Jumat, 30 Oktober 2020

Bidadari dari Randublatung (Bagian 1)

 Matahari menyorot dengan tajam ke segala penjuru bumi. Langit biru berhias awan putih kehitaman. Udara panas dan lembab membuat badan makin terasa lengket. Beruntung, rumah orang tua Adhi bergenteng tanah dan plafonnya terbuat dari kayu jati. Paling tidak, konstruksi itu membuat suhu ruangan lebih terkendali.

Di rumah itu Dita datang bertamu. Mbok Giyem menyajikan minuman teh manis hangat untuk tuan rumah dan tamunya. Setelah itu, ia kembali ke dapur melanjutkan tugasnya memasak.

“Adhi, aku cuma mau minta tolong.”

“Minta tolong apa?”

“Nikahi aku!”

Dada Adhi berdegup kencang. Matanya terbelalak, mengekspresikan perasaan antara terkejut dan senang. Terkejut karena kalimat itu muncul mendadak. Seolah tidak ada persiapan sama sekali untuk menimbang dan memberikan jawab: iya atau tidak. Senang karena dulu Dita adalah wanita yang ia cintai untuk pertama kali.

Adhi memang pernah meminta kesediaan Dita menikah dengannya. Tapi, itu kejadian dua tahun yang lalu. Sewaktu ia masih dalam masa pencarian pasangan. Adapun sekarang, kondisinya sangat berbeda.

“Seandainya kaukatakan hal itu dua tahun yang lalu, Dita.” Mata Adhi menerawang, memandang langit-langit ruangan. Menyiratkan penyesalan.

Dita menunduk. Wajahnya terlihat murung. “Aku minta maaf atas apa yang aku ucapkan saat itu, Adhi. Aku baru terpikir sekarang.”

“Tapi itu tidak mungkin, Dita.”

“Mengapa?”

“Karena aku sudah mempunyai calon istri. Aku sudah melamarnya sebulan yang lalu. Tidak lama lagi kami akan menikah.”

Sebutir air meleleh dari pelupuk mata Dita. Ia memejamkan mata. Teringat kejadian dua tahun lalu ketika dengan serius Adhi memintanya untuk bersedia menjadi istri. Tapi, ia menolak karena saat itu baru kuliah di semester tiga.

Bagaimana mungkin cita-citanya untuk meraih gelar sarjana demi memenuhi keinginan orang tua harus terhambat gara-gara menikah di usia yang sangat muda? Bukankah menyenangkan orang tua juga bagian dari ibadah? Ia tak ingin disebut sebagai anak yang egois. Apalagi durhaka kepada kedua orang tua.

Sementara Adhi merasa bahwa perkenalan keduanya sudah cukup lama. Satu tahun bukan waktu yang sebentar. Apa jadinya jika dua insan berbeda jenis bergaul terlalu lama. Setan mungkin akan membisikkan sesuatu. Mengajak kepada kemaksiatan. Adhi ingin segera menikah.

“Ya sudah kalau begitu.” Kali ini kata-kata Dita terucap dengan getaran yang sangat terasa.

“Bukan begitu maksudku, Dita.”

“Lalu bagaimana?”

“Jujur, aku juga masih mencintai kamu. Tapi, khitbahku teramat sulit dibatalkan. Apa kata orang tua dan keluarga besarku? Mereka akan menganggapku main-main dengan syariat. Aku harap kau paham.” Tangan Adhi meraih cangkir teh lalu meminumnya. Matanya menatap Dita tajam.

“Ya, aku paham.”

Adhi meletakkan kembali cangkir ke meja. “Maaf, Dita. Kalau boleh tahu, apa yang mendorongmu menemui aku dan membahas soal ini?”

“Ceritanya panjang, Adhi!” Dita berpaling lalu tangannya mengibas seperti mengusir nyamuk dari wajahnya.

“Ceritakan. Aku ingin dengar!”

Dita mengambil nafas. Mencoba mengumpulkan semua kejadian dalam memorinya.

“Ibuku habis operasi kista. Itu terjadi menjelang beliau berangkat ibadah haji bersama bapak.”

“Astaghfirullah...!” Adhi mendesah.

Dita melanjutkan ceritanya, “Kami semua bersedih. Waktu itu, yang aku khawatirkan adalah kehilangan sosok ibu. Aku sangat takut itu terjadi. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Ibadah haji ibu juga semuanya lancar dan dimudahkan. Meski sejujurnya ibu belum sehat benar. Semuanya atas karunia Allah.”

“Lalu?” Tak sabar rasanya Adhi ingin mengetahui akhir cerita dari Dita.

“Dalam beberapa bulan terakhir, ibu menanyakan aku soal jodoh. Beliau tidak ingin aku terlalu lama hidup sendiri. Apalagi kuliah sudah selesai. Sudah kerja. Mau apa lagi?”

“Bagaimana dengan bapak?” kali ini Adhi teringat pada ayahanda Dita.

“Bapak tidak terlalu memikirkan soal jodoh. Pikirannya kini tertuju pada bagaimana supaya adikku bisa kuliah. Beban beliau cukup berat. Cuma ibu yang selalu menanyakan soal jodoh dan pernikahan. Mungkin karena beliau merasa berat dengan sakit kistanya. Takut kalau sewaktu-waktu kejadian buruk menimpanya.

“Sebagai perempuan, aku tidak pantas jika terlalu agresif sekadar untuk menarik hati seorang lelaki yang bersedia menjadi suamiku. Aku harus menjaga diri. Tapi, pertanyaan itu selalu diajukan oleh ibuku terutama ketika aku pulang ke rumah. Kau tahu, kan? Selama ini aku mengajar di kampus almamaterku.”

Sejak duduk di bangku kuliah semester lima, Dita sudah menjadi asisten dosen di kampus. Selesai kuliah, salah seorang dosen memintanya mengajar di tempat itu. Sejak itu, Dita menjadi dosen tidak tetap. Harapannya, suatu saat ia punya kesempatan melanjutkan kuliah pascasarjana dengan beasiswa dari kampus.

“Iya, aku tahu. Dari dulu kau memang pintar. Dan juga cantik. Bidadari dari Randublatung!” Adhi menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Ia tak ingin ketahuan Dita kalau sedang tertawa kecil. Tapi, kerut matanya tak bisa berbohong.

“Ah, kau mulai lagi.”

Kali ini, kedua insan itu mulai terlihat tersenyum. Memori masa lalu diputar kembali. Entah apa yang ada di benak masing-masing.

“Kalau tak mau dipuji ya sudah!”

Dita mengulum senyum. Tapi, senyum yang tertahan. Bagaimana pun, hatinya sedang bersedih. Ia harus mengedepankan perasaan itu.

“Kalau begitu, aku pulang dulu. Terima kasih atas waktunya.”

“Sebentar!” Adhi mencegah Dita pergi.

“Ada apa lagi?”

“Aku ingin minta maaf atas segala perkataanku yang mungkin menyakitkan hatimu. Satu hal yang ingin aku tegaskan. Aku tidak ingin persaudaraan kita putus.”

“Oh, ya sudah. Itu saja? Semoga pernikahanmu dan calon istrimu berjalan dengan lancar dan mendapat barokah Allah.” kata-kata Dita terlihat sinis.

“Mungkin kita tidak berjodoh. Tapi, aku akan tetap mengingatmu sebagai orang yang pernah mengisi kehidupanku. Kau orang baik. Pintar. Shalihat. Insya Allah kau akan mendapatkan jodoh yang sepadan dan bahkan lebih baik daripada aku. Aku doakan.”

“Terima kasih. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Sosok perempuan berhijab lebar itu membalikkan arah. Berjalan membelakangi Adhi. Menjauh menyusuri jalanan berbatu. Jalannya sangat bersahaja, memperlihatkan sosok yang sangat mandiri. Bayangan Dita makin mengecil lalu lenyap ketika berbelok di tikungan. Adhi tak tahu apa yang selanjutnya dirasakan Dita.

***

Tiga bulan kemudian. Di Kota Semarang.

“Dita, tolong siang ini kamu ke rumah saya, ya?” sebuah permintaan disampaikan secara lisan melalui ponsel Ummi Dahlia.

Dita balik bertanya, “Iya, Ummi. Jam berapa?”

“Jam satu insya Allah saya sudah ada di rumah. Silakan datang setelah itu.”

“Baik, Ummi.”

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Setengah dua siang, Dita tiba di rumah Ummi Dahlia. Sebuah rumah sederhana. Tipe tiga enam. Terasnya indah karena banyak dihiasi bunga. Ada akuarium berukuran panjang setengah meter. Ia sudah beberapa kali ke rumah itu, tapi kali ini kelihatan berbeda. Entah apa sebabnya.

 (Bersambung ke bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar