Minggu, 25 April 2021

Mardi, Parman, dan Kumandang Adzan

         Seandainya waktu bisa diputar, Mardi tak akan merasa semenyesal ini meratapi bangunan tua mushalla yang kini nyaris roboh digerogoti rayap. Tiang-tiangnya yang meskipun terlihat tegak, jika dipukul pelan akan berbunyi nyaring, pertanda tidak ada isi di tengahnya. Keropos.

Atap seng yang berkarat di sana-sini, beberapa bagiannya sudah terangkat akibat terpaan angin. Dulu, lubang di seng itu boleh dikatakan bocor. Tapi, dengan kerusakan separah ini, kata ‘bocor’ tidak lagi tepat. Air yang melewati lubang atap hanya dalam waktu sebentar saja sudah menjadi banjir.

Kusen jendela di sisi utara nyaris lepas dari kayu yang mengikatnya. Kacanya sudah pecah. Sebagian kaca lain yang retak, posisinya menggantung. Hanya dengan sentuhan kecil saja, retakan itu akan dengan mudah terjatuh.

Mardi duduk di atas sajadah tipis berwarna merah kusam. Menghadap kiblat. Bibirnya melantunkan kalimat zikir, tapi hatinya tak bisa khusyuk. Ia masih memikirkan bagaimana cara memakmurkan kembali mushalla pascakematian Kyai Rodhi tujuh tahun yang lalu. Kondisi jamaah kini jauh berubah.

Dalam lima tahun terakhir, jarang sekali orang mau shalat berjamaah di mushalla. Bahkan, sulit sekali mencari orang yang mau mengumandangkan adzan. Terutama para pemuda. Alasannya macam-macam: suara parau, takut salah, atau terlambat datang ke mushalla.

Mardi menyangka itu hanyalah alasan yang dibuat-buat. Padahal, dari dulu Kyai Rodhi tidak pernah menyalahkan siapa pun yang adzan di mushalla ini.

Tapi, ada satu kejadian yang selalu Mardi ingat dan mungkin menjadi alasan pemuda tidak mau lagi adzan di mushalla itu. Suatu hari, Parman yang masih kelas tiga sekolah dasar mengumandangkan adzan zhuhur dengan lantang. Pekerjaan itu ia lakukan sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sampai di kalimat hayya ‘alash shalat ternyata Parman keliru mengucapkan hayya ‘alal falah. Kesalahan itu tak disengaja. Parman benar-benar tak menyadarinya. Ia merasa kalimatnya benar. Padahal nyatanya memang keliru.

Mardi yang tinggal di samping mushalla langsung keluar rumah. Ia berlari dengan tergopoh-gopoh. “Hei, bocah! Kalau belum bisa adzan, tak usah kau adzan,” katanya sambil berteriak, “bikin kacau saja! Sudah, biar digantikan sama yang lain. Bikin malu kaum mushalla!”

Parman yang hampir saja selesai dengan kalimat terakhir adzan, menghentikan kumandangnya. Wajahnya pucat. Ia memandangi wajah Mardi dengan perasaan tegang. Dadanya bergetar. Mulutnya terdiam.

Bagi Parman, Mardi saat itu adalah monster paling menakutkan. Ia bahkan lebih mengerikan daripada monster Medusa dalam mitologi Yunani kuno.

Parman berlari meninggalkan mushalla. Sepasang sandalnya ia raih dengan tangan. Tak lagi dikenakan di kaki karena buru-buru ingin pergi dari tempat itu. Hawa di mushalla terasa panas di badan. Seperti neraka.

Entah apa yang kemudian diperbuat oleh Parman di rumahnya usai insiden itu. Yang jelas, sejak hari itu Parman tak lagi datang ke mushalla. Bukan semata-mata karena takut adzan. Bahkan shalat berjamaah pun tak mau. Ia sangat takut bertemu Mardi yang wajah galaknya selalu tergambar di depan mata. Seolah-olah sosok itu hadir di mana pun Parman berada.

Teman-teman sejawat Parman tahu kejadian siang itu. Tapi, mereka tak berani bicara kepada siapa pun. Mereka juga takut jadi sasaran kemarahan Mardi. Selama beberapa lamanya mushalla jadi sepi dari kehadiran anak-anak.

Kyai Rodhi sempat menanyakan hal ini kepada beberapa orang yang hadir berjamaah di mushalla. Sudah menjadi kebiasaannya mengajari anak-anak mengaji Al-Qur’an setiap usai shalat maghrib hingga datang waktu isya. Tapi jumlah anak yang mengaji makin sedikit.

Malam Jumat yang biasanya diramaikan dengan pembacaan surat Yasin hanya dihadiri tiga orang anak: Pon, Wage, dan Kliwon. Mereka bertiga adalah kakak beradik.

Hingga suatu saat Hendri, teman akrab Parman, memberanikan diri menceritakan kejadian siang itu kepada Kyai Rodhi. Itu pun setelah minta izin kepada Parman. Awalnya Parman keberatan. Takut kalau masalahnya jadi makin besar.

Hendri berhasil meyakinkan Parman bahwa aduannya kepada Kyai Rodhi akan dimintakan untuk dirahasiakan. Artinya, Kyai Rodhi akan diminta berjanji untuk tidak memberitahukan siapa yang mengadukan masalah itu. Biarkan sesepuh mushalla itu menyelesaikan dan mengingatkan Mardi dengan caranya.

Kyai Rodhi menganggukkan kepala beberapa kali setelah mendengarkan penjelasan Hendri. Ia paham bahwa Parman memang keliru ketika mengumandangkan adzan. Tetapi, cara Mardi mengingatkan lebih keliru lagi. Bahkan menimbulkan trauma bagi Parman.

Sebagai sesepuh yang bijak, Kyai Rodhi melakukan pendekatan pribadi kepada Mardi. Ia paham betul bahwa Mardi memang mudah naik darah. Terutama jika diingatkan tentang sesuatu yang ia tak sukai. Usianya baru beranjak 50 tahun.

Hingga suatu hari selepas shalat maghrib berjamaah, Kyai Rodhi memanggil Mardi. Mereka melakukan pembicaraan empat mata.

“Pak Mardi,” Kyai Rodhi membuka pembicaraan. Suaranya berwibawa.

“Ya, Kyai. Ada perintah, Kyai? Ada yang bisa saya bantu?” Mardi menjawab seruan Kyai Rodhi dengan sopan. Ia duduk bersimpuh dengan kepala sedikit menunduk. Pria itu sangat hormat kepada sang kyai.

“Aku minta maaf kalau mengganggu waktu istirahat Pak Mardi petang ini. Ada yang ingin saya sampaikan. Ini hal penting. Menyangkut masa depan mushalla kita. Menyangkut kehidupan duniawi kita. Juga menyangkut kehidupan akhirat kita,” Kyai memegang janggutnya yang memutih.

“Apa maksud Kyai?”

“Tapi,” Kyai Rodhi memelankan suaranya, “apa pun itu, saya berharap Pak Mardi tidak tersinggung.”

“Insya Allah, Kyai. Sendiko dawuh.”

“Aku memperhatikan akhir-akhir ini mushalla kita mulai sepi. Ke mana anak-anak yang biasanya mengaji selepas maghrib?”

“Waduh, kalau itu saya tidak tahu, Kyai. Memang kenapa, Kyai?”

“Pak Mardi tidak memperhatikan?”

“Saya tahu, Kyai. Tapi tidak terlalu memperhatikan. Maaf, Kyai.”

“Begini, Pak Mardi,” Kyai Rodhi merapatkan jarak dengan Pak Mardi, “aku dengar ada anak yang dimarahi gara-gara salah ketika mengumandangkan adzan. Apa benar?”

Mardi tersentak. Kedua alisnya terangkat. Ia tak menyangka Kyai Rodhi akan membicarakan soal Parman. Anak kecil yang tempo hari ia marahi karena keliru mengucapkan kalimat adzan.

“Pak Mardi apakah tahu soal itu?” tanya Kyai Rodhi.

“Eh, kalau itu,” Mardi menata kata-kata, “saya tahu, Kyai.”

“Siapa nama anak itu? Siapa pula yang memarahinya?”

“Anu, Kyai. Ehm... Itu Si Parman namanya. Anu, Kyai. Saya yang kemarin marah ke dia. Saya tidak sengaja. Maafkan saya, Kyai.”

“Oh, jadi Pak Mardi yang memarahi anak itu?” tanya Kyai Rodhi dengan lembut namun berwibawa.

“Maafkan saya, Kyai.”

“Bukan soal maaf, Pak Mardi. Pengakuan Bapak akan kejadian itu bahwa Bapaklah yang melakukan, menurut saya sudah cukup. Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Insya Allah jika kita memohon ampun, Dia akan berikan ampun.”

“Terima kasih, Kyai,” jawab Pak Mardi bungah.

“Tapi, masalahnya ini menyangkut hubungan manusia, Pak. Saya sarankan Pak Mardi meminta maaf kepada anak itu.”

“Minta maaf, Kyai?”

“Iya. Pak Mardi enggan?”

“Bukan begitu, Kyai. Terus terang saya malu. Kalau boleh, minta tolong Kyai yang sampaikan ke anak itu. Jujur, Kyai. Sejak kejadian itu saya merasa bersalah. Tapi, saya tidak berani ungkapkan.”

“Syukur alhamdulillah jika Pak Mardi merasa demikian. Kalau begitu, insya Allah besok saya akan datang ke anak itu dan menyampaikan permintaan maaf Pak Mardi. Lain kali, Bapak harus lebih hati-hati berbicara kepada anak-anak.”

“Terima kasih, Kyai,” Mardi meraih telapak tangan Kyai Rodhi lalu mencium punggung tangannya.

Keesokan harinya, Kyai Rodhi menyampaikan permintaan maaf Mardi kepada Parman. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Trauma Parman sepertinya sulit disembuhkan. “Saya menerima permintaan maaf itu, Kyai,” ujar Parman. Tapi, hatinya masih menyimpan ketakutan kepada Pak Mardi. Ia tetap enggan datang ke mushalla. Demikian juga anak-anak yang lain.

Parman bahkan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mengumandangkan adzan. Seumur hidup. Kapan pun dan di mana pun. Tak peduli masjid yang paling bagus sekali pun. Cukuplah kesalahan yang ia lakukan di mushalla menjadi pelajaran berharga. “Daripada salah lagi, mending tidak usah sekalian,” batinnya.

Enam tahun berselang. Usai menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama, Parman memilih meneruskan studi di pesantren tahfizh Al-Qur’an. Prestasi sekolahnya tergolong bagus. Dalam satu tahun, ia bisa menghafalkan lima juz Al-Qur’an.

Ia bahkan beberapa kali mengimami shalat berjamaah di pesantren. Selain bacaannya fasih, suaranya juga merdu. Teman-temannya kagum dan juga segan kepadanya. Dalam hati Parman mengatakan, “Aku bersedia menjadi imam shalat. Asalkan jangan pernah diminta adzan.”

Sementara mushalla yang kini didiami Mardi masih sepi. Pemuda asyik dengan hiruk-pikuk dunia. Para tetua yang dulu rajin shalat berjamaah sudah banyak yang meninggal dunia, menyusul Kyai Rodhi yang lebih dulu kembali ke haribaan Ilahi.

Waktu zuhur sudah tiba. Mardi menyalakan ampli mushalla. Ia meraih mikrofon. Dengan penuh keyakinan ia mengumandangkan adzan. Berharap seruannya sampai ke hati Parman dan pemuda yang lama meninggalkan kampung itu mau kembali.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar!,” Mardi memulai seruannya. Suaranya menggetarkan alam semesta. Lalu ia sambung, “Laa ilaaha illallaah…!”

Loh, kok langsung kalimat terakhir? Mardi melihat sosok Parman muncul dari pintu mushalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar