Darmo takjub sekaligus bingung.
Pandangannya mengarah ke segala penjuru, menatap gedung-gedung bertingkat.
Semuanya mewah dan berjajar. Setiap nama gedung ditulis dengan bahasa Arab yang
ia sendiri tidak tahu bagaimana membacanya. Apalagi memahami artinya. Ia pernah
melihat pemandangan serupa di Cisarua. Tapi ini berbeda. Tidak ada jalan raya
menanjak seperti menuju arah Puncak.
Ia melihat semua kendaraan berhenti
di sebelah kenan. Mobil pribadi, taksi, juga bus. Bahkan pintu keluar dan masuk
penumpang bus juga berada di sebelah kanan. Orang-orang yang hendak masuk ke
dalam bus semuanya berpakaian putih-putih. Mereka berdiri di tempat
pemberhentian, lalu naik untuk menuju suatu tempat yang Darmo sendiri tak tahu
ke mana.
Di antara orang-orang itu, Darmo
berusaha mencari siapa saja yang ia kenal. Satu per satu wajahnya diamati, tapi
tak satu pun yang ia ketahui. Malahan banyak orang asing berkulit putih,
kuning, dan hitam. Ia tak mengerti di mana sesungguhnya berada. “Ya Allah, aku
sedang berada di mana?” gumamnya dalam hati. Dalam kebingungannya, Darmo
melihat seseorang berjalan menuju rombongan. Orang itu beserta dengan rombongan
sepertinya hendak naik ke bus juga.
Darmo memperhatikan lelaki tersebut
dengan serius. Wajahnya sepertinya tidak asing lagi, tapi penampilannya sedikit
berbeda dengan biasanya. Sehari-hari lelaki itu berpeci hitam dan kadang
berbaju safari, tapi kali ini pakaiannya serba putih. Kepalanya juga tak
berpeci. Meskipun begitu, Darmo yakin benar bahwa ia kenal dengan lelaki itu.
Ia segera menghampiri.
“Kyai Ahmad. Assalamu’alaikum!”
Lelaki yang disapa Darmo itu
menoleh. Orang yang bernama Kyai Ahmad itu sesaat seperti kebingungan mengapa
Darmo ada di situ. Ia tahu bahwa Darmo bukan rombongannya. Bahkan, kabar bahwa
Darmo berangkat haji juga tidak pernah ia dengar sebelumnya. Tapi ia tak mau
berburuk sangka. Jangan-jangan memang benar Darmo berangkat haji tapi beda
kloter atau rombongan. “Wa’alaikumussalam. Darmo, kamu kok di sini? Kamu
menginap di hotel mana?” tanya Kyai Ahmad.
“Hah? Hotel, Kyai? Saya juga bingung
menginap di mana.” kata Darmo dengan wajah polos. Padahal pakaian yang ia
dikenakan juga sama seperti Kyai Ahmad: kain ihram berwarna putih. Menandakan bahwa
memang ia adalah jamaah calon haji seperti halnya Kyai Ahmad.
Melihat jawaban Darmo, Kyai Ahmad
heran. “Loh, kamu ini bagaimana? Kamu kloter berapa? Rombongan berapa? Siapa
karom (ketua rombongan)nya? Jangan sampai tertinggal rombongan loh. Lekas cari
supaya karom tidak kebingungan.”
Mulut Darmo melongo. Ia juga heran
mengapa berada di tempat itu. Ia justru berharap Kyai Ahmad bisa membantunya
kembali ke tempatnya. Sejujurnya, tempat itu masih asing di mata Darmo.
“Ngapunten, Kyai. Sebetulnya kita mau apa ya?”
Kyai Ahmad hampir meninggikan nada
bicaranya. Tapi, ketika ingat hal-hal yang harus dijaga selama berhaji, ia
urung memperturutkan emosi. Bibirnya mencoba tersenyum. “Astaghrifullah, Darmo.
Kok kamu jadi kebingungan seperti itu? Kita ini sudah mau melaksanakan puncak
haji. Semua jamaah akan berangkat ke Arafah untuk wuquf. Kamu bukannya bersama
dengan rombongan kok malah datang ke sini?”
“Maafkan saya, Kyai. Kalau Kyai
tidak keberatan, bolehkah saya ikut rombongan Kyai saja? Saya tidak sanggup
lagi mencari rombongan saya.” Wajah Darmo terlihat memelas. Keringat mulai
keluar dari sisi dahi, tapi kemudian menguap karena panas yang teramat sangat.
Wajar, karena saat itu Darmo berada di luar hotel yang suhu udaranya di atas 45
derajat.
Kyai Ahmad mencoba bersikap bijak.
Ia menata hati. Bukan apa-apa. Keputusannya menerima Darmo dalam rombongannya
adalah tanggung jawab yang besar. Bisa jadi ia akan ditanya oleh ketua kloter
atau karom lain tentang keberadaan Darmo. Ia bisa dituduh mengambil jamaah yang
bukan dalam bimbingannya. Atau setidaknya, dianggap lalai melaporkan kejadian
yang diketahuinya. Padahal posisinya sebagai karom. Tapi, ia tak tega
membiarkan Darmo dalam kebingungan. Entah sedang kena penyakit apa, tiba-tiba
Darmo jadi seperti orang linglung.
“Darmo,” kata Kyai Ahmad dengan nada
pelan, “bapak mohon maaf. Bukan berarti bapak tidak mau menerima kamu. Tapi,
kamu kan menjadi tanggung jawab ketua rombongan. Kalau kamu ikut bapak,
bisa-bisa bapak disalahkan karena membawa serta kamu ke dalam rombongan tanpa
koordinasi dengan ketua kloter atau karom lain. Bapak minta pengertian kamu
ya?”
“Tapi, Kyai, saya benar-benar tidak
punya jalan lain. Tolong saya, Kyai.” Darmo tetap memohon untuk dibantu Kyai
Ahmad.
Kyai Ahmad menarik nafas panjang.
Jamaah yang ia pimpin sudah seluruhnya masuk ke bus. Tinggal dirinya dan Darmo
yang masih berdiri di luar bus. “Ya Syaikh, bi
sur’ah!” terdengar teriakan sopir bus meminta Kyai Ahmad bersegera masuk ke
bus. Ia berpikir sejenak bagaimana menyelamatkan Darmo tapi jamaahnya tetap
tidak keberatan.
Kyai Ahmad masuk ke bus, tapi
sebelum bus jalan ia minta waktu kepada pengemudi untuk berbicara sebentar
kepada seluruh jamaah. Melalui pengeras suara yang disediakan bus, Kyai Ahmad
menyampaikan permintaannya.
“Assalamu’alaikum warahmatullahu wabarakatuh.
Dhuyufurrahman yang semoga dimuliakan
oleh Allah. Insya Allah kita akan memulai sebuah perjalanan penting dan
merupakan puncak dari rukun haji kita yaitu perjalanan di Armuzna. Terdiri dari
wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, kemudian mengakhiri kegiatan kita
dengan melontar jumrah di Mina. Namun sebelum itu, saya mohon kesediaan dan
kerelaan jamaah semuanya.
“Baru saja saya bertemu tetangga
saya. Namanya Darmo. Beliau sepertinya dari rombongan lain, tapi kebingungan
untuk mencari di mana rombongannya berada. Saya berinisiatif agar keadaan tidak
makin kacau, biarlah Pak Darmo bersama-sama kita dalam satu rombongan. Apakah
jamaah setuju?”
“Setuju, Kyai. Tidak apa-apa.” Pak
Solihin yang duduk di barisan tengah dekat lorong memberikan jawabannya. Jamaah
yang lain mengamininya.
Akhirnya, Darmo disilakan duduk di
kursi depan. Persis di samping Kyai Ahmad. Bus melaju dengan kecepatan sedang:
80 kilometer per jam. Selama perjalanan, Darmo takjub bukan main. Jalan raya
yang mulus seperti jalan tol. Di samping kanan dan kiri jalan yang ada hanya
padang pasir dan batu-batu besar. Sesekali ia lihat unta sedang mencari makan.
Jalan raya itu ramai dilalui bus-bus yang bergerak ke satu arah.
Rombongan yang berada di dalam bus
melantunkan kalimat talbiyah. Labbaik
Allaahumma labbaik. Darmo mengikutinya pelan. Bibirnya makin lama makin
bergetar, seperti tak sanggup lagi berkata apa-apa. Ia menitikkan air mata.
Dari hati yang paling dalam, Darmo mengakui bahwa kalimat talbiyah itulah yang
selalu membuatnya rindu untuk bisa melaksanakan ibadah haji.
Dulu, dalam setiap kegiatan
pelepasan jamaah calon haji, Darmo selalu mendapatkan bagian melantunkan
kalimat adzan sebagai tanda bahwa jamaah akan segera berangkat meninggalkan
tempat tinggalnya. Setelahnya, ia diminta mengumandangkan kalimat talbiyah.
Suaranya dikenal sangat merdu. Membuat orang yang mendengarnya menitikkan air mata,
sama seperti yang dialami Darmo di dalam bus saat ini. Ia tidak pernah menduga
bahwa kalimat itu benar-benar ia ucapkan bersama-sama dengan jamaah lain di
bawah pimpinan Kyai Ahmad, kyai sepuh di kampungnya.
Perjalanan dari Kota Mekah menuju
Arafah ditempuh hanya dalam waktu tiga jam. Bus kini telah memasuki Nihayatul
Arafah atau Batas Arafah. Jantung Darmo makin berdetak kencang. Belum pernah ia
bayangkan sebelumnya akan memasuki padang luas bernama Arafah. Tanahnya luas
penuh pasir. Sebagian dibangun jalan beraspal yang menghubungkan satu sektor
dengan sektor lainnya. Di beberapa bagian nampak pepohonan kecil dan besar.
Sejarah menamainya dengan pohon Soekarno.
Di samping kiri bus berdiri
tenda-tenda yang dibangun secara semipermanen. Tenda-tenda itu nampak berwibawa
karena selalu dijaga dan dirawat. Pemerintah Arab Saudi memeliharanya karena
setiap tahun tempat itu pasti akan didatangi jamaah haji dari seluruh penjuru
dunia.
“Darmo,” kata Kyai Ahmad
menghentikan lamunan orang yang ada di sebelahnya. “Kita sudah sampai di padang
Arafah. Insya Allah selanjutnya kita ke tenda, bersiap diri untuk wuquf esok
hari. Malam ini kita menginap di sini.”
“Nggih, Kyai. Kulo manut.” jawab
Darmo sambil menunduk.
Kyai Ahmad dan rombongan menempati
tenda di Maktab 31. Tendanya paling pinggir, berdekatan dengan jalan raya. Di
depannya, ada pohon yang lumayan besar. Sementara di belakang, berjajar
tenda-tenda lain dari jamaah asal Indonesia. Jamaah melaksanakan aktivitas
pribadi seperti zikir, membaca Al-Qur’an, dan berdoa. Ada yang buang hajat di
toilet. Untuk tujuan ini, jamaah harus rela mengantre bahkan hingga setengah
jam. Selain antrean yang panjang, setiap yang masuk ke toilet mesti
berhati-hati membuka dan mengenakan kembali kain ihram agar tidak terkena najis.
Kyai Ahmad memerintahkan agar setiap
jamaah bisa menyelesaikan bacaan Al-Qur’an paling sedikit satu juz. Tugas itu
harus diselesaikan hingga waktu menjelang zhuhur esok hari. Karena jika waktu
zhuhur sudah masuk, konsentrasi jamaah adalah melakukan wuquf. Pada saat
seperti itu, Kyai Ahmad ingin semua jamaah benar-benar menggunakan waktunya
untuk bermuhasabah.
Waktu menginjak senja, lalu memasuki
malam. Darmo tak bisa tidur. Ia masih merasakan keanehan. Bagaimana mungkin ia
bisa tersesat dan akhirnya menjadi satu rombongan dengan Kyai Ahmad.
Jangan-jangan dia memang linglung. Ingatannya seperti hilang. Ia mencoba
mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Apakah benar ia berangkat ke Tanah Suci?
Jika iya, berangkat dengan siapa? Bagaimana bisa sampai ke tempat yang mulia
itu? Semuanya ia pikir dan renungkan. Makin dipikir, makin bingung pula Darmo
ini.
Tengah malam, beberapa jamaah saling
membangunkan untuk shalat malam. Sebagian yang belum menyelesaikan tugas
tilawah Al-Qur’an, segera melanjutkan bacaannya. Tepat sebelum masuk waktu
shubuh, semua tugas telah dilaksanakan. Shalat berjamaah shubuh didirikan, dan
Kyai Ahmad menjadi imamnya.
Waktu beranjak siang. Matahari makin
terasa panas. Suhu udara meninggi. Untungnya di dalam tenda ada penyejuk udara
sehingga tinggal di dalamnya terasa lebih nyaman. Semua jamaah bersiap
melakukan prosesi wuquf. Inilah salah satu rukun haji yang tidak boleh
ditinggalkan. Seperti sabda Nabi SAW bahwa inti haji adalah wuquf di Arafah.
Kyai Ahmad memimpin shalat zhuhur
berjamaah yang dijamak dengan shalat ashar. Setelah berzikir sebentar, ia
memulai khutbah. Pesan taqwa menjadi pembuka khutbah. Kemudian, Kyai
mengingatkan agar manusia menghilangkan sifat sombong. Di tempat ini, segala
kelebihan manusia baik karena harta, kedudukan, maupun ilmu, dinihilkan. Yang
diagungkan hanyalah Allah. Setiap pribadi hendaknya melakukan muhasabah atau
perenungan mengenai segala kesalahan yang pernah dia perbuat di masa lalu.
Siapa yang berdoa di tempat dan waktu ini, doanya akan dikabulkan.
Darmo larut dalam kekuatan khutbah
Kyai Ahmad. Nada bicaranya masuk hingga relung hati. Kalimatnya mengaduk-aduk
emosi. Air mata Darmo meleleh mengingat segala kesalahan yang pernah ia
perbuat. Kepada orang tuanya, saudara, tetangga, dan sahabatnya. Apalagi kepada
istrinya. Kadang tanpa sengaja ia salah ucap lalu si istri tersinggung. Ingin
rasanya ia segera pulang lalu meminta maaf kepada mereka semua. Ia merasa
berada di titik nol. Segala kebaikan seperti sirna. Yang ada adalah kesadaran
bahwa ia banyak berbuat dosa.
Seusai khutbah wuquf, jamaah
disilakan untuk memanjatkan segala doanya sesuai dengan keinginannya. Tempatnya
bebas. Bisa di dalam tenda, di halaman tenda, atau di bawah pohon Soekarno
sekalipun. Semua area Arafah bisa digunakan untuk berkontemplasi. Yang penting
jangan keluar dari Nihayatul Arafah.
Darmo memilih tetap di dalam tenda.
Ia merasa belum paham betul kondisi sekeliling tenda. Matanya masih merah dan
sembab. Ingusnya mencair karena tangisan yang cukup lama. Ia menghela nafas
dalam-dalam. Karena kelelahan, Darmo tertidur hingga waktu menjelang petang.
Hari makin gelap. Kyai Ahmad
mengingatkan agar jamaah bersiap diri untuk melanjutkan perjalanan ke
Muzdalifah. Semua perlengkapan agar dikemas kembali dan dirapikan di dalam tas.
Kyai mengecek satu per satu jamaahnya. Sesuai dengan jumlah yang menjadi
tanggung jawabnya, ia yakin semuanya sudah lengkap.
Tiba-tiba Kyai Ahmad teringat Darmo.
Pria itu tidak lagi terlihat di dalam tenda. Jamaah yang lain keheranan. Mereka
tadi melihat Darmo tidur di pojok batas antara jamaah pria dan wanita. Tapi,
mengapa sekarang tidak ada? Semua orang dibuat kalang kabut. Setiap sudut
dicari, berharap ada Darmo di sana. Tapi, hasilnya nihil. Darmo tak ditemukan.
Kyai Ahmad melaporkan kejadian tersebut ke ketua kloter. Ketika dilihat di
daftar nama, ketua kloter justru kebingungan karena tidak ada nama Darmo di
sana. Loh, kok bisa?
Darmo benar-benar tertidur. Istriya
sejak habis isya tadi mencarinya. Ditanyakan ke pengurus masjid, tapi tidak ada
yang mengetahui keberadaan Darmo. Hingga menjelang jam empat pagi, seorang
pemuda yang sedang ronda menemukan Darmo membujur di pojok kandang kambing.
Pemuda itu melaporkan perihal Darmo ke Pak Makmur yang kebetulan sedang bersiap
adzan karena sebentar lagi waktu shubuh tiba.
Pak Makmur dan beberapa jamaah yang
telah berada di masjid bergegas menuju tempat yang ditunjuk si pemuda. Darmo
terkejut ketika banyak orang berkerumun membangunkan tidurnya. Ia merasa ada
yang aneh. Orang-orang yang ada di sekelilingnya berbeda dengan yang ia jumpai
di tenda Arafah. Wajah dan pakaiannya tidak sama. “Saya di mana, Pak Makmur?”
tanya Darmo kepada ketua masjid.
“Lho, kamu ini bagimana? Dari
kemarin disuruh mengurus warga yang mau setor hewan kurban kok malah tidur di
sini? Semalaman kami mencari kamu. Istrimu juga mencari ke mana-mana nggak
ketemu.” kata Pak Makmur geleng-geleng kepala.
“Astaghfirullah,” Darmo segera
bangkit dari pembaringan. Matanya menelisik ke semua arah. “Jadi saya bukan di
padang Arafah?”
“Hah? Padang Arafah?” Pak Makmur
heran mendengar kalimat dari Darmo. Pemuda yang tadi menjalankan ronda nyaris
tertawa.
“Maaf, Pak. Barusan saya melakukan
wuquf di Arafah bersama dengan Kyai Ahmad.”
“Kyai Ahmad imam masjid kita?” tanya
Pak Makmur.
“Iya, Pak. Mestinya saya lanjutkan
perjalanan ke Muzdalifah lalu ke Mina untuk melontar jumroh.” kali ini nada
bicara Darmo nampak serius. Semua orang jadi terpana. Bagaimana mungkin Darmo
bisa menyebut urutan kegiatan puncak haji padahal belum ia pernah ke sana.
Darmo nampak kecewa.
Pak Makmur tidak bisa menahan rasa
harunya. Dadanya bergemuruh, seperti genderang yang dipukul kencang. Ia sadar, mimpi
Darmo bukan sembarang mimpi. Berada di padang Arafah dalam rangkaian ibadah
haji adalah harapan setiap orang, termasuk dirinya yang hingga kini belum bisa
menunaikan ibadah haji. Dan waktu sejak isya tadi malam adalah waktu yang
bersamaan dengan jamaah haji bergerak dari Arafah ke Muzdalifah. Artinya, mimpi
itu benar-benar akurat.
Air mata Pak Makmur menetes. Kedua
tangannya membuka, lalu memeluk Darmo. Tangis Pak Makmur pecah, bersamaan
dengan tangis Darmo yang kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanannya ke
Muzdalifah dan Mina. Kedua orang itu menangis sesenggukan. Semua mata yang
menyaksikan ikut sembab. Langit pun menitikkan gerimis ringan. Subhanallah...
“Darmo,” kata Pak Makmur.
“Iya, Pak,” jawab Darmo masih sambil
menangis.
“Saya tahu, kamu jadi marbot masjid
sudah lama. Kamu juga sering melantunkan kalimat talbiyah. Mungkin batinmu
berkata bahwa kamu ingin sekali berhaji. Mimpimu insya Allah akan menjadi
kenyataan, Darmo. Saya yakin akan hal itu.” Pak Makmur mencoba menghibur rasa
kecewa Darmo, lalu melepas pelukan keduanya.
“Aamiin. Insya Allah, Pak. Doakan
agar saya benar-benar bisa berhaji.” kata Darmo sambil mengusap air mata.
Dari kampung sebelah, suara adzan
berkumandang. Pak Makmur mengajak semua yang ada di situ untuk bersegera ke
masjid untuk mendirikan shalat shubuh.
***
Tiga minggu berlalu dari waktu
penyembelihan hewan kurban. Orang-orang sudah kembali pada urusannya
masing-masing. Sementara Darmo tetap mengabdi menjadi marbot masjid.
Membersihkan ruang utama masjid, kamar mandi, dan tempat wudhu. Menurut
informasi dari pihak keluarga, tidak lama lagi Kyai Ahmad akan segera tiba di
Tanah Air.
Pada waktu yang ditentukan, datang
iringan kendaraan memasuki gerbang desa. Ada tiga mobil, salah satunya diisi
oleh Kyai Ahmad dan keluarga intinya. Para tokoh masyarakat dan pengurus masjid
berdiri memberikan penyambutan terbaik. Pintu mobil dibuka. Keluarga Kyai Ahmad
lebih dulu satu per satu menemui dan memeluk Kyai Haji Ahmad. Kegembiraan
menyelimuti mereka. Sapaan dan pelukan hangat diikuti oleh tokoh masyarakat dan
pengurus masjid.
Tanpa sengaja, Kyai Haji Ahmad
bertemu mata dengan Darmo. Dengan cepat Kyai Haji Ahmad mendekati Darmo.
Keduanya bersalaman. Darmo mencium tangan Kyai Haji Ahmad. Sang kyai berkata,
“Lho, Darmo, kamu kok sudah pulang? Kemarin habis wuquh di Arafah kamu pindah
ke tenda mana? Kami mencari kamu sampai pusing. Terpaksa kamu bapak laporkan ke
ketua kloter. Tapi, nama kamu tidak ada di daftar. Ya sudah, kami tetap
melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah dan Mina untuk menyelesaikan rukun haji
selanjutnya.”
Orang-orang kebingungan. Ternyata
mimpi Darmo benar. Jika bukan karena Kyai Haji Ahmad yang bercerita, mungkin
semua orang akan menganggap mimpi Darmo hanyalah khayalan. Atau halusinasi
orang yang kelelahan karena menjaga hewan kurban. Tapi, bagaimana mungkin mimpi
Darmo bisa menemukan kebenarannya melalui kesaksian Kyai Haji Ahmad?
Pak Makmur bertanya, “Maaf, Kyai.
Apa benar Kyai bertemu dengan Darmo di padang Arafah?”
“Iya benar. Untuk apa saya
berbohong? Cuma saya heran, dia berangkat di kloter berapa. Tiba-tiba kami
bertemu di Kota Mekah, lalu dia saya ajak bersama dengan rombongan saya. Dan ia
menghilang ketika prosesi wuquf hampir selesai.”
Tangis Darmo meledak. Ia memeluk
Kyai Haji Ahmad. Kepada orang yang dimuliakan itu, Darmo bercerita. “Maafkan
saya, Pak Kyai. Saya tertidur di pinggir kandang kambing saat diberi amanah
menjaga hewan kurban. Dan dalam tidur saya bermimpi bertemu Kyai. Tolong doakan
saya bisa berhaji, Kyai.” Darmo menangis seperti anak kecil kehilangan mainan.
Kyai Haji Ahmad seakan tak percaya.
Ia mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin kejadian yang benar-benar ia alami,
ternyata hanya mimpi buat Darmo. Pelan-pelan Kyai Haji Ahmad melepas pelukan
Darmo. Lalu, kepada orang-orang yang ada di situ ia menyeru, “Bapak-bapak,
ibu-ibu, yang saya muliakan. Ini sungguh kejadian yang luar biasa. Sungguh
karunia yang tidak disangka-sangka. Demi Allah, saya menyaksikan bahwa Darmo
ada di sana. Di padang Arafah.
“Namun, keberadaannya di sana hanya
untuk wuquf tentu belumlah sempurna untuk disebut menjalankan ibadah haji.
Untuk itu, saya meminta kesediaan dan kerelaan semua yang hadir di sini.
Sudilah kiranya membantu semampunya supaya Darmo yang sehari-hari membantu kita
di masjid bisa berhaji tahun depan. Tolong berikan sedekah semampunya, insya
Allah saya yang akan mengurus supaya mimpi Darmo bisa terwujud.”
Labbaik
Allahumma labbaik
Labbaika
laa syariika laka labbaik
Innal
hamda wanni’mata
Laka
wal mulk
Laa
syariikala
Padang, 31 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar