Rabu, 21 Oktober 2020

Wanginya Kamar Bu Melati (Bagian 3)

 

24 Dzulhijah 1440 H. Sekitar jam 8 pagi. Dokter kloter memberitakan kepada ketua rombongan bahwa Bu Melati telah wafat. Pesan berantai dan saling balas terjadi dari satu gawai ke gawai yang lain. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Semua anggota rombongan diliputi duka.

Hanya dalam tempo satu hari Bu Melati berjuang mempertahankan hidup. Tapi, kelemahan yang ada padanya tidak bisa disembunyikan. Allah menakdirkan usianya berakhir hari ini. Setelah semua rangkaian ibadah haji dilaksanakan.

Antara syukur dan sedih. Itulah yang dirasakan oleh jamaah satu rombongan dengan Bu Melati. Syukur karena almarhumah wafat setelah menyelesaikan semua rukun dan wajib haji. Sedih lantaran kehilangan orang yang sangat ramah dan penyayang. Terutama kepada Intan.

Kabar duka itu mau tidak mau harus disampaikan kepada keluarga Bu Melati di Tanah Air. Bersyukur bahwa mereka bisa menerima musibah itu. Wafatnya Bu Melati di Tanah Suci dan dishalatkan oleh seluruh jamaah haji adalah keinginannya sendiri.

Ternyata ada kabar lain. Sehari sebelum wafat Bu Melati, paket kiriman dari Mekah sudah diterima keluarga di Jakarta. Paket itu terdiri dari karpet produksi Turki, kurma ajwa, beberapa lembar sajadah, tasbih, dan minyak wangi.

Bu Melati yang membelikan barang-barang tersebut dan mengirimkannya dengan jasa pengiriman bersama-sama dengan jamaah lainnya. Pihak keluarga menggunakan karpet khas Turki untuk alas acara tahlilan di kampung hingga tujuh hari berturut-turut.

Hanya satu hal yang masih menjadi tanda tanya rombongan jamaah yaitu soal kapan jenazah Bu Melati akan dishalatkan dan dimakamkan. Beberapa informasi menyebutkan, biasanya butuh waktu setidaknya dua hari untuk sampai pada tahap shalat jenazah dan pemakaman.

Sekitar pukul tiga menjelang waktu ashar, Karom mengabarkan bahwa jenazah Bu Melati akan dishalatkan seusai shalat jamaah maghrib di Masjidil Haram. Kabar itu tentu mengejutkan, tapi juga melegakan. Seluruh jamaah berusaha untuk bisa shalat maghrib di Masjidil Haram.

Sebagai teman satu kamar dengan almarhumah Bu Melati, Intan mengajukan permintaan kepada Karom agar ia bisa dipindahkan ke kamar lain bersama dengan ibu-ibu yang lain. Ia tak mau sendirian.

Karom kebingungan. Permintaan ini tentu sulit dipenuhi kecuali jika ada jamaah yang secara legowo mau pindah kamar juga.

Selain itu, pihak kloter sudah mengatur bahwa satu kamar hanya dihuni oleh sesama jenis: laki-laki atau perempuan. Tidak ada pasangan suami-istri yang bercampur dalam satu kamar. Itu berarti Karom harus memilih siapa yang paling mungkin untuk dipindah.

Sampailah pilihan pindah kamar itu pada Abdullah dan Ayu, sepasang suami istri yang selama ini terlihat sering bersama-sama ke mana saja. Pasangan ini memang berbeda dengan jamaah lainnya.

Meski berbeda kamar, mereka kompak untuk lebih dulu saling membangunkan jika waktu mendekati pukul tiga pagi. Merekalah yang paling awal keluar hotel menuju ke Masjidil Haram.

“Assalamu’alaikum.” Karom mengetuk pintu kamar Abdullah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abdullah bangkit dan tersenyum ramah.

“Pak Abdullah,” kata Karom sambil duduk di kasur di samping Abdullah, “saya mohon maaf sebelumnya jika kedatangan saya mengganggu istirahat Bapak.”

“Oh, tidak apa-apa, Ustadz.”

“Jadi begini, Pak Abdullah. Tadi Bu Intan menemui saya dan meminta supaya beliau bisa dipindah ke kamar lain yang jamaahnya juga perempuan. Beliau tidak berani sendirian di kamar. Bapak kan tahu, baru tadi Bu Melati wafat. Bagaimana menurut Pak Abdullah?”

“Oh, begitu. Saya ikut Pak Karom saja bagaimana baiknya. Silakan diatur saja.”

“Baik. Jika Pak Abdullah setuju, mulai nanti malam Bu Intan bertukar posisi dengan Bu Ayu. Sebaliknya, Bu Ayu menempati kamar Bu Intan bersama dengan Pak Abdullah.”

“Boleh, saja, Pak Karom. Silakan.”

“Terima kasih, Pak Abdullah. Saya akan beri tahukan soal ini ke ketua kloter. Sekali lagi, terima kasih atas kesediaan Bapak.”

“Sama-sama, Pak Karom.”

Sore itu juga, seluruh barang bawaan milik Abdullah dan Ayu dipindahkan ke kamar 712. Sementara barang milik Intan dipindahkan ke kamar Ayu sebelumnya.

***

Syaikh Al Ghomidi baru saja usai mengucapkan salam. Pertanda shalat maghrib berjamaah telah selesai. Tiga menit kemudian, terdengar kembali kalimat takbir dari imam. Berarti waktunya melaksanakan shalat jenazah.

Memang, di Masjidil Haram shalat jenazah dilakukan di hampir setiap usai waktu shalat wajib. Termasuk shalat jenazah untuk almarhumah Bu Melati ini.

... (Bersambung ke bagian 4)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar