Jumat, 30 Oktober 2020

Bidadari dari Randublatung (Bagian 2-Tamat)

Dita mengetuk pintu rumah Ummi Dahlia. Setelah beruluk salam, dia disilakan duduk di ruang tamu. Di sebuah sofa empuk berwarna coklat, Ummi Dahlia duduk di samping Dita.

“Bersyukurlah kepada Allah, Dita. Ada kabar baik hari ini.”

“Kabar apa, Ummi?” Mata Dita berbinar.

“Ah, kau seperti anak yang dijanjikan mainan saja. Sabar sedikit lah...”

Dita tertawa tapi juga malu. “He he, iya, Ummi. Maaf.”

Ummi Dahlia mengeluarkan sebuah amplop ukuran A4. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas berisi biodata. Cetakan komputer. Rapi sekali.

“Aku harap, ini adalah jawaban Allah atas penantianmu selama ini. Mudah-mudahan Allah segera memberikan jodoh untukmu.”

“Subhanallah! Jadi, ada yang berminat dengan saya, Ummi?” senyum Dita mengembang. Nyaris tertawa, tapi dia tahan.

“Sabar, Dita!” Ummi Dahlia mengacungkan jari telunjuk kanannya di depan wajah Dita.

“Ini baru tahap awal. Alhamdulillah, si ikhwan sepertinya cocok dengan profilmu. Oleh karena itu, dia menyerahkan biodata ini untuk kau pelajari.”

“Subhanallah...!”

“Dita!”

“Ya, Ummi.”

“Aku kasih kau waktu seminggu untuk memutuskan. Jika kau bersedia, kita akan lanjutkan ke pertemuan untuk ta’aruf lebih dalam lagi. Tapi, jika tidak, biodata ini aku minta kembali dan ta’aruf tidak jadi dilanjutkan.”

“Baik, Ummi. Insya Allah saya usahakan.”

Tangan kiri Ummi Dahlia memegang punggung Dita. Lalu punggung itu dielus-elus pelan. Ummi Dahlia berpesan, “Jangan lupa shalat istikharah. Kita boleh berusaha semampu yang kita bisa. Tapi, keputusan Allah adalah yang terbaik.

“Jaga terus persangkaan baik kepada-Nya. Jangan berpikiran negatif apalagi menganggap Allah mempersulit usaha kita. Mudah-mudahan ini adalah jodoh yang tepat buat kamu, Dita.”

“Terima kasih, Ummi.” Jawab Dita sambil membungkukkan kepala.

Tiga hari berlalu sejak Dita bertemu dengan Ummi Dahlia. Entah sudah berapa kali Dita membuka dan membaca biodata orang yang mungkin kelak akan menjadi suaminya. Dari mulai tempat dan tanggal lahir, hobi, karakter, prestasi, termasuk kekurangannya.

Ada foto lelaki dengan posisi badan penuh dan close-up. Selesai dibaca, kertasnya tak dimasukkan ke dalam amplop. Hanya dibalik saja. Jika suatu saat ingin melihatnya lagi, ia cukup meraihnya dari meja. Lalu, foto itu dipandanginya lagi.

“Tampan sekali!” Bisik Dita dalam hati. Di balik foto itu tertulis sebuah nama: Farhan.

Dua kali shalat istikharah Dita kerjakan. Keyakinannya makin mantap dari hari ke hari. Sepertinya lelaki itulah jodohnya. Dita mulai mengkhayal duduk di pelaminan dengan dihadiri oleh orang banyak. Indah sekali sepertinya. Ia senyum sendirian di dalam kamar.

“Ummi, insya Allah saya mantap dengan biodata ini.” Kembali Dita menemui Ummi Dahlia di kursi sofa ruang tamu.

“Hah? Kamu mau sama orangnya atau biodatanya saja?”

“Ya sama orangnya, toh, Ummi.”

Ummi Dahlia terpingkal. Dia suka sekali menggoda Dita. Yang digoda pun ikut tertawa.

“Kalau begitu,” mimik Ummi Dahlia terlihat serius, “saya coba komunikasikan dengan Ustadz Farid. Supaya kamu dan calon suamimu bisa bertemu untuk memperdalam ta’aruf.”

“Baik, Ummi. Saya ikut saja.”

Hari Kamis siang. Empat orang bertemu di rumah Ummi Dahlia. Dita duduk berdampingan dengan Ummi Dahlia, sementara Farhan berdampingan dengan Ustadz Farid. Mereka membicarakan tindak lanjut setelah Dita dan Farhan membaca biodata satu sama lain.

Perbicangan berlangsung seru namun akrab. Ada soal pekerjaan, rencana tempat tinggal, termasuk apa-apa yang disukai dan tidak disukai. Awalnya Dita dan Farhan masih nampak kikuk. Ummi Dahlia dan Ustadz Farid mencoba mencairkan suasana.

Setelah hampir dua jam berbicang, Farhan mengajukan pertanyaan, “Apakah Ukhti Dita siap untuk melanjutkan proses ini ke tahap selanjutnya?”

Deg! Dita bingung harus menjawab apa. Untuk beberapa saat ruangan jadi hening. Hingga akhirnya Ummi Dahlia mengatakan, “Diamnya insya Allah berarti setuju.”

Ummi Dahlia dan Ustadz Farid tertawa. Farhan hanya tersenyum. Matanya melirik ke arah Dita. Kedua pasang mata itu bertemu. Lalu berpaling kembali. Mereka berdua serba salah tingkah.

Sepasang burung pipit yang hinggap di pohon lamtoro di depan rumah ikut tertawa dengan cicitannya. Langit cerah. Angin semilir. Alam tersenyum riang mengiringi kebahagiaan dua insan yang dipertemukan hari ini: Dita dan Farhan.

Dita memutuskan untuk segera pulang ke Randublatung. Beberapa pakaian ia masukkan ke dalam tas. Ia harus segera pulang menemui orang tuanya. Meminta pertimbangan mengenai keputusannya. Semoga ini menjadi jalan untuk membahagiakan sang ibu yang hingga kini kondisinya masih lemah.

“Bu, Dita sudah punya calon suami loh.” Dita menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah. Sambil membantu mencuci piring di dapur. Sementara sang ibu masih sibuk menanak nasi.

“Hah, yang bener? Jangan bercanda kamu.”

“Beneran, Bu. Masa Dita bercanda soal jodoh. Kan dari dulu Ibu yang minta supaya Dita segera mencari jodoh. Ya inilah hasil usaha Dita.” Suara air yang keluar dari kran memaksa Dita berbicara agak keras.

“He, jangan sombong gitu, Nduk. Belum tentu hasil usaha kamu. Gusti Allah yang menentukan.”

“Eh, iya, Bu. Maaf. Semoga keputusanku untuk melanjutkan perkenalan dengan calon suamiku diridhoi oleh Allah.”

“Aamiin.”

Cerita berlanjut di ruang tengah. Dita menjelaskan panjang lebar profil calon suaminya. Sementara ibunya hanya mendengarkan sambil matanya menatap televisi dan tangannya memegang bantal.

“Calonmu wong pinter, Nduk. Bagaimana menurut kamu? Apa kamu nggak minder?”

“Kalau Dita sih mau, Bu. Ibu setuju tidak?” Dita senyum merayu supaya ibunya setuju dengan keputusannya, “kalau nggak setuju ya sudah. Dita nikahnya kapan-kapan saja.”

“He, cah wedok iki! Kok malah gitu?”

Dita tertawa melihat reaksi ibunya. “Nggak lah, Bu. Dita serius. Insya Allah saya sudah cocok dengan calon yang ini.”

“Ibu sih manut aja. Lha wong kamu sendiri yang nanti menjalaninya, kan. Yang penting orangnya soleh. Rajin shalat. Bisa baca Al-Qur’an.”

“Insya Allah kalau itu, dia bisa, Bu.”

“Yo wis. Kapan kalian mau menikah?”

Dita terlihat kikuk. Ia masih ingat perdebatan lama di rumah Ummi Dahlia ketika bertemu dengan Farhan dan Ustadz Farid. Soal kapan rencana pernikahan dilangsungkan.

“Itu dia masalahnya, Bu.”

“Loh, piye to? Kalian sudah cocok dan setuju menikah. Kok masih ada masalah?”

Dita mencoba menenangkan hati ibunya. Tangannya meraih tangan ibu yang masih asyik memegang bantal.

Lalu dengan pelan ia bicara, “Bukan masalah setuju atau tidak setuju. Kami sepakat untuk menikah segera. Cuma pengertian segera menurut Dita dan calon suami berbeda. Dita minta segera itu artinya sebulan. Eh, dia minta empat bulan. Apa tidak kelamaan namanya?”

“Loh, soal waktu kan memang mesti disekapati, Nduk. Kamu juga jangan terlalu mekso. Mungkin calon suamimu perlu pertimbangan. Atau ada hal lain yang harus diselesaikan.”

“Saya tidak memaksa, Bu.”

“Ya sudah kalau kamu tidak memaksa, ikuti apa rencana suamimu.” Kata sang ibu dengan tetap menatap televisi.

“Calon, Bu...!” Dita mengoreksi kalimat ibunya.

“Eh, iya. Maksudku calon suamimu. Halah, Ibu wis gak sabar duwe mantu. Ha ha ha...”

Malam itu ada cahaya kebahagiaan memancar dari wajah ibunda Dita. Demikian juga hati Dita. Ia merasa senang bisa membahagiakan ibunya. Dari rumah sebelah, sayup terdengar lagu Malam Terakhir. Pelantunnya Bang Haji Rhoma Irama dan Rita Sugiarto.

Ketika sampai pada bait syair, “Kita akan berjumpa di saat bahagia, di saat malam perkawinan kita,” Dita tertawa dalam hati. Syair itu begitu cepat menyusup dalam hati. Padahal biasanya ia tak suka dengan lagu dangdut. Loh, kok bisa?

***

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar