Bulan Maret 1990. Matahari dari arah
timur beranjak naik. Har baru saja usai menunaikan shalat dhuha dua rakaat. Ia
bersandar pada dinding kayu tripleks. Mulutnya komat-kamit melafalkan kalimat
zikir. Pandangannya tertuju pada dapur sederhana yang isinya hanya kompor
minyak, panci kecil, wajan, dan beberapa buah piring. Bahan makanan hari itu
tinggal sedikit. Hanya ada beras, bahan sayur asem, dan irisan tempe. Kiranya,
itu yang mungkin bisa ia santap untuk hari ini. Har merenungi kehidupannya yang
apa adanya di Kampung Rawa.
Sejak kecil, Har tak pernah tahu
arti sebuah kemewahan. Ia hanya tahu bahwa hidup adalah bekerja mencari uang.
Meski kadang cara hidupnya malang melintang. Ia mengerti benar nasihat yang
dilantunkan oleh grup band Koes Plus dalam lagu berjudul Ojo Nelongso. Koesyono atau biasa dipanggil Yon Koeswoyo berpesan:
‘Jo
podo nelongso
Jamane
jaman rekoso
Urip
pancen angel
Kudune
ra usah ngomel
Ati
kudu tentrem
Nyambut
gawe karo seneng
Ulat
ojo peteng
Nek
dikongkon yo sing temen
Artinya:
Janganlah bersedih
Jamannya jaman susah
Hidup memang tidak mudah
Mestinya tak perlu marah
Hati mesti damai
Bekerja dengan rasa senang
Jangan gelap mata
Jika diperintah hendaklah
sungguh-sungguh
Dulu, Har pernah menjadi pedagang
asongan. Barang yang dijual di antaranya rokok, permen, obat masuk angin, dan
tisu. Ia menjajakan dagangannya di Bunderan Slipi. Berjalan ke sana kemari,
dari satu kendaraan pindah ke kendaraan lain. Kadang tanpa terasa posisinya
sudah berpindah ke Petamburan. Melihat omzet yang makin menipis, Har banting
setir jadi kondektur bus kota. Ia membantu Trisno yang berprofesi sebagai sopir
bus PPD.
Setelah menjadi kondektur, Har
merasakan kehidupannya lebih baik. Setidaknya, uang makan untuk keesokan
harinya tidak perlu dikhawatirkan. Beda dengan sebelumnya yang hari-harinya
selalu diliputi kecemasan. Tidak jarang dalam sehari ia harus makan satu kali,
yang penting perutnya terisi.
Suatu ketika, di terminal Kampung
Melayu, Trisno meninggalkan bus untuk sekadar makan di warteg. Sementara Har
istirahat sambil menjulurkan kakinya di kursi penumpang. Tiba-tiba dari luar
terdengar teriakan petugas yang meminta agar bus segera berjalan. Har
tergopoh-gopoh menuju kursi pengemudi. Dengan keahlian seadanya, ia menyalakan
mesin, menginjak kopling, dan memindahkan persneling. Sejurus kemudian, kopling
dilepas dan gas ditekan.
Bukannya ke depan, bus justru
bergerak cepat ke arah belakang. Har keliru memasukkan gigi. Bus menyenggol
mobil pribadi. Prak! Suaranya terdengar jelas. Har panik lalu secepatnya
menekan rem tangan. Ia membuka pintu kemudi, berlari sekencang-kencangnya ke arah
jalan raya. Si empunya mobil berteriak meminta Har berhenti. Namun, Har makin
kencang berlari melintas di antara kendaraan yang bergerak melambat. Tubuhnya
sudah tak terlihat lagi. Sebuah mikrolet tujuan terminal Pulo Gadung ia paksa
berhenti. Setelah duduk, ia meminta kendaraan segera jalan.
Har melarikan diri, kembali ke
kampung halaman. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Semuanya masih
terasa hangat di dalam ingatan. Sejak peristiwa itu, ia tak berani merantau ke
Jakarta. Takut dicari polisi. Ia memilih hidup lontang-lantung di kampung.
Untuk menyambung hidup, Har berdagang petasan. Ia belajar membuat petasan dari
seorang pandai besi bernama Ali.
Har memulai hidup baru sebagai
pembuat dan pedagang petasan. Ia melibatkan sepupunya sebagai karyawan.
Kepadanya, Har mengajarkan cara membuat petasan yang benar dan aman mulai dari
membuat ‘ramuan’ obat yang terdiri dari potasium, belerang, dan arang. Kemudian
membuat gulungan dari bahan kertas semen dan kertas kalender, menutup rapat
bagian bawah menggunakan obeng, lalu membuat sumbu di bagian atas/kepala.
Petasan ini tidak menggunakan penutup dari tanah liat sehingga tidak
membahayakan ketika diledakkan.
Dari hasil penjualan petasan, Har
bisa memenuhi keperluannya sehari-hari. Kadang-kadang, ia mencari ikan di
sungai agar kebutuhan protein hewaninya tetap terpenuhi. Ia menggunakan petasan
sebagai bahan utama mencari ikan. Petasan itu diletakkan di botol kaca yang
bagian kepalanya ditutup rapat kecuali dua utas kabel sebagai sumbu yang sengaja
dipanjangkan hingga mencapai tempat tertentu. Botol diletakkan di dasar sungai
lalu ditinggalkan. Tak lupa, Har menutup aliran sungai dengan jaring.
Dari tempat yang agak jauh, kabel
itu disentuhkan hingga seketika sebuah ledakan terjadi. Dari dalam air, banyak
ikan yang pingsan atau mati. Mereka mengapung lalu hanyut terbawa arus sungai.
Ikan-ikan itu terhenti ketika mencapai jaring yang telah dipasang oleh Har.
Dari tempat inilah Har panen ikan dalam jumlah banyak. Dia merasa kemampuannya
membuat petasan sangat berguna.
Suatu ketika, keisengan Har timbul.
Bersama Ali, sang guru petasan, Har meletakkan petasan di samping tangsi yang
lokasinya berdekatan dengan pabrik es Saripetojo. Tujuannya adalah memancing
emosi Pak Taslim yang memang terkenal galak. Pekerjaan itu dilakukan menjelang
petang. Hulu ledak petasan dihubungkan dengan obat nyamuk cap King Kong, lalu
petasan seukuran botol minuman 600 mililiter itu diletakkan secara tersembunyi.
Ketika hari mulai gelap, seperti
biasa Pak Taslim melakukan inspeksi. Biasanya ia mengontrol pintu air. Ke arah
timur, air dialirkan untuk sawah irigasi. Ke barat, air mengalir ke sungai
kecil yang biasa dipakai penduduk untuk keperluan sehari-hari. Sementara ke
utara, air diteruskan hingga desa sebelah. Pekerjaan itu sudah dilakoninya
selama dua puluh tahun.
Saat mendekati pintu sebelah barat,
tiba-tiba terdengar dentuman sangat keras. Suaranya menggelegar seperti bom.
Pak Taslim marah besar lalu mencari siapa pelaku peledakan itu. Ia menyangka
pelakunya masih berada di sekitar tangsi. Ternyata perkiraannya meleset. Dari
jarak satu kilometer dari tangsi, Har dan Ali mendengar dentuman itu. Mereka
terkekeh-kekeh.
***
Setelah menikah dengan Yati, Har
kembali merantau ke Jakarta. Ia berdagang martabak telor keliling. Mereka
tinggal di rumah kontrakan di kawasan Kemanggisan Pulo, Palmerah, dekat dengan
sungai. Banjir jadi langganan akibat sungai yang mengalami sedimentasi parah.
Belum lagi sampah plastik yang menggunung. Tak jarang banjir datang padahal
tidak ada hujan sama sekali. Rupanya itu banjir kiriman dari kawasan selatan
Jakarta.
Sepuluh tahun setelah tinggal di
Kemanggisan Pulo, Har dan Yati pindah ke Kampung Rawa. Mereka tinggal di sebuah
rumah sempit berukuran panjang enam meter dan lebar satu setengah meter.
Bersyukur, kini tak lagi ada uang kontrakan bulanan yang harus dikeluarkan.
Mereka seperti sudah ‘mempunyai’ rumah sendiri.
Tempat itu sebetulnya tidak tepat
disebut rumah. Itu hanyalah lorong di antara rumah Pak Sam dan Pak Midi. Har
minta izin kepada kedua pemilik rumah tersebut untuk menjadikan lorong itu
sebagai tempat tinggal. Sebagai konsekuensinya, ia sendiri yang harus
menyiapkan semuanya hingga tempat tersebut menjadi layak huni. Har membeli
beberapa balok kayu, tripleks, seng, dan peralatan tukang.
Di tangan Har yang terampil, hanya
perlu sedikit waktu untuk mendirikan tempat itu hingga layak untuk dihuni. Agar
terlihat terang bagian dalamnya, dinding perlu dicat. Tapi, harga cat cukup
mahal. Sebagai gantinya, Har membeli dua kilogram kertas buram polos. Kertas
itu ditempeli perekat yang terbuat dari tepung kanji yang sudah dimasak.
Setelah selesai, dinding rumah jadi terlihat cerah.
Har nampak bahagia. Ia bahkan tak
peduli kalau persis di depan rumahnya ada tempat pembuangan sampah. Selain
kotor dan bau, tempat itu jadi sarang lalat dan nyamuk. Tapi apa boleh buat.
Mengontrak rumah tentu mahal harganya. Sementara yang ia dapat saat ini adalah
‘hadiah’ dari Pak Sam dan Pak Midi. Ini sudah jadi karunia yang sangat besar
baginya.
Bersama dengan istrinya, Har memulai
lagi kehidupannya menjadi pedagang martabak telor yang mangkal di Pasar Kopro.
Mereka berbagi tugas: Har yang berjualan dari waktu sore hingga malam,
sementara Yati bertugas berbelanja ke pasar. Setiap habis shalat shubuh, Yati
naik mikrolet ke pasar Palmerah untuk membeli beberapa bahan baku seperti daun
bawang, daging, bumbu rendang, mentega, minyak goreng, serta tepung terigu.
Sementara untuk urusan telur bebek, sudah ada Mas Pon yang biasa mengantar
setiap dua hari sekali.
***
Kabar yang tak diharapkan itu
datang. Pada 2 Oktober 1991, warga mendapatkan surat pemberitahuan dari
walikota yang menjelaskan tentang status tanah Kampung Rawa dan tindaklanjut
yang akan dilakukan pemerintah kota. Lahan yang selama ini dihuni secara
turun-temurun sejak 1960-an (sebagian diperjualbelikan tanpa sertifikat) harus
segera dikosongkan. Pemerintah memberikan waktu tiga bulan agar warga
mengosongkan lahan tersebut. Har menjadi gusar. Dia merasa baru saja menikmati
tempat tinggal yang sederhana itu. Meski berukuran kecil, itulah sorga Har dan
Yati di dunia.
Surat dari walikota itu menjadi buah
bibir. Meski banyak warga menolak dan berniat melakukan perlawanan, sepertinya
penggusuran tinggal menunggu waktu. Biar bagaimana pun, tanah yang mereka
tempati memang bukan hak milik. Har sudah menanyakan soal itu kepada Pak Sam
dan Pak Midi. Keduanya mengaku membeli dari seseorang yang saat ini
keberadaannya tak diketahui.
Tiga bulan sudah surat walikota
beredar dan menjadi perhatian penduduk Kampung Rawa. Seorang personel tentara
memberitahukan kepada warga bahwa tak lama lagi akan ada perintah pembongkaran
jika mereka terus bertahan di situ. Ternyata berita itu bukan isapan jempol.
Tanggal 6 Januari 1992 terbit Surat Perintah Bongkar (SPB). Walikota memberikan
peringatan terakhir agar warga segera meninggalkan hunian. Jika tidak, dalam
tempo sebulan akan ada pengerahan petugas dan peralatan yang diperlukan untuk
meratakan bangunan.
Situasi jadi makin tegang. Setiap
warga diliputi kecemasan. Dalam suratnya, walikota hanya menyatakan waktu
sebulan tanpa menyebut tanggal pasti pembongkaran akan dilakukan. Ronda malam
dilakukan secara bergantian untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.
Kamis pagi sehabis shubuh, tanggal
13 Februari 1992. Udara dingin serasa menusuk tulang. Har bersiap untuk
berbelanja bahan baku dagangannya. Mengingat situasi yang kian tak menentu,
Yati diminta menunggu rumah sementara Har berangkat ke pasar Palmerah. Isu soal
pembongkaran paksa oleh pemerintah kota kian santer terdengar. Tinggal waktu
yang membuktikan apakah itu benar dilakukan atau hanya sebatas gertakan.
Sekitar jam tujuh pagi. Suara
jeritan wanita pertama terdengar, disusul dengan teriakan dari beberapa warga
tetangga. “Gusuran! Gusuran! Semuanya lari ke lapangan...!” Rupanya itu adalah
suara Pak Sam. Yati berusaha menyelamatkan peralatan dapur. Otaknya sudah tidak
bisa lagi berpikir mana yang penting dan mana yang tidak. Dia dan warga lainnya
sudah berkumpul di lapangan sepak bola.
Di Jalan Budi I, puluhan warga
Kampung Rawa berhadap-hadapan dengan petugas dari Kamtib dan Bakortanasda.
Warga mengamuk, melemparkan batu dan benda keras apa saja yang mereka pegang.
Sementara petugas bertahan dengan tameng dan pentungan. Har yang baru pulang
dari pasar Palmerah memilih bergabung dengan warga yang sedang marah.
Negosiator pemerintah diturunkan untuk menenangkan warga yang telanjur tersulut
amarah. Sayangnya, negosiasi gagal. Warga keberatan meninggalkan kampung
mereka. Keributan meluas hingga pertigaan Tunggu Manggis, dekat pasar buah dan
kompleks perumahan pajak. Polisi dan tentara membuat pagar betis.
Alat-alat berat seperti escavator, beko, dan buldozer dikerahkan untuk merobohkan
bangunan. Perempuan dan anak-anak menangis menyaksikan tempat tinggal mereka
yang pelan-pelan rata dengan tanah. Warga yang kalah ‘perang’ berlarian
meninggalkan lapangan bersama dengan keluarganya. Mereka terpaksa mencari
hunian baru yang entah ada di mana. Sementara sebagian lainnya tetap berada di
lapangan mendirikan tenda semampunya.
Tiga hari berturut-turut sejak
kejadian pembongkaran paksa adalah saat-saat tangis pilu terdengar siang dan
malam. Lahan yang selama ini diduduki warga Kampung Rawa kini telah berpindah
tangan. Har dan Yati kebingungan. Tragedi ini terasa memilukan.
Padang, 29 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar