Jarum pendek di arloji masih menunjuk angka delapan. Hari masih pagi, tapi matahari sangat terik. Aldo baru saja menyelesaikan suapan terakhir sego trancam campur lauk ikan gurami goreng. Hidangan ini terasa lezat sekali. Sambalnya juga mantap. Rasa lombok merah dan bawang putihnya pas di lidah. Itu adalah menu favorit di warung Bu Carik, langganan Aldo. Dahinya mulai mengembun meski tak setetes pun keringat turun melewati alis matanya.
Selembar uang dua puluh ribuan diserahkan sebagai pembayaran atas seporsi sarapan yang Aldo nikmati. Bu Carik memberikan uang kembalian sembari mengucapkan terima kasih. Aldo mengangguk, berpamitan kepada beberapa temannya yang masih berjibaku menghabiskan sarapan, lalu menyeberang menuju kantor tempatnya bekerja.
Sebuah kursi ‘goyang’ ditariknya. Kursi yang sudah berumur tua itu tidak lagi stabil ketika diduduki. Kadang goyang ke kanan, kadang goyang ke kiri. Aldo duduk, lalu beberapa berkas yang kemarin ia tinggalkan di meja dibuka kembali. Tanganya lincah menyalakan komputer dan memasukkan kata sandi sebagai pembuka akses. Beberapa menu dan file dibuka lalu dikerjakan sekenanya.
Pikiran Aldo tak bisa diajak konsentrasi. Tadi pagi ia baru saja menelepon Lina, calon istrinya yang baru beberapa minggu lalu ia kenal. Lina menyampaikan keinginan ayahnya supaya Aldo bisa main ke rumah untuk sekadar ngobrol dan berkenalan dengan kedua orang tua Lina. Aldo menyanggupi permintaan Lina.
Kebetulan hari ini Jumat, jadi pas sekali waktunya. Besok libur kerja. Paling tidak, dengan jarak tempuh yang jauh dari tempat Aldo bekerja, ia tak harus direpotkan dengan keharusan hadir di kantor keesokan harinya.
Aldo masih gamang, dengan siapa ia harus ke rumah Lina. Ia belum pernah berkunjung ke kota tempat tinggal Lina. Bahkan baru pertama kali nama kota itu ia baca melalui biodata yang kala itu dititipkan kepada seorang kawan kepercayaannya.
Demi menghormati orang tua Lina, dan sesuai dengan adat dan sopan santun masyarakat setempat, Aldo berpikir akan lebih tepat jika ia mengajak seseorang yang sudah tua atau dituakan. Ia merenung sejenak. Tiba-tiba ia teringat pada Pak Syam, imam masjid di kantornya.
Tapi, apa mungkin Pak Syam bersedia? Dengan waktu yang mendadak dan bisa jadi beliau sudah punya agenda yang lain. Meskipun antara Aldo dan Pak Syam sudah ada kedekatan. Keduanya adalah pengurus masjid kantor. Tapi, ini urusan yang berbeda.
Aldo mematikan layar monitor dan membiarkan mesinnya tetap menyala. Beberapa berkas sengaja ia buka supaya teman seruangannya tahu bahwa ia masih harus menyelesaikan tugasnya. Ia keluar ruangan lalu menuju seksi lain tempat Pak Syam berada.
Dari pintu masuk, Aldo jelas melihat keberadaan Pak Syam. Lelaki berusia lima puluh tahun itu selalu mengenakan peci hitam. Meski sudah berhaji, Pak Syam tetap dipanggil dengan nama aslinya. Aldo mendekati Pak Syam, mengucapkan salam, lalu meminta izin duduk di kursi di hadapannya.
Aldo bukan jenis manusia yang suka berbasa-basi. Entah mengapa ia sulit sekali untuk berpetatah-petitih seperti orang kebanyakan. Ia langsung pada inti pembicaraan. Bahwa ia mempunyai calon istri dan ia akan bertandang ke rumah orang tua calon istrinya. Bukan untuk melamar, tapi sekadar silaturahim dan ingin berkenalan. Ia menyebutkan nama sebuah kota.
Sebagai orang tua, Pak Syam mafhum adanya. Ia tertawa mendengar Aldo yang ceplas-ceplos langsung pada inti permasalahan. “Aldo,” ujar Pak Syam setelah tawanya reda, “aku tahu maksud kamu. Bertandang ke calon mertua itu penting. Apalagi tempat asalmu berjauhan sekali dengan tempat tinggal calon istrimu. Ya, bagaimana pun, aku kan pernah muda. Sedangkan kamu belum pernah tua. Benar, kan?”
Aldo ikut tertawa mendengar celoteh Pak Syam. Lelaki tua itu mengajukan pertanyaan, “Kamu tahu Blora itu di mana?”
“Itu masalahnya, Pak. Saya belum tahu, Pak.” Aldo mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Pak Syam mengambil secarik kertas dan pulpen. Ia membuat dua titik tebal lalu menghubungkan kedua titik itu dengan sebuah garis lurus tanpa putus. Titik pertama diberi tulisan “Solo”. Titik kedua diberi tulisan “Purwodadi”. Titik ketiga ia buat di sebelah kanan titik kedua, lalu antara titik kedua dan ketiga disambung lagi dengan sebuah garis lurus. Jadilah sebuah garis siku. Pada titik ketiga, Pak Syam membubuhkan nama “Blora”.
“Aldo,” Pak Syam mulai menjelaskan garis-garis dan ketiga titik itu, “jarak dari Solo ke Purwodadi sekitar enam puluh kilometer. Ini, titik pertama dan titik kedua. Sedangkan, jarak Purwodadi ke Blora juga hampir sama, sekitar enam puluh kilometer. Lebihnya sedikit lah.
“Itu jika kamu memilih rute alternatif pertama. Memang terlihat lebih dekat, tapi kamu harus tahu bahwa kondisi jalan dari Solo ke Purwodadi tidak rata dan berlubang. Apalagi di sekitar hutan dekat Waduk Kedung Ombo. Sementara, jalan dari Purwodadi ke Blora juga bergelombang. Tanah di sana labil. Entahlah, mungkin karena Blora dekat dengan daerah penghasil minyak atau karena sebab lain.
“Waktu tempuh ke sana paling tidak empat jam. Sekarang, aku tunjukkan alternatif kedua.” Pak Syam membuat titik keempat di bawah titik bernama Blora, lalu pada titik itu ia tuliskan “Ngawi”.
Pak Syam memberikan penjelasan, “Kalau kamu mau lewat jalan yang lebih halus dan lebar, kamu bisa lewat Sragen lalu ke Ngawi. Jarak Solo ke Ngawi sekitar delapan puluh kilometer. Selanjutnya, kamu bisa meneruskan perjalanan Ngawi-Blora sekitar sembilan puluh kilometer. Total 170 kilometer. Waktu tempuhnya hampir sama, sekitar empat jam juga.
“Nah, sekarang kamu tinggal pilih mau lewat mana. Jalan yang bergelombang atau yang mulus dan lebar.” Pak Syam mengakhiri penjelasannya soal rute perjalanan.
“Oh, gitu ya, Pak.”
“Iya.”
“Sepertinya saya pilih lewat Purwodadi saja, Pak.”
“Ya, silakan. Terserah saja.” Pak Syam menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tiba-tiba ia bangkit dan mendekatkan kepalanya ke arah Aldo.
“Eh, sebentar. Kamu ke Blora sama siapa?”
“Lho, masa Pak Syam tidak tahu. Justru kedatangan saya ke sini mau minta tolong Bapak menemani saya ke sana. Sebagai orang yang saya hormati dan tuakan, saya minta tolong Pak Syam bersedia.”
“Ya Allah, jabang bayi!” Pak Syam tertawa sambil menggerakkan peci ke atas. Dahinya yang lebar terlihat jelas. Ia terkejut mendengar permintaan Aldo.
“Kok kamu nggak ngomong dari tadi?” Pak Syam masih memegangi ujung peci hitamnya.
“Saya kira Bapak tahu,” Aldo menahan tawa. Ia merasa bersalah.
Pak Syam mengaitkan jari-jari tangannya ke belakang kepala, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ya Allah, Aldo. Maaf ya. Saya kurang menangkap maksudmu. Saya pikir kamu cuma pengin tahu lokasi Blora di mana. Ya, ya, ya. Aku minta maaf.” Tawa Pak Syam terhenti. Ia mulai serius.
“Tapi, Aldo. Aku harus minta maaf karena nanti malam rumahku akan digunakan untuk acara pengajian pekanan. Kebetulan gilirannya di rumah saya. Kan tidak enak kalau ada tamu di rumah, tuan rumahnya malah pergi. Seandainya tidak ada agenda nanti malam, kemungkinan besar aku bersedia mengantarmu ke Blora. Aku minta maaf.” Pak Syam meletakkan pulpen di atas kertas yang ia gunakan untuk menjelaskan rute dari Solo ke Blora.
Aldo menarik nafas dalam-dalam. Ia bingung mau berkata apa. Harapannya seperti sirna. Pak Syam menawarkan alternatif supaya Aldo mengajak serta Mas Anton atau Mas Fikri karena mereka lebih senior daripada Aldo dan punya pengalaman soal lamar-melamar. Paling tidak, mereka bisa mewakili Aldo menyampaikan apa yang menjadi keinginannya saat bertandang ke rumah calon mertua.
Tidak banyak kata-kata yang disampaikan Aldo kepada Pak Syam. Ia mengucapkan terima kasih atas waktu dan penjelasan terkait bagaimana rute jalan menuju Blora. Aldo juga minta maaf kalau permintaannya mendadak disampaikan. Ia menyadari kekeliruannya dan sudah mempersiapkan risikonya. Kedua manusia itu pun berpisah. Mereka saling salam.
Aldo berjalan gontai memasuki kembali ruang kerjanya. Teman-teman satu ruangannya tidak menyadari perubahan pada raut mukanya. Ada kekecewaan dan kesedihan hinggap di wajahnya. Bingung. Mesti minta tolong kepada siapa. Aldo menarik kursi, lalu duduk dan kembali menyalakan monitor komputer.
Pilihan terakhir yang sebetulnya paling tidak diharapkan Aldo terpaksa diambil. Ia menghubungi Pak Arif, orang yang telah memperkenalkannya dengan Lina. Istri Pak Arif asli dari Blora. Sebetulnya jika dari awal ia meminta tolong Pak Arif, permasalahan mungkin selesai. Ia yakin sekali Pak Arif bersedia mengantarnya ke Blora. Tapi, rasa tidak enak hati menjadi hijab antara Aldo dan Pak Arif.
Bagaimana pun, Pak Arif sudah berjasa besar. Orang yang sangat dipercaya itu telah memperkenalkan Lina kepadanya hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perkenalan itu ke jenjang selanjutnya. Aldo tak ingin merepotkan Pak Arif terlalu banyak. Tapi kali ini keadaan sangat memaksanya. Ia meraih Nokia 3315 kesayangannya lalu menuliskan beberapa kalimat permintaan kepada Pak Arif. Pesan pun terkirim sudah.
Sekarang sudah pukul sepuluh. Jika waktu tempuh dari Solo ke Blora minimal adalah empat jam, berarti usai makan siang ia harus segera berangkat. Tinggal dua jam lagi masuk waktu shalat Jumat, makan siang, lalu bersiap untuk berangkat.
Pesan Aldo kepada Pak Arif belum juga dibalas. Ia risau. Huruf-huruf yang tampil di layar komputer tak ia hiraukan. Mereka seperti semut yang berjajar di tembok kantin. Hitam kecil-kecil. Bukan sesuatu yang menarik lagi buat Aldo. Kali ini waktu seolah melambat.
Sepuluh menit berselang. Sebuah pesan teks masuk ke ponsel Aldo. Ternyata dari Pak Arif. “Insya Allah siap, Mas Aldo. Saya bicara sama istri dulu ya. Nanti kita berangkat habis ashar saja. Karena ada yang harus saya selesaikan di kantor. Kita ketemu di terminal Tirtonadi.”
Pesan yang membuat hati Algo lega. Ia membalas pesan Pak Arif dengan ucapan terima kasih. Satu langkah sudah terselesaikan. Tinggal soal waktu. Jika kendaraan berangkat tepat waktu, kira-kira baru jam delapan malam ia tiba di Blora. Sudah terlalu malam. Tapi bagaimana lagi. Ia hanya minta tolong. Ia justru harus berterima kasih masih ada yang bersedia mengantarnya ke Blora melalui permintaan yang sangat mendadak dan mendesak.
Setengah empat sore, Aldo sudah berada di pintu masuk terminal Tirtonadi. Ia memperhatikan orang di sekitarnya. Belum ada sosok Pak Arif. Yang ada hanya lalu-lalang penumpang yang datang dan akan meninggalkan Kota Solo. Ia memilih berteduh pada pos jaga yang berada di pintu masuk. Matahari sore masih terasa panas.
Beberapa saat kemudian, ponsel berdering. Panggilan dari Pak Arif. Ia menanyakan posisi Aldo. Rupanya mereka sudah berdekatan, tapi terhalang oleh bus-bus yang berhenti. Sesekali bus itu bergerak, tapi tetap saja menghalangi pandangan antara Aldo dan Pak Arif. Kini keduanya sudah bertemu dan berjalan menuju tempat parkir bus tujuan Blora.
Tepat jam empat sore, bus meninggalkan terminal. Bergerak cepat sekali, menyalip semua kendaraan yang ada di depannya. Klakson bus berbunyi tanpa henti. Memekakkan telinga pengguna jalan lain. Sepanjang perjalanan, Aldo tak memejamkan mata. Ini adalah pengalaman pertamanya bepergian dari Solo ke Purwodadi. Ia ingin membuktikan perkataan Pak Syam mengenai kondisi jalan yang dilalui. Kata-kata Pak Syam ternyata benar adanya.
Dua jam berlalu, bus tiba di terminal Purwodadi. Semua penumpang turun karena kru bus memindahkan mereka ke bus yang lain. Aldo dan Pak Arif terpaksa ikut berpindah. Hari mulai gelap, tapi cuaca masih terasa panas.
Jam setengah delapan, ponsel Aldo berbunyi. Ada telepon masuk. Ternyata telepon dari Lina. “Sudah sampai mana, Mas?” tanya Lina di ujung telepon.
“Ehm, sebentar. Saya tanya dulu, ya?”
Aldo berbisik ke Pak Arif mengenai lokasi bus saat ini berada.
“Oh, maaf. Kata Pak Arif, ini baru sampai Wirosari.”
Mendengar nama Pak Arif, lawan bicara Aldo heran. “Mas ke sini sama Pak Arif?”
“Iya, soalnya saya kan belum tahu tempat kamu di mana. Nggak papa, kan?”
“Ya sudah nggak papa. Paling tidak aku sampaikan ke ayah kalau ada dua orang yang datang ke rumah. Ayah sudah menunggu lama. Terima kasih ya, Mas. Aku tunggu kedatangan Mas.”
“Ya, sama-sama.”
Jam delapan, Aldo dan Pak Arif tiba di Blora. Mereka lebih dulu ke rumah mertua Pak Arif untuk meminjam sepeda motor. Sejenak bersih-bersih badan, lalu berganti pakaian. Aldo mengenakan baju koko putih lengan pendek, sementara Pak Arif memakai batik warna biru.
Seperempat jam kemudian, keduanya sudah tiba di rumah Lina. Rumah yang sederhana. Sisi depan ada pintu besi dan beberapa rantai. Ada lima buah sepeda motor di ruang tamu. Itu adalah motor bekas yang dijadikan barang dagangan ayah Lina.
Aldo dan Pak Arif berucap salam dan dibalas oleh tuan rumah: Lina dan kedua orang tuanya. Mereka disilakan duduk di ruang tengah.
“Mohon maaf, Pak, Bu,” Pak Arif memulai pembicaraan, “kami terlambat sampai ke sini. Jam empat kami baru berangkat dari Solo. Mestinya jam delapan sudah tiba, tapi tadi di Purwodadi kami dipindahkan ke bus yang lain. Jadi lebih lama.”
Tuan rumah membalas kata-kata Pak Arif dengan senyuman ramah. Ibu Lina yang menjawab, “Nggak papa, Pak. Terima kasih sudah bersedia datang jauh-jauh dari Solo ke sini. Ngapunten, silakan dinikmati dulu makan malamnya. Dari tadi ayah Lina menunggu, takut makanannya keburu dingin. Monggo!”
Waktu setengah jam selanjutnya digunakan untuk makan malam bersama di ruang makan, sembari mengisinya dengan obrolan ringan. Usai makan, mereka kembali berkumpul di ruang tengah.
Orang tua Lina bertanya mengenai asal-usul Aldo dan Pak Arif. Bagaimana kondisi orang tua, kesehatannya, keluarganya, dan hal-hal lain yang layak diketahui oleh calon mertua. Ibu Lina lebih banyak bertanya dibandingkan ayahnya. Aldo menjawab dengan sangat sopan. Kepalanya banyak menunduk, tapi sesekali ditegakkan. Melirik ke arah Lina.
Waktu sudah jam setengah sepuluh malam. Pak Arif merasa bahwa pembicaraan malam itu sudah cukup. Setidaknya bagi kedua orang tua Lina mengenal siapa sosok Aldo sebenarnya. Mungkin sebagian sudah diketahui dari biodata yang disampaikan melalui Lina. Tapi, pernikahan—tujuan akhir dari perkenalan Aldo dan Lina—bukan cuma biodata dan beberapa lembar kertas. Ia membutuhkan kehadiran manusia yang akan menjalaninya.
Aldo dan Pak Arif berpamitan. Mereka kembali berboncengan, meninggalkan rumah Lina dan kedua orang tuanya. Di tikungan Jalan Reksodiputro menuju perempatan Pancasila, keduanya menghilang. Rumah Lina kembali sepi. Hanya terdengar pembicaraan orang-orang di dalamnya, tapi tidak seriuh tadi ketika ada Aldo dan Pak Arif.
Tiba-tiba ayah Lina berseru, “Nduk, ayah merasa cocok sama calon menantu ayah. Orangnya sopan, bahasa Jawanya juga bagus. Semoga kalian cocok dan lancar sampai ke pernikahan ya, Nduk.”
Lina senang mendengar perkataan ayahnya. “Nggih, Pak. Semoga begitu,” jawabnya.
“Itu tadi yang satunya, apakah teman sekantor calon menantu ayah?” ayah Lina kembali bertanya.
“Oh, itu tadi namanya Pak Arif. Beliau yang memperkenalkan Lina sama Mas Aldo. Rumahnya cuma lima kilometer dari sini kok, Yah. Makanya tadi mereka tiba di Blora langsung ke mertua Pak Arif untuk meminjam sepeda motor. Baru setelah itu mereka ke sini.” Lina menjelaskan.
“Sebentar, Nduk. Pak Arif itu yang mana?”
“Yang baju biru, Yah. Kalau Mas Aldo yang baju putih.”
“Loh, yang baju biru bukannya calon menantu ayah? Calon suami kamu?”
“Bukan, Ayah. Yang baju biru itu yang mengantar. Calon menantu Ayah yang baju putih. Masa terbalik sih?”
Seisi rumah kembali ramai. Tertawa terbahak-bahak. Rupanya ayah Lina salah menduga siapa calon menantunya. Ia mengira sosok Pak Arif lah orangnya.
Sementara jauh di sana, Aldo baru saja turun dari sepeda motornya. Pak Arif memarkir kendaraanya di ruang tamu. Mereka tak tahu soal salah sangka ayah Lina. Biarkan waktu yang menjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar