Ableh menatap tajam sebuah lemari pakaian. Tubuhnya baru saja direbahkan setelah hampir dua jam duduk dan mengobrol dengan Heri, si pemilik rumah. Lebih tepat rumah kontrakan, karena Heri hanya mengontrak di tempat tersebut.
Heri sebetulnya tidak terlalu mengenal sosok Ableh. Perkenalan yang sekejap malam itu membuat yakin hati Heri bahwa Ableh adalah orang baik. Sebagaimana pengakuan Ableh, dia adalah keponakan Haji Abbas, seorang ulama muda lulusan Pondok Pesantren Lirboyo.
Ableh juga mengaku mempunyai saudara sepupu di antaranya Sofan, Slamet, dan Mahdi. Semua nama orang yang disebutkan Ableh sangat dikenal Heri. Mereka dikenal orang yang sangat baik di kampung. Ahli ibadah, rajin adzan di masjid.
Bahkan, Mahdi menjadi pengajar Al-Qur’an di mushalla membantu tugas Kyai Khozin. Sedalam itu keyakinan Heri bahwa memang Ableh orang baik.
Waktu menunjukkan pukul tiga dinihari. Berarti sudah sekitar satu jam Heri beristirahat di kamarnya setelah sempat membereskan beberapa perkakas yang digunakan untuk berdagang. Dengkurannya terdengar jelas.
Batin Ableh mulai bergejolak. Seolah-olah ada pembisik yang mengatakan, “Ayo, bergeraklah. Buka lemari itu, di dalamnya pasti ada uang dan benda berharga!”
Ableh tak perlu berpikir lama untuk mengambil keputusan. Ia beranjak dari pembaringannya. Kakinya melangkah pelan menuju tempat lemari berdiri.
Sampai di depan lemari, ia berdiam. Matanya menatap ke segala arah: pintu kamar, jendela, dan sebuah dipan. Ia memastikan bahwa tidak ada orang lain yang melihat.
Gagang pintu lemari dipegang lalu digeser pelan. Ternyata pintunya tak terkunci. Tak ada bunyi engsel yang mengganggu telinga. Ableh melihat tumpukan pakaian. Ia harus bergerak cepat membuka setiap lipatan pakaian.
Pada tumpukan ketiga, ia menemukan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu rupiah. Dengan hitungan cepat, diketahui ternyata ada tiga puluh lembar.
Ia meneruskan pelacakannya pada laci lemari. Ada banyak kertas yang diletakkan di sana hingga nyaris memenuhi isi laci.
Ableh tak menyerah. Ia membuka dengan cepat tumpukan kertas itu. Dan benar saja, ternyata di posisi paling bawah ada beberapa perhiasan emas seperti gelang dan cincin.
Sepuluh menit sudah waktu berjalan. Ableh bergegas merapikan kembali tumpukan pakaian dan kertas-kertas di laci. Lemari ditutup kembali.
Dengan melangkah pelan, Ableh keluar dari rumah Heri melalui pintu ruang tamu. Aksinya berjalan mulus.
Keesokan harinya, kegaduhan terjadi. Bermula dari Heri yang baru bangun tidur mencari Ableh, tamunya tadi malam. Ternyata sosok yang dicari tak ada lagi di tempat tidur. Ia menyangka Ableh masih shalat di masjid. Dia yang bangun kesiangan.
Ternyata hingga pukul delapan, Ableh tak kunjung pulang. Padahal ia harus segera berbelanja bahan makanan ke pasar. Jika terlambat sedikit, persediaan telur bebek di tempat langganannya bisa habis dibeli pembeli lain. Heri mulai gusar. Ia bangkit dari duduknya.
Ketika hendak mengambil uang untuk berbelanja, barulah ia sadar kalau semua uang yang ia simpan di bawah lipatan baju seperti biasa raib. Ia buka semua lipatan baju dalam lemari. Hasilnya nihil.
Bukan itu saja. Emas perhiasan yang ia letakkan di tempat yang sangat tersembunyi juga hilang. Lutut Heri menjadi lemas. Badannya seolah tak bertulang lagi.
Perlahan ia letakkan pantantnya pada kasur tipis di belakangnya. Ia baru sadar musibah besar menimpanya. “Ya Allah, itu uang buat belanja dan bayar kontrakan!”
Heri menyesal. Ia sangat percaya pada kata-kata Ableh ketika dia mengunjunginya di pangkalan tempat dagang martabaknya tadi malam. Dengan gaya yang memukau, Ableh berhasil meyakinkan hatinya. Sayangnya, hingga pertemuan terakhir Heri tak sempat meminta nomor ponsel Ableh.
Heri merogoh sakunya. Ia mencari beberapa nomor yang bisa dihubungi. Tak ada satu pun orang-orang terdekat dengan Ableh yang ia punya. Dicobanya untuk menghubungi Syarif, temannya sesama pedagang martabak. Berhasil.
Syarif memberikan nomor ponsel Haji Abbas.
“Halo. Assalamu’alaikum, Pak Haji.”
“Wa’alaikumussalam. Siapa ini?”
“Saya Heri, Pak Haji. Putranya Pak Hasan.”
“Oh, Heri. Ada apa ya?”
“Maaf, Pak Haji. Tadi malam saya kedatangan tamu. Namanya Ableh.”
“Hah? Ableh?”
“Iya, Pak Haji.”
“Lalu kenapa, Mas Heri?”
“Semalam dia menginap di kontrakan saya. Lalu saya minta istirahat di ruang tengah. Entah mengapa, pagi-pagi dia sudah tidak ada. Uang dan emas perhiasan yang ada di lemari juga hilang semuanya.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”
“Pak Haji kan pamannya Ableh. Saya minta tolong supaya bisa menghubungi dia.”
“Hah? Ableh itu cuma tetangga saya. Dia bukan keponakan saya.”
“Tapi dia yang mengatakan kalau dia adalah keponakan Pak Haji Abbas.”
“Ya Allah, Si Ableh menipu lagi.”
“Apa Si Ableh sudah sering melakukan hal demikian, Pak Haji?”
“Iya, Mas Heri. Ini bukan kali pertama. Kampung kami sudah paham siapa Ableh itu. Sudah lima belas tahun saya tidak pernah bertemu dia lagi. Kadang dia menemui orang satu kampung yang dia kenal. Lalu membawa-bawa nama tokoh tertentu.”
“Waduh, terus saya bagaimana, Pak Haji?”
“Berarti semua uang dan perhiasan Mas Heri hilang. Saya juga tidak menjamin bakal dikembalikan lagi. Saya dan orang-orang di kampung sudah lama mencari Si Ableh.
“Hati-hati sama dia. Kalau ada orang lain bertemu dia, tolong segera kabari supaya saya bisa mengutus orang untuk datang dan menangkap Si Ableh.”
“Astaghfirullah. Ya sudah kalau begitu, Pak Haji. Saya minta maaf.”
“Saya ikut prihatin dengan musibah yang menimpa Mas Heri. Semoga Allah ganti dengan yang lebih baik.”
“Aamiin. Terima kasih, Pak Haji. Wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
***
Dalam kurun waktu lima tahun setelah kejadian yang menimpa Heri, korban penipuan Ableh bertambah banyak. Ada yang di Jakarta, Surabaya, Solo, hingga Makassar.
Seiring dengan pertumbuhan era digital, Ableh meningkatkan kemampuannya dengan melakukan penipuan melalui perangkat ponsel. Beberapa aplikasi menjadi kendaraannya.
Salah satu korban itu adalah Abdillah. Dia adalah sahabat Haji Sodik, seorang ustad yang terkenal di kampung tempat tinggal Ableh. Mula-mula Ableh mengajukan pertemanan kepada Abdillah melalui sebuah media sosial dengan nama dan foto Haji Sodik.
Setelah pertemanan disetujui, Ableh menggunakan sarana kotak masuk untuk berdialog dengan Abdillah. Bertanya soal kabar, pekerjaan, tempat tinggal, hinggal masalah keluarga.
Karena sosok yang dihadapi Abdillah adalah Haji Sodik yang sangat terkenal, Abdillah menanggapi semua pertanyaan. Hingga di bagian akhir, sosok Haji Sodik palsu bercerita tentang tetangganya yang sedang sakit dan memerlukan bantuan.
Oleh sosok palsu itu dikatakan bahwa ia sudah beberapa kali memberikan bantuan finansial. Tapi, kondisi terakhir sangat memprihatinkan. Dalam beberapa hari ke depan pasien akan dioperasi. Butuh biaya sekitar tiga puluh juta rupiah.
“Jika tidak keberatan, saya minta tolong Mas Abdillah membantu semampunya. Tidak harus semuanya. Barangkali lima juta atau sepuluh juta juga boleh. Nanti saya bisa minta bantuan teman-teman yang lain.”
“Oh, siap Pak Haji Sodik. Antum sangat saya kenal. Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak ajakan baik ini. Saya minta nomor rekening Pak Haji untuk segera saya transfer uangnya.”
“Baik, Mas Abdillah. Ini nomor rekeningnya. Atas nama anak saya: Fatih.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar