang.
Dadanya bergetar. Mulutnya terdiam.
Bagi
Parman, Mardi saat itu adalah monster paling menakutkan. Ia bahkan lebih
mengerikan daripada monster Medusa dalam mitologi Yunani kuno.
Parman
berlari meninggalkan mushalla. Sepasang sandalnya ia raih dengan tangan. Tak
lagi dikenakan di kaki karena buru-buru ingin pergi dari tempat itu. Hawa di mushalla
terasa panas di badan. Seperti neraka.
Entah
apa yang kemudian diperbuat oleh Parman di rumahnya usai insiden itu. Yang
jelas, sejak hari itu Parman tak lagi datang ke mushalla. Bukan semata-mata
karena takut adzan. Bahkan shalat berjamaah pun tak mau. Ia sangat takut
bertemu Mardi yang wajah galaknya selalu tergambar di depan mata. Seolah-olah
sosok itu hadir di mana pun Parman berada.
Teman-teman
sejawat Parman tahu kejadian siang itu. Tapi, mereka tak berani bicara kepada
siapa pun. Mereka juga takut jadi sasaran kemarahan Mardi. Selama beberapa
lamanya mushalla jadi sepi dari kehadiran anak-anak.
Kyai
Rodhi sempat menanyakan hal ini kepada beberapa orang yang hadir berjamaah di
mushalla. Sudah menjadi kebiasaannya mengajari anak-anak mengaji Al-Qur’an
setiap usai shalat maghrib hingga datang waktu isya. Tapi jumlah anak yang
mengaji makin sedikit.
Malam
Jumat yang biasanya diramaikan dengan pembacaan surat Yasin hanya dihadiri tiga
orang anak: Pon, Wage, dan Kliwon. Mereka bertiga adalah kakak beradik.
Hingga
suatu saat Hendri, teman akrab Parman, memberanikan diri menceritakan kejadian
siang itu kepada Kyai Rodhi. Itu pun setelah minta izin kepada Parman. Awalnya
Parman keberatan. Takut kalau masalahnya jadi makin besar.
Hendri
berhasil meyakinkan Parman bahwa aduannya kepada Kyai Rodhi akan dimintakan
untuk dirahasiakan. Artinya, Kyai Rodhi akan diminta berjanji untuk tidak
memberitahukan siapa yang mengadukan masalah itu. Biarkan sesepuh mushalla itu
menyelesaikan dan mengingatkan Mardi dengan caranya.
Kyai
Rodhi menganggukkan kepala beberapa kali setelah mendengarkan penjelasan
Hendri. Ia paham bahwa Parman memang keliru ketika mengumandangkan adzan.
Tetapi, cara Mardi mengingatkan lebih keliru lagi. Bahkan menimbulkan trauma bagi
Parman.
Sebagai
sesepuh yang bijak, Kyai Rodhi melakukan pendekatan pribadi kepada Mardi. Ia
paham betul bahwa Mardi memang mudah naik darah. Terutama jika diingatkan
tentang sesuatu yang ia tak sukai. Usianya baru beranjak 50 tahun.
Hingga
suatu hari selepas shalat maghrib berjamaah, Kyai Rodhi memanggil Mardi. Mereka
melakukan pembicaraan empat mata.
“Pak
Mardi,” Kyai Rodhi membuka pembicaraan. Suaranya berwibawa.
“Ya,
Kyai. Ada perintah, Kyai? Ada yang bisa saya bantu?” Mardi menjawab seruan Kyai
Rodhi dengan sopan. Ia duduk bersimpuh dengan kepala sedikit menunduk. Pria itu
sangat hormat kepada sang kyai.
“Aku
minta maaf kalau mengganggu waktu istirahat Pak Mardi petang ini. Ada yang
ingin saya sampaikan. Ini hal penting. Menyangkut masa depan mushalla kita.
Menyangkut kehidupan duniawi kita. Juga menyangkut kehidupan akhirat kita,”
Kyai memegang janggutnya yang memutih.
“Apa
maksud Kyai?”
“Tapi,”
Kyai Rodhi memelankan suaranya, “apa pun itu, saya berharap Pak Mardi tidak
tersinggung.”
“Insya
Allah, Kyai. Sendiko dawuh.”
“Aku
memperhatikan akhir-akhir ini mushalla kita mulai sepi. Ke mana anak-anak yang
biasanya mengaji selepas maghrib?”
“Waduh,
kalau itu saya tidak tahu, Kyai. Memang kenapa, Kyai?”
“Pak
Mardi tidak memperhatikan?”
“Saya
tahu, Kyai. Tapi tidak terlalu memperhatikan. Maaf, Kyai.”
“Begini,
Pak Mardi,” Kyai Rodhi merapatkan jarak dengan Pak Mardi, “aku dengar ada anak
yang dimarahi gara-gara salah ketika mengumandangkan adzan. Apa benar?”
Mardi
tersentak. Kedua alisnya terangkat. Ia tak menyangka Kyai Rodhi akan
membicarakan soal Parman. Anak kecil yang tempo hari ia marahi karena keliru
mengucapkan kalimat adzan.
“Pak
Mardi apakah tahu soal itu?” tanya Kyai Rodhi.
“Eh,
kalau itu,” Mardi menata kata-kata, “saya tahu, Kyai.”
“Siapa
nama anak itu? Siapa pula yang memarahinya?”
“Anu,
Kyai. Ehm... Itu Si Parman namanya. Anu, Kyai. Saya yang kemarin marah ke dia.
Saya tidak sengaja. Maafkan saya, Kyai.”
“Oh,
jadi Pak Mardi yang memarahi anak itu?” tanya Kyai Rodhi dengan lembut namun
berwibawa.
“Maafkan
saya, Kyai.”
“Bukan
soal maaf, Pak Mardi. Pengakuan Bapak akan kejadian itu bahwa Bapaklah yang
melakukan, menurut saya sudah cukup. Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Insya Allah jika kita memohon ampun, Dia akan berikan ampun.”
“Terima
kasih, Kyai,” jawab Pak Mardi bungah.
“Tapi,
masalahnya ini menyangkut hubungan manusia, Pak. Saya sarankan Pak Mardi meminta
maaf kepada anak itu.”
“Minta
maaf, Kyai?”
“Iya.
Pak Mardi enggan?”
“Bukan
begitu, Kyai. Terus terang saya malu. Kalau boleh, minta tolong Kyai yang
sampaikan ke anak itu. Jujur, Kyai. Sejak kejadian itu saya merasa bersalah.
Tapi, saya tidak berani ungkapkan.”
“Syukur
alhamdulillah jika Pak Mardi merasa demikian. Kalau begitu, insya Allah besok
saya akan datang ke anak itu dan menyampaikan permintaan maaf Pak Mardi. Lain
kali, Bapak harus lebih hati-hati berbicara kepada anak-anak.”
“Terima
kasih, Kyai,” Mardi meraih telapak tangan Kyai Rodhi lalu mencium punggung
tangannya.
Keesokan
harinya, Kyai Rodhi menyampaikan permintaan maaf Mardi kepada Parman. Namun,
ibarat nasi sudah menjadi bubur. Trauma Parman sepertinya sulit disembuhkan.
“Saya menerima permintaan maaf itu, Kyai,” ujar Parman. Tapi, hatinya masih
menyimpan ketakutan kepada Pak Mardi. Ia tetap enggan datang ke mushalla.
Demikian juga anak-anak yang lain.
Parman
bahkan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mengumandangkan adzan. Seumur
hidup. Kapan pun dan di mana pun. Tak peduli masjid yang paling bagus sekali
pun. Cukuplah kesalahan yang ia lakukan di mushalla menjadi pelajaran berharga.
“Daripada salah lagi, mending tidak usah sekalian,” batinnya.
Enam
tahun berselang. Usai menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama, Parman
memilih meneruskan studi di pesantren tahfizh Al-Qur’an. Prestasi sekolahnya
tergolong bagus. Dalam satu tahun, ia bisa menghafalkan lima juz Al-Qur’an.
Ia
bahkan beberapa kali mengimami shalat berjamaah di pesantren. Selain bacaannya
fasih, suaranya juga merdu. Teman-temannya kagum dan juga segan kepadanya.
Dalam hati Parman mengatakan, “Aku bersedia menjadi imam shalat. Asalkan jangan
pernah diminta adzan.”
Sementara
mushalla yang kini didiami Mardi masih sepi. Pemuda asyik dengan hiruk-pikuk
dunia. Para tetua yang dulu rajin shalat berjamaah sudah banyak yang meninggal dunia,
menyusul Kyai Rodhi yang lebih dulu kembali ke haribaan Ilahi.
Waktu
zuhur sudah tiba. Mardi menyalakan ampli mushalla. Ia meraih mikrofon. Dengan
penuh keyakinan ia mengumandangkan adzan. Berharap seruannya sampai ke hati
Parman dan pemuda yang lama meninggalkan kampung itu mau kembali.
“Allahu
Akbar, Allahu Akbar!,” Mardi memulai seruannya. Suaranya menggetarkan alam
semesta. Lalu ia sambung, “Laa ilaaha illallaah…!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar