Oleh: Abdul Hofir, Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak
Dimuat di situs www.pajak.go.id
Kebijakan fiskal dalam masa pandemi
Covid-19 diarahkan utamanya pada dua hal. Pertama,
dukungan fiskal untuk upaya penanganan dan pencegahan penyebaran pandemi. Kedua, dukungan terhadap upaya pemulihan
dunia usaha. Kebijakan pertama diatur melalui Peraturan Menkeu (PMK) nomor
28/PMK.03/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang
Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19. Beberapa jenis barang di
antaranya obat-obatan, vaksin, peralatan laboratorium, pendeteksi, pelindung diri,
dan peralatan pendukung lainnya; serta jasa seperti jasa konstruksi,
konsultasi, teknik, dan manajemen; mendapatkan fasilitas pembebasan pajak baik
PPh maupun PPN.
Ketentuan lain yang terkait adalah
PMK nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai
serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19.
Melalui ketentuan ini, impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19
diberikan fasilitas bebas bea masuk dan/atau cukai, PPN/PPnBM tidak dipungut,
dan pembebasan PPh Pasal 22.
Sementara itu, untuk memberikan
dukungan pemulihan ekonomi khususnya bagi dunia usaha, telah terbit PMK nomor
86/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi
Covid-19, menggantikan ketentuan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 44/PMK.03/2020. Melalui aturan ini, pemerintah memberikan fasilitas untuk
usaha yang terdampak Covid-19 berupa PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh
final terkait penghasilan UMKM ditanggung pemerintah, PPh Pasal 22 impor
dibebaskan, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, serta pengembalian pendahuluan
dalam rangka restitusi bagi pengusaha berisiko rendah dengan nilai restitusi
paling banyak Rp5 miliar.
Fasilitas yang berlaku hingga
Desember 2020 ini diharapkan mampu mengurangi dampak pandemi Covid-19 dan di
sisi lain memulihkan perekonomian. Strategi memperbesar belanja pemerintah
seperti ini sudah lazim dilakukan di banyak negara dalam kondisi perekonomian
yang lesu, terlebih pada masa bencana nonalam yang luar biasa seperti Covid-19
ini. Pemerintah pun untuk sementara waktu harus merelakan sebagian potensi
penerimaan pajaknya berkurang atau hilang.
Secara teori, pendapatan seseorang
selain untuk konsumsi juga dapat digunakan untuk investasi, tabungan, dan
membayar pajak. Stimulus dari pemerintah baik stimulus pajak maupun jaring
pengaman sosial mestinya akan membuat daya beli masyarakat makin meningkat.
Dengan demikian, sedikit demi sedikit bisnis akan terpulihkan. Masyarakat pada
waktunya akan membutuhkan barang dan jasa dalam jumlah yang terus meningkat dan
seterusnya sektor produksi mulai bergerak menghasilkan barang kebutuhan
masyarakat.
Pemerintah sering menggunakan sistem
pajak untuk tujuan politik ekonomi tertentu, seperti mendorong tabungan, merangsang
kerja, dan melindungi industri nasional. Sistem perpajakan berperan seperti
belanja publik, terdapat beberapa pengecualian dalam membayar pajak.
Pengecualian-pengecualian inilah yang disebut dengan tax expenditure (Syadullah, 2016).
Belanja perpajakan (tax expenditure) diartikan sebagai
penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat
adanya suatu ketentuan khusus yang berbeda dari ketentuan perpajakan pada
umumnya atau benchmark tax system
yang ditujukan kepada sebagian subjek dan objek pajak dengan syarat tertentu
untuk mendukung perekonomian. Bentuk-bentuk ketentuan khusus tersebut antara
lain pajak tidak terutang, pajak dibebaskan, pajak tidak dipungut, tarif pajak
0 (nol) persen, pengurangan basis pajak, pengurangan tarif pajak, kredit pajak,
pajak ditanggung pemerintah, serta pengurangan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Selama ini kita terlalu fokus pada
realisasi penerimaan pajak dalam APBN tanpa melihat bahwa ada sisi lain yaitu
belanja perpajakan yang hakikatnya merupakan penerimaan pajak yang hilang
akibat kebijakan pemerintah. Belanja perpajakan penting untuk diidentifikasi
dan diestimasi, karena potensi hilangnya pendapatan negara akibat suatu
kebijakan khusus di bidang perpajakan tentu dapat memengaruhi kondisi keuangan
negara yang selanjutnya berimbas pada kemampuan negara membiayai pembangunan.
Selain itu, informasi mengenai belanja pajak dapat digunakan untuk mengevaluasi
dampak atau menganalisis biaya dan manfaat dari suatu kebijakan insentif
perpajakan.
Tujuan pemberian belanja perpajakan
adalah pertama, menjaga produktivitas
dan daya saing dunia bisnis. Kedua,
meningkatkan iklim investasi sebagai upaya menarik minat investor baru baik
dalam maupun luar negeri untuk melakukan penanaman modal di Indonesia. Ketiga, mengembangkan UMKM, dan keempat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercermin antara lain dalam bentuk
pengecualian barang dan jasa kena pajak seperti bahan kebutuhan pokok, jasa
angkutan umum, serta jasa pendidikan dan kesehatan, yang bertujuan untuk
menjaga daya beli masyarakat.
Belanja perpajakan tahun 2018
diestimasikan mencapai Rp221,1 triliun, atau 1,49 persen dari Produk Domestik
Bruto (PDB). Jumlah ini meningkat sebesar 12,35 persen dari tahun-tahun
sebelumnya dengan besaran nilai belanja perpajakan untuk tahun 2017 dan 2016
masing-masing adalah Rp196,8 triliun, atau sekitar 1,45 persen dari PDB untuk
tahun 2017, dan Rp192,6 triliun, atau sekitar 1,55 persen dari PDB untuk tahun
2016 (Laporan Belanja Perpajakan 2018, Kemenkeu RI).
Berdasarkan jenis pajak, belanja
perpajakan yang terbesar adalah PPN dan PPnBM yang mencapai lebih dari 60
persen dari total estimasi. Jumlah tersebut berasal dari pengecualian atas
kewajiban pengusaha kecil untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (syarat menjadi
pemungut PPN) serta pengecualian pengenaan PPN atas bahan kebutuhan pokok dan
beberapa jenis jasa seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial
keagamaan, dan jasa keuangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4A UU PPN 1984.
Sementara berdasarkan sektor
penerima, sektor yang paling banyak menerima fasilitas perpajakan adalah sektor
manufaktur dengan nilai belanja perpajakan sebesar Rp39,2 triliun. Hal ini
sejalan dengan tujuan pemerintah mendorong peningkatan kontribusi sektor
tersebut dalam perekonomian. Nilai estimasi belanja perpajakan terbesar
berikutnya adalah di sektor jasa keuangan sebesar Rp30,8 triliun, jasa
transportasi sebesar Rp24,3 triliun, perdagangan sebesar Rp24,3 triliun, serta
sektor pertanian dan perikanan sebesar Rp22,6 triliun. Dunia usaha dari
kalangan UMKM menikmati fasilitas perpajakan sebesar Rp62,7 triliun
sedangkan non-UMKM sebesar Rp57,5
triliun. Sementara itu, rumah tangga menikmati fasilitas perpajakan sebesar
Rp100,9 triliun.
Berdasarkan fungsi belanja
pemerintah, 59,5 persen dari estimasi belanja perpajakan tahun 2018 merupakan
belanja fungsi ekonomi. Perhatian berikutnya adalah terhadap fungsi pelayanan
umum dan fungsi perlindungan sosial dengan porsi 14,1 persen dan 10,2 persen.
Di dalam fungsi pelayanan umum, nilai belanja perpajakan sebagian besar
disumbang oleh fasilitas pembebasan PPN atas listrik di bawah 6600 VA dan juga
PPN tidak terutang atas jasa angkutan umum. Sedangkan pada fungsi perlindungan
sosial, sebagian besar disumbang oleh PPN tidak terutang atas barang kebutuhan
pokok.
Pemulihan
Ekonomi Nasional
Pada bagian awal tulisan dibahas
bahwa stimulus pemerintah diperlukan untuk memulihkan dampak Covid-19 khususnya
yang menimpa dunia usaha. Oleh karena itu, fasilitas ini harus dihitung sebagai
unsur belanja pajak dalam tahun 2020. Melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF),
Kementerian Keuangan melakukan penghitungan besarnya belanja pajak dan
melaporkannya dalam laporan yang terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), tetapi ringkasan isinya disampaikan sebagai informasi tambahan
pada Nota Keuangan serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan
Fiskal (KEM-PPKF).
Untuk diketahui bahwa hingga saat
ini, pemerintah telah menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) sebanyak dua
kali. Laporan pertama diterbitkan tahun 2018 untuk melaporkan belanja
perpajakan selama tahun 2016-2017 dan laporan kedua terbit tahun 2019 untuk
melaporkan belanja perpajakan tahun 2018.
Di tengah pandemi Covid-19, belanja
perpajakan sangat berkaitan dengan upaya untuk memulihkan ekonomi nasional.
Melalui PP nomor 23 tahun 2020, pemerintah melaksanakan program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN) melalui empat langkah. Pertama, Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN dan/atau melalui
BUMN yang ditunjuk dengan tujuan memperbaiki struktur permodalan dampak
Covid-19 dan meningkatan kapasitas BUMN untuk melaksanakan penugasan khusus.
Kedua, penempatan dana untuk memberikan
dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan
dan/atau memberrkan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja. Ketiga, investasi
pemerintah dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna
memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Keempat,
penjaminan baik langsung oleh pemerintah maupun melalui badan usaha penjaminan
seperti PT Jamkrindo dan PT Askrindo. Selain itu, pemerintah juga melakukan
kebijakan belanja negara seperti pemberian subsidi bunga kepada debitur
perbankan (UMKM), perusahaan pembiayaan, dan lembaga penyalur program kredit
Pemerintah.
Khusus mengenai perpajakan, insentif
diberikan kepada dunia usaha dengan total insentif Rp63,01 triliun yang terdiri
dari PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah Rp25,66 triliun, PPh final UMKM
ditanggung pemerintah Rp2,4 triliun, pembebasan PPh Pasal 22 impor Rp14,75
triliun, pengurangan angsuran PPh Pasal 25 Rp14,4 trilun, dan pengembalian
pendahuluan (restitusi) PPN Rp5,8 triliun (sumber: BKF Kemenkeu).
Kita sangat berharap bahwa program
PEN dapat berjalan baik, karena sebenarnya program PEN adalah bagian dari upaya
pemerintah memulihkan ekonomi masyarakat diawali dengan peningkatan daya beli
terhadap barang dan jasa. Langkah ini menjadi titik tolak kebangkitan dunia
usaha seiring dengan meningkatnya permintaan barang produksi. Jika ini
berlanjut, tidak mustahil dunia usaha akan semakin bergairah dan pada akhirnya
penerimaan pajak akan kembali memenuhi pundi-pundi ABPN.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap
tempat penulis bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar