Rabu, 21 Oktober 2020

Wanginya Kamar Bu Melati (Bagian 2)

 

Masjidil Haram penuh sesak oleh jamaah yang melaksanakan thawaf ifadhah. Sebagian malah sudah sampai pada thawaf wada’ atau thawaf perpisahan. Mereka hendak kembali ke kampung halaman. Hampir semua sisi ditempati jamaah sehingga siapa yang ingin melaksanakan thawaf harus rela berdesak-desakan.

Karom terus memimpin rombongan agar bisa melaksanakan thawaf tanpa terpisah satu jamaah pun. Tapi itu bukan perkara mudah. Banyak jamaah terutama dari India dan Pakistan yang suka menggunakan kain panjang sebagai pengait. Tujuannya agar mereka tidak terpisah satu sama lain. Namun, cara itu justru mengganggu jamaah lain.

Semua orang harus tetap sabar. Apapun halangannya, kepala dan hati harus tetap dingin.

Waktu terus berjalan. Cuaca makin panas. Intan melihat Bu Melati kelelahan. Nafasnya berat sekali. Padahal baru usai thawaf. Belum sa’i dan tahalul. Ada kekhawatiran pada wajah Intan seandainya terjadi sesuatu pada Bu Melati. Karom mendekati Bu Melati untuk memastikan kondisinya.

“Saya tidak apa-apa, Pak Karom. Insya Allah tetap dilanjutkan saja.” kata Bu Melati dengan bibir tersungging. “Ibu yakin?” tanya Karom. “Insya Allah, Pak.”

Akhirnya rombongan memutuskan meneruskan prosesi selanjutnya. Intan terus mendampingi Bu Melati. Alhamdulillah dalam dua setengah jam kemudian, semua rangkaian ibadah selesai.

Jamaah saling berpelukan. Ada rasa bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah napak tilas (sebagian) perjuangan Ibrahim dan keluarganya telah coba dilalui. Ternyata memang berat. Tapi, di balik itu ada kebahagiaan tak terkira.

Satu per satu jamaah melakukan sujud syukur, persis di Bukit Marwah. Menangis dalam ketundukan kepada Tuhannya. Berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Bangkit kembali dengan perasaan bahagia. Melalui pintu keluar Marwah, mereka berjalan menuju ke terminal Syib Amr untuk kembali ke penginapan.

Beberapa hari selanjutnya, banyak jamaah yang memanfaatkan waktu untuk melakukan umrah sunnah. Mereka mengambil miqot di Tan’im yang berjarak sekitar enam kilometer dari Masjidil Haram. Jamaah cukup membeli tiket di terminal Syib Amr seharga 2 SAR untuk satu kali perjalanan, lalu naik bus shalawat.

Bu Melati tak mau ketinggalan dengan jamaah yang lain. Ketika ada pengumuman umrah sunnah, dia mendaftarkan diri untuk turut serta. Intan sebagai teman sekamar ikut pula dalam rombongan.

Dalam satu minggu, Bu Melati dan rombongan melakukan umroh sunnah sebanyak tiga kali. Sungguh ibadah yang sangat menguras fisik, karena untuk melakukan satu kali umroh diperlukan waktu setidaknya empat jam dari awal hingga akhir. Itu jika dilakukan secara terus-menerus tanpa istirahat yang terlalu lama. Stamina setiap orang tidaklah sama.

***

23 Dzulhijjah 1440 H. Sekitar jam enam pagi. Bu Melati mengeluhkan sakit di dada sebelah kiri. Wajahnya nampak pucat. Padahal hari itu rencananya ia akan melakukan umroh sunnah. Bahkan dua lembar tiket untuk rute Masjidil Haram-Tan’im pulang-pergi sudah di tangan.

Intan segera melaporkan kondisi Bu Melati ke ketua rombongan. Karom mengecek kondisi Bu Melati dan langsung menghubungi petugas kesehatan kloter di lantai tiga.

“Sebentar ya, Bu. Saya harus segera menghubungi tim medis.” ujar Karom.

Setelah melakukan pemeriksaan dengan peralatan seadanya, dokter menyarankan agar Bu Melati dibawa ke RS King Faisal. Nampaknya ada masalah serius menimpa Bu Melati.

Sebuah ambulan parkir di depan hotel. Petugas sigap mengeluarkan peralatan yang diperlukan, termasuk kursi roda. Bu Melati dibawa ke RS King Faisal.

Kepada jamaah yang berada di hotel, perawat menyampaikan bahwa jantung Bu Melati lemah. Mungkin karena aktivitas yang berlebihan, terutama setelah puncak ibadah haji. Waktu yang mestinya digunakan untuk istirahat justru dipaksakan untuk melakukan kegiatan yang sangat menguras tenaga.

Semua jamaah mendoakan agar Bu Melati diberikan kesembuhan. Perkembangan kondisi Bu Melati diberitahukan oleh dokter jaga melalui ketua rombongan. Karom segera memberitahukan hal tersebut kepada keluarga Bu Melati di Indonesia. Melalui Karom, keluarga menyampaikan terima kasih karena telah menjaga Bu Melati selama melakukan ibadah haji bahkan sampai selesai.

Ada hal yang mengejutkan. Pihak keluarga baru berterus terang bahwa ternyata Bu Melati sebetulnya mempunyai masalah pada jantung.

Pada waktu menjelang keberangkatan, dokter di Indonesia telah mengingatkan agar Bu Melati tidak berangkat haji dulu. Tapi, keinginan kuat Bu Melati meluluhkan hati sang dokter sampai akhirnya keluar rekomendasi dan izin untuk berangkat haji.

Bahkan, Bu Melati mengatakan kepada dokter, “Maaf, Dok. Seandainya saya harus mati, saya memilih mati di Tanah Suci. Saya ingin dishalati oleh jamaah haji di sana.” Dokter tak bisa melarang tekad Bu Melati yang kuat bak karang di lautan itu.

Karom segera memberitahukan informasi tersebut kepada dokter jaga di RS King Faisal. Dokter Indonesia menyimpulkan bahwa selama menjalani ibadah haji, kondisi Bu Melati sebetulnya kurang sehat. Tapi, demi menyempurnakan semua rukun dan wajib haji, semuanya ia lakukan.

Jamaah yang masih berada di penginapan menjadi cemas dengan kondisi Bu Melati. Sekitar jam lima sore, Bu Melati dikabarkan masuk ruang UGD RS King Faisal. Kondisinya makin menurun.

Jamaah di penginapan terus mendoakan untuk kesembuhan Bu Melati. Sebagian berdoa saat berada di Masjidil Haram. Biar bagaimana pun, Bu Melati adalah amanah bersama seluruh anggota rombongan. Keluarga telah menitipkannya kepada rombongan.

Menjelang malam, Karom membuat jadwal tunggu buat jamaah. Beberapa orang dipasangkan untuk secara bergantian menunggu di RS King Faisal.

Ada yang menyarakan agar rencana itu tidak perlu dilakukan karena menurut informasi yang diterima, RS King Faisal tidak memperkenankan hal tersebut. Pihak rumah sakit hanya akan menginformasikan perkembangan pasien kepada dokter kloter. Selebihnya biar dokter kloter yang meneruskannya ke jamaah.

Detik demi detik malam itu terasa lama. Semua orang menunggu perkembangan informasi soal Bu Melati. Menjelang shubuh, Karom mengabarkan bahwa kondisi Bu Melati kritis. Entah sekritis apa. Yang jelas, di ruang UGD peralatan kedaruratan sudah dipasang di tubuh Bu Melati. Jamaah harus siap mental untuk kondisi terburuk yang menimpa Bu Melati.

... (Bersambung ke bagian 3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar