Selasa, 18 Agustus 2020

Sehari di Arafah

Darmo takjub sekaligus bingung. Pandangannya mengarah ke segala penjuru, menatap gedung-gedung bertingkat. Semuanya mewah dan berjajar. Setiap nama gedung ditulis dengan bahasa Arab yang ia sendiri tidak tahu bagaimana membacanya. Apalagi memahami artinya. Ia pernah melihat pemandangan serupa di Cisarua. Tapi ini berbeda. Tidak ada jalan raya menanjak seperti menuju arah Puncak.


Ia melihat semua kendaraan berhenti di sebelah kenan. Mobil pribadi, taksi, juga bus. Bahkan pintu keluar dan masuk penumpang bus juga berada di sebelah kanan. Orang-orang yang hendak masuk ke dalam bus semuanya berpakaian putih-putih. Mereka berdiri di tempat pemberhentian, lalu naik untuk menuju suatu tempat yang Darmo sendiri tak tahu ke mana.

Di antara orang-orang itu, Darmo berusaha mencari siapa saja yang ia kenal. Satu per satu wajahnya diamati, tapi tak satu pun yang ia ketahui. Malahan banyak orang asing berkulit putih, kuning, dan hitam. Ia tak mengerti di mana sesungguhnya berada. “Ya Allah, aku sedang berada di mana?” gumamnya dalam hati. Dalam kebingungannya, Darmo melihat seseorang berjalan menuju rombongan. Orang itu beserta dengan rombongan sepertinya hendak naik ke bus juga.

Darmo memperhatikan lelaki tersebut dengan serius. Wajahnya sepertinya tidak asing lagi, tapi penampilannya sedikit berbeda dengan biasanya. Sehari-hari lelaki itu berpeci hitam dan kadang berbaju safari, tapi kali ini pakaiannya serba putih. Kepalanya juga tak berpeci. Meskipun begitu, Darmo yakin benar bahwa ia kenal dengan lelaki itu. Ia segera menghampiri.

“Kyai Ahmad. Assalamu’alaikum!”

Lelaki yang disapa Darmo itu menoleh. Orang yang bernama Kyai Ahmad itu sesaat seperti kebingungan mengapa Darmo ada di situ. Ia tahu bahwa Darmo bukan rombongannya. Bahkan, kabar bahwa Darmo berangkat haji juga tidak pernah ia dengar sebelumnya. Tapi ia tak mau berburuk sangka. Jangan-jangan memang benar Darmo berangkat haji tapi beda kloter atau rombongan. “Wa’alaikumussalam. Darmo, kamu kok di sini? Kamu menginap di hotel mana?” tanya Kyai Ahmad.

“Hah? Hotel, Kyai? Saya juga bingung menginap di mana.” kata Darmo dengan wajah polos. Padahal pakaian yang ia dikenakan juga sama seperti Kyai Ahmad: kain ihram berwarna putih. Menandakan bahwa memang ia adalah jamaah calon haji seperti halnya Kyai Ahmad.

Melihat jawaban Darmo, Kyai Ahmad heran. “Loh, kamu ini bagaimana? Kamu kloter berapa? Rombongan berapa? Siapa karom (ketua rombongan)nya? Jangan sampai tertinggal rombongan loh. Lekas cari supaya karom tidak kebingungan.”

Mulut Darmo melongo. Ia juga heran mengapa berada di tempat itu. Ia justru berharap Kyai Ahmad bisa membantunya kembali ke tempatnya. Sejujurnya, tempat itu masih asing di mata Darmo. “Ngapunten, Kyai. Sebetulnya kita mau apa ya?”

Kyai Ahmad hampir meninggikan nada bicaranya. Tapi, ketika ingat hal-hal yang harus dijaga selama berhaji, ia urung memperturutkan emosi. Bibirnya mencoba tersenyum. “Astaghrifullah, Darmo. Kok kamu jadi kebingungan seperti itu? Kita ini sudah mau melaksanakan puncak haji. Semua jamaah akan berangkat ke Arafah untuk wuquf. Kamu bukannya bersama dengan rombongan kok malah datang ke sini?”

“Maafkan saya, Kyai. Kalau Kyai tidak keberatan, bolehkah saya ikut rombongan Kyai saja? Saya tidak sanggup lagi mencari rombongan saya.” Wajah Darmo terlihat memelas. Keringat mulai keluar dari sisi dahi, tapi kemudian menguap karena panas yang teramat sangat. Wajar, karena saat itu Darmo berada di luar hotel yang suhu udaranya di atas 45 derajat.

Kyai Ahmad mencoba bersikap bijak. Ia menata hati. Bukan apa-apa. Keputusannya menerima Darmo dalam rombongannya adalah tanggung jawab yang besar. Bisa jadi ia akan ditanya oleh ketua kloter atau karom lain tentang keberadaan Darmo. Ia bisa dituduh mengambil jamaah yang bukan dalam bimbingannya. Atau setidaknya, dianggap lalai melaporkan kejadian yang diketahuinya. Padahal posisinya sebagai karom. Tapi, ia tak tega membiarkan Darmo dalam kebingungan. Entah sedang kena penyakit apa, tiba-tiba Darmo jadi seperti orang linglung.

“Darmo,” kata Kyai Ahmad dengan nada pelan, “bapak mohon maaf. Bukan berarti bapak tidak mau menerima kamu. Tapi, kamu kan menjadi tanggung jawab ketua rombongan. Kalau kamu ikut bapak, bisa-bisa bapak disalahkan karena membawa serta kamu ke dalam rombongan tanpa koordinasi dengan ketua kloter atau karom lain. Bapak minta pengertian kamu ya?”

“Tapi, Kyai, saya benar-benar tidak punya jalan lain. Tolong saya, Kyai.” Darmo tetap memohon untuk dibantu Kyai Ahmad.

Kyai Ahmad menarik nafas panjang. Jamaah yang ia pimpin sudah seluruhnya masuk ke bus. Tinggal dirinya dan Darmo yang masih berdiri di luar bus. “Ya Syaikh, bi sur’ah!” terdengar teriakan sopir bus meminta Kyai Ahmad bersegera masuk ke bus. Ia berpikir sejenak bagaimana menyelamatkan Darmo tapi jamaahnya tetap tidak keberatan.

Kyai Ahmad masuk ke bus, tapi sebelum bus jalan ia minta waktu kepada pengemudi untuk berbicara sebentar kepada seluruh jamaah. Melalui pengeras suara yang disediakan bus, Kyai Ahmad menyampaikan permintaannya.

“Assalamu’alaikum warahmatullahu wabarakatuh. Dhuyufurrahman yang semoga dimuliakan oleh Allah. Insya Allah kita akan memulai sebuah perjalanan penting dan merupakan puncak dari rukun haji kita yaitu perjalanan di Armuzna. Terdiri dari wuquf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, kemudian mengakhiri kegiatan kita dengan melontar jumrah di Mina. Namun sebelum itu, saya mohon kesediaan dan kerelaan jamaah semuanya.

“Baru saja saya bertemu tetangga saya. Namanya Darmo. Beliau sepertinya dari rombongan lain, tapi kebingungan untuk mencari di mana rombongannya berada. Saya berinisiatif agar keadaan tidak makin kacau, biarlah Pak Darmo bersama-sama kita dalam satu rombongan. Apakah jamaah setuju?”

“Setuju, Kyai. Tidak apa-apa.” Pak Solihin yang duduk di barisan tengah dekat lorong memberikan jawabannya. Jamaah yang lain mengamininya.

Akhirnya, Darmo disilakan duduk di kursi depan. Persis di samping Kyai Ahmad. Bus melaju dengan kecepatan sedang: 80 kilometer per jam. Selama perjalanan, Darmo takjub bukan main. Jalan raya yang mulus seperti jalan tol. Di samping kanan dan kiri jalan yang ada hanya padang pasir dan batu-batu besar. Sesekali ia lihat unta sedang mencari makan. Jalan raya itu ramai dilalui bus-bus yang bergerak ke satu arah.

Rombongan yang berada di dalam bus melantunkan kalimat talbiyah. Labbaik Allaahumma labbaik. Darmo mengikutinya pelan. Bibirnya makin lama makin bergetar, seperti tak sanggup lagi berkata apa-apa. Ia menitikkan air mata. Dari hati yang paling dalam, Darmo mengakui bahwa kalimat talbiyah itulah yang selalu membuatnya rindu untuk bisa melaksanakan ibadah haji.

Dulu, dalam setiap kegiatan pelepasan jamaah calon haji, Darmo selalu mendapatkan bagian melantunkan kalimat adzan sebagai tanda bahwa jamaah akan segera berangkat meninggalkan tempat tinggalnya. Setelahnya, ia diminta mengumandangkan kalimat talbiyah. Suaranya dikenal sangat merdu. Membuat orang yang mendengarnya menitikkan air mata, sama seperti yang dialami Darmo di dalam bus saat ini. Ia tidak pernah menduga bahwa kalimat itu benar-benar ia ucapkan bersama-sama dengan jamaah lain di bawah pimpinan Kyai Ahmad, kyai sepuh di kampungnya.

Perjalanan dari Kota Mekah menuju Arafah ditempuh hanya dalam waktu tiga jam. Bus kini telah memasuki Nihayatul Arafah atau Batas Arafah. Jantung Darmo makin berdetak kencang. Belum pernah ia bayangkan sebelumnya akan memasuki padang luas bernama Arafah. Tanahnya luas penuh pasir. Sebagian dibangun jalan beraspal yang menghubungkan satu sektor dengan sektor lainnya. Di beberapa bagian nampak pepohonan kecil dan besar. Sejarah menamainya dengan pohon Soekarno.

Di samping kiri bus berdiri tenda-tenda yang dibangun secara semipermanen. Tenda-tenda itu nampak berwibawa karena selalu dijaga dan dirawat. Pemerintah Arab Saudi memeliharanya karena setiap tahun tempat itu pasti akan didatangi jamaah haji dari seluruh penjuru dunia.

“Darmo,” kata Kyai Ahmad menghentikan lamunan orang yang ada di sebelahnya. “Kita sudah sampai di padang Arafah. Insya Allah selanjutnya kita ke tenda, bersiap diri untuk wuquf esok hari. Malam ini kita menginap di sini.”

“Nggih, Kyai. Kulo manut.” jawab Darmo sambil menunduk.

Kyai Ahmad dan rombongan menempati tenda di Maktab 31. Tendanya paling pinggir, berdekatan dengan jalan raya. Di depannya, ada pohon yang lumayan besar. Sementara di belakang, berjajar tenda-tenda lain dari jamaah asal Indonesia. Jamaah melaksanakan aktivitas pribadi seperti zikir, membaca Al-Qur’an, dan berdoa. Ada yang buang hajat di toilet. Untuk tujuan ini, jamaah harus rela mengantre bahkan hingga setengah jam. Selain antrean yang panjang, setiap yang masuk ke toilet mesti berhati-hati membuka dan mengenakan kembali kain ihram agar tidak terkena najis.

Kyai Ahmad memerintahkan agar setiap jamaah bisa menyelesaikan bacaan Al-Qur’an paling sedikit satu juz. Tugas itu harus diselesaikan hingga waktu menjelang zhuhur esok hari. Karena jika waktu zhuhur sudah masuk, konsentrasi jamaah adalah melakukan wuquf. Pada saat seperti itu, Kyai Ahmad ingin semua jamaah benar-benar menggunakan waktunya untuk bermuhasabah.

Waktu menginjak senja, lalu memasuki malam. Darmo tak bisa tidur. Ia masih merasakan keanehan. Bagaimana mungkin ia bisa tersesat dan akhirnya menjadi satu rombongan dengan Kyai Ahmad. Jangan-jangan dia memang linglung. Ingatannya seperti hilang. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Apakah benar ia berangkat ke Tanah Suci? Jika iya, berangkat dengan siapa? Bagaimana bisa sampai ke tempat yang mulia itu? Semuanya ia pikir dan renungkan. Makin dipikir, makin bingung pula Darmo ini.

Tengah malam, beberapa jamaah saling membangunkan untuk shalat malam. Sebagian yang belum menyelesaikan tugas tilawah Al-Qur’an, segera melanjutkan bacaannya. Tepat sebelum masuk waktu shubuh, semua tugas telah dilaksanakan. Shalat berjamaah shubuh didirikan, dan Kyai Ahmad menjadi imamnya.

Waktu beranjak siang. Matahari makin terasa panas. Suhu udara meninggi. Untungnya di dalam tenda ada penyejuk udara sehingga tinggal di dalamnya terasa lebih nyaman. Semua jamaah bersiap melakukan prosesi wuquf. Inilah salah satu rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan. Seperti sabda Nabi SAW bahwa inti haji adalah wuquf di Arafah.

Kyai Ahmad memimpin shalat zhuhur berjamaah yang dijamak dengan shalat ashar. Setelah berzikir sebentar, ia memulai khutbah. Pesan taqwa menjadi pembuka khutbah. Kemudian, Kyai mengingatkan agar manusia menghilangkan sifat sombong. Di tempat ini, segala kelebihan manusia baik karena harta, kedudukan, maupun ilmu, dinihilkan. Yang diagungkan hanyalah Allah. Setiap pribadi hendaknya melakukan muhasabah atau perenungan mengenai segala kesalahan yang pernah dia perbuat di masa lalu. Siapa yang berdoa di tempat dan waktu ini, doanya akan dikabulkan.

Darmo larut dalam kekuatan khutbah Kyai Ahmad. Nada bicaranya masuk hingga relung hati. Kalimatnya mengaduk-aduk emosi. Air mata Darmo meleleh mengingat segala kesalahan yang pernah ia perbuat. Kepada orang tuanya, saudara, tetangga, dan sahabatnya. Apalagi kepada istrinya. Kadang tanpa sengaja ia salah ucap lalu si istri tersinggung. Ingin rasanya ia segera pulang lalu meminta maaf kepada mereka semua. Ia merasa berada di titik nol. Segala kebaikan seperti sirna. Yang ada adalah kesadaran bahwa ia banyak berbuat dosa.

Seusai khutbah wuquf, jamaah disilakan untuk memanjatkan segala doanya sesuai dengan keinginannya. Tempatnya bebas. Bisa di dalam tenda, di halaman tenda, atau di bawah pohon Soekarno sekalipun. Semua area Arafah bisa digunakan untuk berkontemplasi. Yang penting jangan keluar dari Nihayatul Arafah­.

Darmo memilih tetap di dalam tenda. Ia merasa belum paham betul kondisi sekeliling tenda. Matanya masih merah dan sembab. Ingusnya mencair karena tangisan yang cukup lama. Ia menghela nafas dalam-dalam. Karena kelelahan, Darmo tertidur hingga waktu menjelang petang.

Hari makin gelap. Kyai Ahmad mengingatkan agar jamaah bersiap diri untuk melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah. Semua perlengkapan agar dikemas kembali dan dirapikan di dalam tas. Kyai mengecek satu per satu jamaahnya. Sesuai dengan jumlah yang menjadi tanggung jawabnya, ia yakin semuanya sudah lengkap.

Tiba-tiba Kyai Ahmad teringat Darmo. Pria itu tidak lagi terlihat di dalam tenda. Jamaah yang lain keheranan. Mereka tadi melihat Darmo tidur di pojok batas antara jamaah pria dan wanita. Tapi, mengapa sekarang tidak ada? Semua orang dibuat kalang kabut. Setiap sudut dicari, berharap ada Darmo di sana. Tapi, hasilnya nihil. Darmo tak ditemukan. Kyai Ahmad melaporkan kejadian tersebut ke ketua kloter. Ketika dilihat di daftar nama, ketua kloter justru kebingungan karena tidak ada nama Darmo di sana. Loh, kok bisa?

Darmo benar-benar tertidur. Istriya sejak habis isya tadi mencarinya. Ditanyakan ke pengurus masjid, tapi tidak ada yang mengetahui keberadaan Darmo. Hingga menjelang jam empat pagi, seorang pemuda yang sedang ronda menemukan Darmo membujur di pojok kandang kambing. Pemuda itu melaporkan perihal Darmo ke Pak Makmur yang kebetulan sedang bersiap adzan karena sebentar lagi waktu shubuh tiba.

Pak Makmur dan beberapa jamaah yang telah berada di masjid bergegas menuju tempat yang ditunjuk si pemuda. Darmo terkejut ketika banyak orang berkerumun membangunkan tidurnya. Ia merasa ada yang aneh. Orang-orang yang ada di sekelilingnya berbeda dengan yang ia jumpai di tenda Arafah. Wajah dan pakaiannya tidak sama. “Saya di mana, Pak Makmur?” tanya Darmo kepada ketua masjid.

“Lho, kamu ini bagimana? Dari kemarin disuruh mengurus warga yang mau setor hewan kurban kok malah tidur di sini? Semalaman kami mencari kamu. Istrimu juga mencari ke mana-mana nggak ketemu.” kata Pak Makmur geleng-geleng kepala.

“Astaghfirullah,” Darmo segera bangkit dari pembaringan. Matanya menelisik ke semua arah. “Jadi saya bukan di padang Arafah?”

“Hah? Padang Arafah?” Pak Makmur heran mendengar kalimat dari Darmo. Pemuda yang tadi menjalankan ronda nyaris tertawa.

“Maaf, Pak. Barusan saya melakukan wuquf di Arafah bersama dengan Kyai Ahmad.”

“Kyai Ahmad imam masjid kita?” tanya Pak Makmur.

“Iya, Pak. Mestinya saya lanjutkan perjalanan ke Muzdalifah lalu ke Mina untuk melontar jumroh.” kali ini nada bicara Darmo nampak serius. Semua orang jadi terpana. Bagaimana mungkin Darmo bisa menyebut urutan kegiatan puncak haji padahal belum ia pernah ke sana. Darmo nampak kecewa.

Pak Makmur tidak bisa menahan rasa harunya. Dadanya bergemuruh, seperti genderang yang dipukul kencang. Ia sadar, mimpi Darmo bukan sembarang mimpi. Berada di padang Arafah dalam rangkaian ibadah haji adalah harapan setiap orang, termasuk dirinya yang hingga kini belum bisa menunaikan ibadah haji. Dan waktu sejak isya tadi malam adalah waktu yang bersamaan dengan jamaah haji bergerak dari Arafah ke Muzdalifah. Artinya, mimpi itu benar-benar akurat.

Air mata Pak Makmur menetes. Kedua tangannya membuka, lalu memeluk Darmo. Tangis Pak Makmur pecah, bersamaan dengan tangis Darmo yang kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanannya ke Muzdalifah dan Mina. Kedua orang itu menangis sesenggukan. Semua mata yang menyaksikan ikut sembab. Langit pun menitikkan gerimis ringan. Subhanallah...

“Darmo,” kata Pak Makmur.

“Iya, Pak,” jawab Darmo masih sambil menangis.

“Saya tahu, kamu jadi marbot masjid sudah lama. Kamu juga sering melantunkan kalimat talbiyah. Mungkin batinmu berkata bahwa kamu ingin sekali berhaji. Mimpimu insya Allah akan menjadi kenyataan, Darmo. Saya yakin akan hal itu.” Pak Makmur mencoba menghibur rasa kecewa Darmo, lalu melepas pelukan keduanya.

“Aamiin. Insya Allah, Pak. Doakan agar saya benar-benar bisa berhaji.” kata Darmo sambil mengusap air mata.

Dari kampung sebelah, suara adzan berkumandang. Pak Makmur mengajak semua yang ada di situ untuk bersegera ke masjid untuk mendirikan shalat shubuh.

***

Tiga minggu berlalu dari waktu penyembelihan hewan kurban. Orang-orang sudah kembali pada urusannya masing-masing. Sementara Darmo tetap mengabdi menjadi marbot masjid. Membersihkan ruang utama masjid, kamar mandi, dan tempat wudhu. Menurut informasi dari pihak keluarga, tidak lama lagi Kyai Ahmad akan segera tiba di Tanah Air.

Pada waktu yang ditentukan, datang iringan kendaraan memasuki gerbang desa. Ada tiga mobil, salah satunya diisi oleh Kyai Ahmad dan keluarga intinya. Para tokoh masyarakat dan pengurus masjid berdiri memberikan penyambutan terbaik. Pintu mobil dibuka. Keluarga Kyai Ahmad lebih dulu satu per satu menemui dan memeluk Kyai Haji Ahmad. Kegembiraan menyelimuti mereka. Sapaan dan pelukan hangat diikuti oleh tokoh masyarakat dan pengurus masjid.

Tanpa sengaja, Kyai Haji Ahmad bertemu mata dengan Darmo. Dengan cepat Kyai Haji Ahmad mendekati Darmo. Keduanya bersalaman. Darmo mencium tangan Kyai Haji Ahmad. Sang kyai berkata, “Lho, Darmo, kamu kok sudah pulang? Kemarin habis wuquh di Arafah kamu pindah ke tenda mana? Kami mencari kamu sampai pusing. Terpaksa kamu bapak laporkan ke ketua kloter. Tapi, nama kamu tidak ada di daftar. Ya sudah, kami tetap melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah dan Mina untuk menyelesaikan rukun haji selanjutnya.”

Orang-orang kebingungan. Ternyata mimpi Darmo benar. Jika bukan karena Kyai Haji Ahmad yang bercerita, mungkin semua orang akan menganggap mimpi Darmo hanyalah khayalan. Atau halusinasi orang yang kelelahan karena menjaga hewan kurban. Tapi, bagaimana mungkin mimpi Darmo bisa menemukan kebenarannya melalui kesaksian Kyai Haji Ahmad?

Pak Makmur bertanya, “Maaf, Kyai. Apa benar Kyai bertemu dengan Darmo di padang Arafah?”

“Iya benar. Untuk apa saya berbohong? Cuma saya heran, dia berangkat di kloter berapa. Tiba-tiba kami bertemu di Kota Mekah, lalu dia saya ajak bersama dengan rombongan saya. Dan ia menghilang ketika prosesi wuquf hampir selesai.”

Tangis Darmo meledak. Ia memeluk Kyai Haji Ahmad. Kepada orang yang dimuliakan itu, Darmo bercerita. “Maafkan saya, Pak Kyai. Saya tertidur di pinggir kandang kambing saat diberi amanah menjaga hewan kurban. Dan dalam tidur saya bermimpi bertemu Kyai. Tolong doakan saya bisa berhaji, Kyai.” Darmo menangis seperti anak kecil kehilangan mainan.

Kyai Haji Ahmad seakan tak percaya. Ia mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin kejadian yang benar-benar ia alami, ternyata hanya mimpi buat Darmo. Pelan-pelan Kyai Haji Ahmad melepas pelukan Darmo. Lalu, kepada orang-orang yang ada di situ ia menyeru, “Bapak-bapak, ibu-ibu, yang saya muliakan. Ini sungguh kejadian yang luar biasa. Sungguh karunia yang tidak disangka-sangka. Demi Allah, saya menyaksikan bahwa Darmo ada di sana. Di padang Arafah.

“Namun, keberadaannya di sana hanya untuk wuquf tentu belumlah sempurna untuk disebut menjalankan ibadah haji. Untuk itu, saya meminta kesediaan dan kerelaan semua yang hadir di sini. Sudilah kiranya membantu semampunya supaya Darmo yang sehari-hari membantu kita di masjid bisa berhaji tahun depan. Tolong berikan sedekah semampunya, insya Allah saya yang akan mengurus supaya mimpi Darmo bisa terwujud.”

Labbaik Allahumma labbaik
Labbaika laa syariika laka labbaik
Innal hamda wanni’mata
Laka wal mulk
Laa syariikala

Padang, 31 Juli 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar