Zul menatap joran dengan pandangan
kosong. Ujungnya bergerak pelan, tapi bukan karena umpan dimakan ikan.
Gerakannya lebih disebabkan arus air muara yang bergerak menuju laut. Sementara
dari arah berlawanan, arus air laut bergerak ke muara. Sudah lima belas menit
sejak kail dilempar, tak satu pun ikan yang menyambarnya. Nelangsamya bertambah
melihat seorang pemancing lain di samping kirinya strike berkali-kali. Padahal mereka melempar kail di waktu yang
hampir bersamaan, tapi nasib baik belum berpihak kepadanya. Zul pasrah. Ia
berharap keajaiban datang. Sambil tetap berharap, ia melantunkan shalawat Nabi.
Lirih sekali. Lama-lama ia melamun.
Deru pesawat dari arah selatan
terdengar cukup keras. Membuyarkan lamunan Zul. Suara mesin yang menempel pada
sayapnya semakin jelas. Seperti petir yang bergulung-gulung. Atau seperti suara
ombak besar. Pesawat itu melintas pada ketinggian 50 meter tepat di atas kepala
Zul. Lalu mendarat di bandara dekat dengan tempat Zul memancing ikan.
Tiba-tiba kenur mengencang. Berkontraksi.
Joran terlihat bergetar. Zul mengira itu tarikan ikan. Ternyata bukan. Setelah
kenur digulung, yang nampak di ujungnya hanya sampah daun berwarna kuning. Ia
makin kecewa. Dipikir-pikir keras, kira-kira kesalahan apa yang ia lakukan.
Apakah ia salah memilih umpan?
Zul mengaktifkan memorinya.
Pagi-pagi sekali, ia sudah memarkir sepeda motor di halaman pasar Nanggalo. Ia
bertanya kepada juru parkir di mana lokasi penjualan ikan segar. Setelah
mendapatkan arahan, Zul segera menuju area pedagang ikan. Dicarinya beberapa
ekor udang dan belut. Ia mencari umpan itu karena umpan cacing yang selama ini
biasa digunakan belum ia dapat sejak kemarin siang. Padahal itu umpan favorit
dan sangat disukai ikan di muara. Penyebabnya, Pak Pur yang biasanya membantu mencarikan
cacing enggan untuk turut serta memancing hari ini.
Menurut teori yang Zul pelajari,
umpan udang atau belut cukup manjur untuk memancing di muara. Itu sebabnya ia
sangat optimis mendapatkan tangkapan ikan yang banyak hari ini. Sepanjang
perjalanan mengendarai sepeda motor, ia sudah membayangkan kailnya tersangkut
ikan berukuran besar. Paling tidak seukuran ikan bandeng.
Rupanya, bayangannya tidak seindah
kenyataan. Pemancing di sebelah kirinya sudah strike lebih dari delapan kali. Tapi tidak bagi Zul. Jangankan strike, umpannya seperti tak dijamah
ikan sama sekali. Tidak ada lagi tanda-tanda getaran di ujung joran yang ia
sandarkan pada patahan ranting. Benar-benar sial, batin Zul. Panas matahari
yang terasa membakar kulit makin membuat Zul masygul.
Memancing ikan di muara atau laut
sudah menjadi kegemaran Zul dalam dua bulan terakhir. Demi mengisi kekosongan
waktu di akhir pekan, ia menghabiskan harinya dengan memancing ikan di muara
kawasan Pantai Pasir Jambak. Dekat dengan bandara Minangkabau. Hampir setiap
hari Minggu muara ini didatangi banyak orang untuk memancing. Mereka berbagi
‘wilayah’ dengan para pencari pasir yang kian kemari melintas menggunakan
perahu kecil. Suara mesin perahu bersahutan dengan deru ombak dari beberapa
penjuru.
Kadangkala ada perahu mengangkut
anak-anak yang ingin bermain atau mandi di muara. Jujur, kehadiran perahu dan
anak-anak ini seringkali mengganggu para pemancing karena menyebabkan ikan lari
dari tempat biasanya bersemayam. Kalau sudah seperti ini, memancing menjadi
sia-sia. Tapi, tak satu pun orang berani mencegahnya. Paling-paling para
pemancing itu berpindah tempat sambil pasang muka masam. Sedangkan, pemilik
perahu dan anak-anak tak peduli.
Biasanya Zul memancing tak
sendirian. Seringkali Pak Pur yang menemaninya. Selain bisa dimintai tolong
mencarikan cacing tanah, keahlian memancing Pak Pur tak diragukan. Malahan Zul
banyak belajar cara memancing yang baik dan benar (seperti ejaan saja) dari Pak
Pur. Mulai dari cara membuat simpul benang untuk mengikat kail, pemberat,
kili-kili, atau peniti, meletakkan umpan di kail agar menarik ikan, sampai
bagaimana cara melempar umpan.
Tapi, hari ini Pak Pur enggan
mengikuti jejak Zul. Dia beralasan bahwa tidak cukup waktu untuk mencari
cacing. Sementara umpan yang lain tak ia sukai. Maka, kemalangan yang dialami
Zul ia jatuhkan sebab-musababnya pada Pak Pur. Zul jadi ingin memarahi Pak Pur.
Gara-gara dia, memancing hari ini jadi tak menyenangkan. Bedebah!
Padahal, dua pekan sebelumnya Zul
dan Pak Pur serta beberapa orang koleganya sudah memancing di laut. Hasil
tangkapannya lumayan banyak. Ada ikan kerapu, ikan bojor, ikan garon, blue
fish, hingga ikan luthok. Mereka melaut menggunakan kapal hingga ke area
berkedalaman 30 meter. Ikan-ikan itu kemudian dimasak oleh istri Pak Pur
menjadi lauk gulai ikan dan ikan goreng balado. Benar-benar masakan yang sangat
lezat dan disukai Zul.
Siapa yang mencarikan umpan untuk
melaut kala itu? Lagi-lagi, Pak Pur. Jadi, sebetulnya tidak beralasan jika Zul
benci pada Pak Pur hanya karena hari ini dia tidak turut serta memancing. Jasa
Pak Pur kepada Zul sangat banyak. Mungkin nasib baik sedang tidak berpihak
kepadanya. Namanya juga memancing di alam terbuka. Kadang dapat banyak, kadang
sedikit. Beda dengan memancing di kolam ikan campur restoran, seperti yang dulu
sering dilakukan oleh Zul bersama keluarganya.
Zul menggulung benang pancingnya ke
reel. Sudah waktunya umpan diganti dengan yang lebih segar. Seekor belut hidup
dipegang lalu dipotong bagian lehernya. Darah segar mengalir, membasahi
jari-jari tangan Zul. Bagian belut yang berdaging diambil lalu dipotong
kecil-kecil. Sebelum itu, daging dipisahkan lebih dulu dari tulangnya. Hasil
irisan daging belut disangkutkan ke kail, menggantikan umpan udang sebelumnya
yang warnanya makin memerah.
Pekerjaan mengganti umpan dilakukan
Zul setiap 15 menit jika tidak ada tanda-tanda ikan tersangkut pada kail. Ia
makin merasa bosan. Berkali-kali umpan diganti dengan yang lebih segar, tapi
tak satu pun ikan didapat. Mengapa keampuhan umpan udang dan belut tidak
seperti teori yang selama ini dipelajari? Menurut beberapa tulisan yang sempat
ia baca, umpan yang menarik ikan di muara di antaranya adalah udang dan belut.
Selain itu, ada anak ikan nila atau ikan belanak. Lagi-lagi ia teringat Pak
Pur. Seandainya laki-laki itu ada di sini. Ah, sudahlah...
Tak terasa, sudah dua jam Zul berada
di tempat itu. Tenggorokannya terasa haus. Perutnya mulai lapar. Ditengoknya
arloji, jarum sudah menunjuk ke pukul dua belas. Tiba-tiba Zul teringat
sesuatu. Ada bekal makanan kecil yang dibawa Zul sebagai santapan selama memancing.
Ia membawa kue serabi, gethuk, dan godok pisang (khas Padang). Juga sebotol air
minum kemasan ukuran besar.
Sebelum membuka makanan, Zul melihat
ke sekitar. Tak ada orang lain yang makan ataupun minum di situ. Sudahlah, soal
makan dan minum biar menjadi urusan masing-masing. Sebungkus kue serabi beserta
kuah manis ia buka. Aromanya menusuk hidung, membuatnya ingin segera
menyantapnya. “Bismillah,” bisiknya pelan sambil memotong kue serabi menjadi
bagian kecil-kecil, mencampurnya dengan kuah manis, lalu memakannya. Lezat
sekali rasanya.
Zul begitu menikmati setiap suap kue
serabi yang ia makan. Pandangannya beralih ke pemancing di sebelah kirinya yang
lagi-lagi strike. Tapi, kali ini ia tak lagi peduli. Ia hanya berpikir
bagaimana perutnya segera terisi. Pun, makanan yang ia santap sungguh enak.
Sementara di ujung sana, berdekatan dengan pantai, pemancing lain mendapatkan
ikan lumayan besar. Zul sudah tidak lagi berharap. Ia pasrah. Mungkin ini bukan
hari keberuntungannya. Ia mengimani takdir dari Tuhan.
Deru pesawat lagi-lagi terdengar
makin keras. Dari arah selatan, Lion Air melintas. Tepat di atas kepala Zul.
Suara mesinnya memekakkan telinga. Matanya terus memperhatikan arah pesawat
hingga benda itu benar-benar tak terlihat, tenggelam di pohon kelapa yang
berbatasan dengan bandara. Sementara tangannya tetap mengambil potongan kue
serabi. Sesuap demi sesuap. Setelah merasa cukup, ia meneguk air minum kemasan.
Lega.
Zul teringat pada pancing yang ia
letakkan pada sebatang ranting. Pancing itu menghilang. Ia melihat sekeliling,
jangan-jangan ia salah meletakkan pancing. Tapi ke mana? Di sekelilingnya, tak
ada seorang pun yang mengingatkannya jika memang pancing itu hilang atau
dicuri.
Seketika, ia melihat benda panjang
mengapung di atas muara. Bergerak makin ke tengah, menuju lokasi yang cukup
dalam. Dari warnanya, ia yakin itu pancing miliknya. Jangan-jangan seekor ikan
besar tertancap di kail lalu menariknya hingga pancingnya ikut terbawa. Zul
berdiri, ingin mengumpat. Tapi, tiba-tiba langit jadi gelap. Kepala dan
badannya terasa panas. Keringat menetes. Ia tidak tahu apa yang terjadi
kemudian. Orang-orang di sekitarnya terus asyik dengan pancingnya
masing-masing.
Ombak di pantai Pasir Jambak
bergerak makin kencang. Sementara perahu-perahu kecil terus melaju mengantarkan
pemiliknya mencari tumpukan pasir. Perahu itu bergerak ke arah dalam, membelah
muara. Ikan-ikan yang kelaparan makin ganas memangsa umpan, membuat joran-joran
bergerak kian kencang. Para pemancing kegirangan. Tapi, Zul tetap diam dan
terpejam.
Padang, 22 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar