Selasa, 18 Agustus 2020

Tragedi Kampung Rawa

Bulan Maret 1990. Matahari dari arah timur beranjak naik. Har baru saja usai menunaikan shalat dhuha dua rakaat. Ia bersandar pada dinding kayu tripleks. Mulutnya komat-kamit melafalkan kalimat zikir. Pandangannya tertuju pada dapur sederhana yang isinya hanya kompor minyak, panci kecil, wajan, dan beberapa buah piring. Bahan makanan hari itu tinggal sedikit. Hanya ada beras, bahan sayur asem, dan irisan tempe. Kiranya, itu yang mungkin bisa ia santap untuk hari ini. Har merenungi kehidupannya yang apa adanya di Kampung Rawa.


Sejak kecil, Har tak pernah tahu arti sebuah kemewahan. Ia hanya tahu bahwa hidup adalah bekerja mencari uang. Meski kadang cara hidupnya malang melintang. Ia mengerti benar nasihat yang dilantunkan oleh grup band Koes Plus dalam lagu berjudul Ojo Nelongso. Koesyono atau biasa dipanggil Yon Koeswoyo berpesan:

‘Jo podo nelongso
Jamane jaman rekoso
Urip pancen angel
Kudune ra usah ngomel
Ati kudu tentrem
Nyambut gawe karo seneng
Ulat ojo peteng
Nek dikongkon yo sing temen

Artinya:

Janganlah bersedih
Jamannya jaman susah
Hidup memang tidak mudah
Mestinya tak perlu marah
Hati mesti damai
Bekerja dengan rasa senang
Jangan gelap mata
Jika diperintah hendaklah sungguh-sungguh

Dulu, Har pernah menjadi pedagang asongan. Barang yang dijual di antaranya rokok, permen, obat masuk angin, dan tisu. Ia menjajakan dagangannya di Bunderan Slipi. Berjalan ke sana kemari, dari satu kendaraan pindah ke kendaraan lain. Kadang tanpa terasa posisinya sudah berpindah ke Petamburan. Melihat omzet yang makin menipis, Har banting setir jadi kondektur bus kota. Ia membantu Trisno yang berprofesi sebagai sopir bus PPD.

Setelah menjadi kondektur, Har merasakan kehidupannya lebih baik. Setidaknya, uang makan untuk keesokan harinya tidak perlu dikhawatirkan. Beda dengan sebelumnya yang hari-harinya selalu diliputi kecemasan. Tidak jarang dalam sehari ia harus makan satu kali, yang penting perutnya terisi.

Suatu ketika, di terminal Kampung Melayu, Trisno meninggalkan bus untuk sekadar makan di warteg. Sementara Har istirahat sambil menjulurkan kakinya di kursi penumpang. Tiba-tiba dari luar terdengar teriakan petugas yang meminta agar bus segera berjalan. Har tergopoh-gopoh menuju kursi pengemudi. Dengan keahlian seadanya, ia menyalakan mesin, menginjak kopling, dan memindahkan persneling. Sejurus kemudian, kopling dilepas dan gas ditekan.

Bukannya ke depan, bus justru bergerak cepat ke arah belakang. Har keliru memasukkan gigi. Bus menyenggol mobil pribadi. Prak! Suaranya terdengar jelas. Har panik lalu secepatnya menekan rem tangan. Ia membuka pintu kemudi, berlari sekencang-kencangnya ke arah jalan raya. Si empunya mobil berteriak meminta Har berhenti. Namun, Har makin kencang berlari melintas di antara kendaraan yang bergerak melambat. Tubuhnya sudah tak terlihat lagi. Sebuah mikrolet tujuan terminal Pulo Gadung ia paksa berhenti. Setelah duduk, ia meminta kendaraan segera jalan.

Har melarikan diri, kembali ke kampung halaman. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1970-an. Semuanya masih terasa hangat di dalam ingatan. Sejak peristiwa itu, ia tak berani merantau ke Jakarta. Takut dicari polisi. Ia memilih hidup lontang-lantung di kampung. Untuk menyambung hidup, Har berdagang petasan. Ia belajar membuat petasan dari seorang pandai besi bernama Ali.

Har memulai hidup baru sebagai pembuat dan pedagang petasan. Ia melibatkan sepupunya sebagai karyawan. Kepadanya, Har mengajarkan cara membuat petasan yang benar dan aman mulai dari membuat ‘ramuan’ obat yang terdiri dari potasium, belerang, dan arang. Kemudian membuat gulungan dari bahan kertas semen dan kertas kalender, menutup rapat bagian bawah menggunakan obeng, lalu membuat sumbu di bagian atas/kepala. Petasan ini tidak menggunakan penutup dari tanah liat sehingga tidak membahayakan ketika diledakkan.

Dari hasil penjualan petasan, Har bisa memenuhi keperluannya sehari-hari. Kadang-kadang, ia mencari ikan di sungai agar kebutuhan protein hewaninya tetap terpenuhi. Ia menggunakan petasan sebagai bahan utama mencari ikan. Petasan itu diletakkan di botol kaca yang bagian kepalanya ditutup rapat kecuali dua utas kabel sebagai sumbu yang sengaja dipanjangkan hingga mencapai tempat tertentu. Botol diletakkan di dasar sungai lalu ditinggalkan. Tak lupa, Har menutup aliran sungai dengan jaring.

Dari tempat yang agak jauh, kabel itu disentuhkan hingga seketika sebuah ledakan terjadi. Dari dalam air, banyak ikan yang pingsan atau mati. Mereka mengapung lalu hanyut terbawa arus sungai. Ikan-ikan itu terhenti ketika mencapai jaring yang telah dipasang oleh Har. Dari tempat inilah Har panen ikan dalam jumlah banyak. Dia merasa kemampuannya membuat petasan sangat berguna.

Suatu ketika, keisengan Har timbul. Bersama Ali, sang guru petasan, Har meletakkan petasan di samping tangsi yang lokasinya berdekatan dengan pabrik es Saripetojo. Tujuannya adalah memancing emosi Pak Taslim yang memang terkenal galak. Pekerjaan itu dilakukan menjelang petang. Hulu ledak petasan dihubungkan dengan obat nyamuk cap King Kong, lalu petasan seukuran botol minuman 600 mililiter itu diletakkan secara tersembunyi.

Ketika hari mulai gelap, seperti biasa Pak Taslim melakukan inspeksi. Biasanya ia mengontrol pintu air. Ke arah timur, air dialirkan untuk sawah irigasi. Ke barat, air mengalir ke sungai kecil yang biasa dipakai penduduk untuk keperluan sehari-hari. Sementara ke utara, air diteruskan hingga desa sebelah. Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama dua puluh tahun.

Saat mendekati pintu sebelah barat, tiba-tiba terdengar dentuman sangat keras. Suaranya menggelegar seperti bom. Pak Taslim marah besar lalu mencari siapa pelaku peledakan itu. Ia menyangka pelakunya masih berada di sekitar tangsi. Ternyata perkiraannya meleset. Dari jarak satu kilometer dari tangsi, Har dan Ali mendengar dentuman itu. Mereka terkekeh-kekeh.

***

Setelah menikah dengan Yati, Har kembali merantau ke Jakarta. Ia berdagang martabak telor keliling. Mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Kemanggisan Pulo, Palmerah, dekat dengan sungai. Banjir jadi langganan akibat sungai yang mengalami sedimentasi parah. Belum lagi sampah plastik yang menggunung. Tak jarang banjir datang padahal tidak ada hujan sama sekali. Rupanya itu banjir kiriman dari kawasan selatan Jakarta.

Sepuluh tahun setelah tinggal di Kemanggisan Pulo, Har dan Yati pindah ke Kampung Rawa. Mereka tinggal di sebuah rumah sempit berukuran panjang enam meter dan lebar satu setengah meter. Bersyukur, kini tak lagi ada uang kontrakan bulanan yang harus dikeluarkan. Mereka seperti sudah ‘mempunyai’ rumah sendiri.

Tempat itu sebetulnya tidak tepat disebut rumah. Itu hanyalah lorong di antara rumah Pak Sam dan Pak Midi. Har minta izin kepada kedua pemilik rumah tersebut untuk menjadikan lorong itu sebagai tempat tinggal. Sebagai konsekuensinya, ia sendiri yang harus menyiapkan semuanya hingga tempat tersebut menjadi layak huni. Har membeli beberapa balok kayu, tripleks, seng, dan peralatan tukang.

Di tangan Har yang terampil, hanya perlu sedikit waktu untuk mendirikan tempat itu hingga layak untuk dihuni. Agar terlihat terang bagian dalamnya, dinding perlu dicat. Tapi, harga cat cukup mahal. Sebagai gantinya, Har membeli dua kilogram kertas buram polos. Kertas itu ditempeli perekat yang terbuat dari tepung kanji yang sudah dimasak. Setelah selesai, dinding rumah jadi terlihat cerah.

Har nampak bahagia. Ia bahkan tak peduli kalau persis di depan rumahnya ada tempat pembuangan sampah. Selain kotor dan bau, tempat itu jadi sarang lalat dan nyamuk. Tapi apa boleh buat. Mengontrak rumah tentu mahal harganya. Sementara yang ia dapat saat ini adalah ‘hadiah’ dari Pak Sam dan Pak Midi. Ini sudah jadi karunia yang sangat besar baginya.

Bersama dengan istrinya, Har memulai lagi kehidupannya menjadi pedagang martabak telor yang mangkal di Pasar Kopro. Mereka berbagi tugas: Har yang berjualan dari waktu sore hingga malam, sementara Yati bertugas berbelanja ke pasar. Setiap habis shalat shubuh, Yati naik mikrolet ke pasar Palmerah untuk membeli beberapa bahan baku seperti daun bawang, daging, bumbu rendang, mentega, minyak goreng, serta tepung terigu. Sementara untuk urusan telur bebek, sudah ada Mas Pon yang biasa mengantar setiap dua hari sekali.

***

Kabar yang tak diharapkan itu datang. Pada 2 Oktober 1991, warga mendapatkan surat pemberitahuan dari walikota yang menjelaskan tentang status tanah Kampung Rawa dan tindaklanjut yang akan dilakukan pemerintah kota. Lahan yang selama ini dihuni secara turun-temurun sejak 1960-an (sebagian diperjualbelikan tanpa sertifikat) harus segera dikosongkan. Pemerintah memberikan waktu tiga bulan agar warga mengosongkan lahan tersebut. Har menjadi gusar. Dia merasa baru saja menikmati tempat tinggal yang sederhana itu. Meski berukuran kecil, itulah sorga Har dan Yati di dunia.

Surat dari walikota itu menjadi buah bibir. Meski banyak warga menolak dan berniat melakukan perlawanan, sepertinya penggusuran tinggal menunggu waktu. Biar bagaimana pun, tanah yang mereka tempati memang bukan hak milik. Har sudah menanyakan soal itu kepada Pak Sam dan Pak Midi. Keduanya mengaku membeli dari seseorang yang saat ini keberadaannya tak diketahui.

Tiga bulan sudah surat walikota beredar dan menjadi perhatian penduduk Kampung Rawa. Seorang personel tentara memberitahukan kepada warga bahwa tak lama lagi akan ada perintah pembongkaran jika mereka terus bertahan di situ. Ternyata berita itu bukan isapan jempol. Tanggal 6 Januari 1992 terbit Surat Perintah Bongkar (SPB). Walikota memberikan peringatan terakhir agar warga segera meninggalkan hunian. Jika tidak, dalam tempo sebulan akan ada pengerahan petugas dan peralatan yang diperlukan untuk meratakan bangunan.

Situasi jadi makin tegang. Setiap warga diliputi kecemasan. Dalam suratnya, walikota hanya menyatakan waktu sebulan tanpa menyebut tanggal pasti pembongkaran akan dilakukan. Ronda malam dilakukan secara bergantian untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.

Kamis pagi sehabis shubuh, tanggal 13 Februari 1992. Udara dingin serasa menusuk tulang. Har bersiap untuk berbelanja bahan baku dagangannya. Mengingat situasi yang kian tak menentu, Yati diminta menunggu rumah sementara Har berangkat ke pasar Palmerah. Isu soal pembongkaran paksa oleh pemerintah kota kian santer terdengar. Tinggal waktu yang membuktikan apakah itu benar dilakukan atau hanya sebatas gertakan.

Sekitar jam tujuh pagi. Suara jeritan wanita pertama terdengar, disusul dengan teriakan dari beberapa warga tetangga. “Gusuran! Gusuran! Semuanya lari ke lapangan...!” Rupanya itu adalah suara Pak Sam. Yati berusaha menyelamatkan peralatan dapur. Otaknya sudah tidak bisa lagi berpikir mana yang penting dan mana yang tidak. Dia dan warga lainnya sudah berkumpul di lapangan sepak bola.

Di Jalan Budi I, puluhan warga Kampung Rawa berhadap-hadapan dengan petugas dari Kamtib dan Bakortanasda. Warga mengamuk, melemparkan batu dan benda keras apa saja yang mereka pegang. Sementara petugas bertahan dengan tameng dan pentungan. Har yang baru pulang dari pasar Palmerah memilih bergabung dengan warga yang sedang marah. Negosiator pemerintah diturunkan untuk menenangkan warga yang telanjur tersulut amarah. Sayangnya, negosiasi gagal. Warga keberatan meninggalkan kampung mereka. Keributan meluas hingga pertigaan Tunggu Manggis, dekat pasar buah dan kompleks perumahan pajak. Polisi dan tentara membuat pagar betis.

Alat-alat berat seperti escavator, beko, dan buldozer dikerahkan untuk merobohkan bangunan. Perempuan dan anak-anak menangis menyaksikan tempat tinggal mereka yang pelan-pelan rata dengan tanah. Warga yang kalah ‘perang’ berlarian meninggalkan lapangan bersama dengan keluarganya. Mereka terpaksa mencari hunian baru yang entah ada di mana. Sementara sebagian lainnya tetap berada di lapangan mendirikan tenda semampunya.

Tiga hari berturut-turut sejak kejadian pembongkaran paksa adalah saat-saat tangis pilu terdengar siang dan malam. Lahan yang selama ini diduduki warga Kampung Rawa kini telah berpindah tangan. Har dan Yati kebingungan. Tragedi ini terasa memilukan.

Padang, 29 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar