Selasa, 18 Agustus 2020

Mata Pancing Zul

Zul menatap joran dengan pandangan kosong. Ujungnya bergerak pelan, tapi bukan karena umpan dimakan ikan. Gerakannya lebih disebabkan arus air muara yang bergerak menuju laut. Sementara dari arah berlawanan, arus air laut bergerak ke muara. Sudah lima belas menit sejak kail dilempar, tak satu pun ikan yang menyambarnya. Nelangsamya bertambah melihat seorang pemancing lain di samping kirinya strike berkali-kali. Padahal mereka melempar kail di waktu yang hampir bersamaan, tapi nasib baik belum berpihak kepadanya. Zul pasrah. Ia berharap keajaiban datang. Sambil tetap berharap, ia melantunkan shalawat Nabi. Lirih sekali. Lama-lama ia melamun.


Deru pesawat dari arah selatan terdengar cukup keras. Membuyarkan lamunan Zul. Suara mesin yang menempel pada sayapnya semakin jelas. Seperti petir yang bergulung-gulung. Atau seperti suara ombak besar. Pesawat itu melintas pada ketinggian 50 meter tepat di atas kepala Zul. Lalu mendarat di bandara dekat dengan tempat Zul memancing ikan.

Tiba-tiba kenur mengencang. Berkontraksi. Joran terlihat bergetar. Zul mengira itu tarikan ikan. Ternyata bukan. Setelah kenur digulung, yang nampak di ujungnya hanya sampah daun berwarna kuning. Ia makin kecewa. Dipikir-pikir keras, kira-kira kesalahan apa yang ia lakukan. Apakah ia salah memilih umpan?

Zul mengaktifkan memorinya. Pagi-pagi sekali, ia sudah memarkir sepeda motor di halaman pasar Nanggalo. Ia bertanya kepada juru parkir di mana lokasi penjualan ikan segar. Setelah mendapatkan arahan, Zul segera menuju area pedagang ikan. Dicarinya beberapa ekor udang dan belut. Ia mencari umpan itu karena umpan cacing yang selama ini biasa digunakan belum ia dapat sejak kemarin siang. Padahal itu umpan favorit dan sangat disukai ikan di muara. Penyebabnya, Pak Pur yang biasanya membantu mencarikan cacing enggan untuk turut serta memancing hari ini.

Menurut teori yang Zul pelajari, umpan udang atau belut cukup manjur untuk memancing di muara. Itu sebabnya ia sangat optimis mendapatkan tangkapan ikan yang banyak hari ini. Sepanjang perjalanan mengendarai sepeda motor, ia sudah membayangkan kailnya tersangkut ikan berukuran besar. Paling tidak seukuran ikan bandeng.

Rupanya, bayangannya tidak seindah kenyataan. Pemancing di sebelah kirinya sudah strike lebih dari delapan kali. Tapi tidak bagi Zul. Jangankan strike, umpannya seperti tak dijamah ikan sama sekali. Tidak ada lagi tanda-tanda getaran di ujung joran yang ia sandarkan pada patahan ranting. Benar-benar sial, batin Zul. Panas matahari yang terasa membakar kulit makin membuat Zul masygul.

Memancing ikan di muara atau laut sudah menjadi kegemaran Zul dalam dua bulan terakhir. Demi mengisi kekosongan waktu di akhir pekan, ia menghabiskan harinya dengan memancing ikan di muara kawasan Pantai Pasir Jambak. Dekat dengan bandara Minangkabau. Hampir setiap hari Minggu muara ini didatangi banyak orang untuk memancing. Mereka berbagi ‘wilayah’ dengan para pencari pasir yang kian kemari melintas menggunakan perahu kecil. Suara mesin perahu bersahutan dengan deru ombak dari beberapa penjuru.

Kadangkala ada perahu mengangkut anak-anak yang ingin bermain atau mandi di muara. Jujur, kehadiran perahu dan anak-anak ini seringkali mengganggu para pemancing karena menyebabkan ikan lari dari tempat biasanya bersemayam. Kalau sudah seperti ini, memancing menjadi sia-sia. Tapi, tak satu pun orang berani mencegahnya. Paling-paling para pemancing itu berpindah tempat sambil pasang muka masam. Sedangkan, pemilik perahu dan anak-anak tak peduli.

Biasanya Zul memancing tak sendirian. Seringkali Pak Pur yang menemaninya. Selain bisa dimintai tolong mencarikan cacing tanah, keahlian memancing Pak Pur tak diragukan. Malahan Zul banyak belajar cara memancing yang baik dan benar (seperti ejaan saja) dari Pak Pur. Mulai dari cara membuat simpul benang untuk mengikat kail, pemberat, kili-kili, atau peniti, meletakkan umpan di kail agar menarik ikan, sampai bagaimana cara melempar umpan.

Tapi, hari ini Pak Pur enggan mengikuti jejak Zul. Dia beralasan bahwa tidak cukup waktu untuk mencari cacing. Sementara umpan yang lain tak ia sukai. Maka, kemalangan yang dialami Zul ia jatuhkan sebab-musababnya pada Pak Pur. Zul jadi ingin memarahi Pak Pur. Gara-gara dia, memancing hari ini jadi tak menyenangkan. Bedebah!

Padahal, dua pekan sebelumnya Zul dan Pak Pur serta beberapa orang koleganya sudah memancing di laut. Hasil tangkapannya lumayan banyak. Ada ikan kerapu, ikan bojor, ikan garon, blue fish, hingga ikan luthok. Mereka melaut menggunakan kapal hingga ke area berkedalaman 30 meter. Ikan-ikan itu kemudian dimasak oleh istri Pak Pur menjadi lauk gulai ikan dan ikan goreng balado. Benar-benar masakan yang sangat lezat dan disukai Zul.

Siapa yang mencarikan umpan untuk melaut kala itu? Lagi-lagi, Pak Pur. Jadi, sebetulnya tidak beralasan jika Zul benci pada Pak Pur hanya karena hari ini dia tidak turut serta memancing. Jasa Pak Pur kepada Zul sangat banyak. Mungkin nasib baik sedang tidak berpihak kepadanya. Namanya juga memancing di alam terbuka. Kadang dapat banyak, kadang sedikit. Beda dengan memancing di kolam ikan campur restoran, seperti yang dulu sering dilakukan oleh Zul bersama keluarganya.

Zul menggulung benang pancingnya ke reel. Sudah waktunya umpan diganti dengan yang lebih segar. Seekor belut hidup dipegang lalu dipotong bagian lehernya. Darah segar mengalir, membasahi jari-jari tangan Zul. Bagian belut yang berdaging diambil lalu dipotong kecil-kecil. Sebelum itu, daging dipisahkan lebih dulu dari tulangnya. Hasil irisan daging belut disangkutkan ke kail, menggantikan umpan udang sebelumnya yang warnanya makin memerah.

Pekerjaan mengganti umpan dilakukan Zul setiap 15 menit jika tidak ada tanda-tanda ikan tersangkut pada kail. Ia makin merasa bosan. Berkali-kali umpan diganti dengan yang lebih segar, tapi tak satu pun ikan didapat. Mengapa keampuhan umpan udang dan belut tidak seperti teori yang selama ini dipelajari? Menurut beberapa tulisan yang sempat ia baca, umpan yang menarik ikan di muara di antaranya adalah udang dan belut. Selain itu, ada anak ikan nila atau ikan belanak. Lagi-lagi ia teringat Pak Pur. Seandainya laki-laki itu ada di sini. Ah, sudahlah...

Tak terasa, sudah dua jam Zul berada di tempat itu. Tenggorokannya terasa haus. Perutnya mulai lapar. Ditengoknya arloji, jarum sudah menunjuk ke pukul dua belas. Tiba-tiba Zul teringat sesuatu. Ada bekal makanan kecil yang dibawa Zul sebagai santapan selama memancing. Ia membawa kue serabi, gethuk, dan godok pisang (khas Padang). Juga sebotol air minum kemasan ukuran besar.

Sebelum membuka makanan, Zul melihat ke sekitar. Tak ada orang lain yang makan ataupun minum di situ. Sudahlah, soal makan dan minum biar menjadi urusan masing-masing. Sebungkus kue serabi beserta kuah manis ia buka. Aromanya menusuk hidung, membuatnya ingin segera menyantapnya. “Bismillah,” bisiknya pelan sambil memotong kue serabi menjadi bagian kecil-kecil, mencampurnya dengan kuah manis, lalu memakannya. Lezat sekali rasanya.

Zul begitu menikmati setiap suap kue serabi yang ia makan. Pandangannya beralih ke pemancing di sebelah kirinya yang lagi-lagi strike. Tapi, kali ini ia tak lagi peduli. Ia hanya berpikir bagaimana perutnya segera terisi. Pun, makanan yang ia santap sungguh enak. Sementara di ujung sana, berdekatan dengan pantai, pemancing lain mendapatkan ikan lumayan besar. Zul sudah tidak lagi berharap. Ia pasrah. Mungkin ini bukan hari keberuntungannya. Ia mengimani takdir dari Tuhan.

Deru pesawat lagi-lagi terdengar makin keras. Dari arah selatan, Lion Air melintas. Tepat di atas kepala Zul. Suara mesinnya memekakkan telinga. Matanya terus memperhatikan arah pesawat hingga benda itu benar-benar tak terlihat, tenggelam di pohon kelapa yang berbatasan dengan bandara. Sementara tangannya tetap mengambil potongan kue serabi. Sesuap demi sesuap. Setelah merasa cukup, ia meneguk air minum kemasan. Lega.

Zul teringat pada pancing yang ia letakkan pada sebatang ranting. Pancing itu menghilang. Ia melihat sekeliling, jangan-jangan ia salah meletakkan pancing. Tapi ke mana? Di sekelilingnya, tak ada seorang pun yang mengingatkannya jika memang pancing itu hilang atau dicuri.

Seketika, ia melihat benda panjang mengapung di atas muara. Bergerak makin ke tengah, menuju lokasi yang cukup dalam. Dari warnanya, ia yakin itu pancing miliknya. Jangan-jangan seekor ikan besar tertancap di kail lalu menariknya hingga pancingnya ikut terbawa. Zul berdiri, ingin mengumpat. Tapi, tiba-tiba langit jadi gelap. Kepala dan badannya terasa panas. Keringat menetes. Ia tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Orang-orang di sekitarnya terus asyik dengan pancingnya masing-masing.

Ombak di pantai Pasir Jambak bergerak makin kencang. Sementara perahu-perahu kecil terus melaju mengantarkan pemiliknya mencari tumpukan pasir. Perahu itu bergerak ke arah dalam, membelah muara. Ikan-ikan yang kelaparan makin ganas memangsa umpan, membuat joran-joran bergerak kian kencang. Para pemancing kegirangan. Tapi, Zul tetap diam dan terpejam.


Padang, 22 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar