Hampir jam sebelas malam. Sur
menerawang. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar yang beberapa
bagiannya sudah mulai menguning, lapuk dimakan usia. Ada bekas bocoran air di
sana. Namun, jika diperhatikan dengan saksama, pikiran Sur sebenarnya jauh
melampaui batasan langit-langit yang ia pandang dengan matanya. Batinnya
merintih, tanpa tahu harus disampaikan kepada siapa. Bait syair lagu yang ia
dengar merasuk ke dalam kalbu, membuatnya merenung. Melalui Layang Kangen, Didi Kempot bertutur:
Umpomo
tanganku dadi suwiwi
Iki
ugo aku mesti enggal bali
Ning
kepiye maneh mergo kahananku
Cah
ayu entenono tekanku
Artinya:
Seumpama tanganku menjadi sayap
Sekarang juga aku pasti lekas pulang
Tapi bagaimana lagi karena keadaanku
Wanita cantik tunggulah kedatanganku
Sudah tiga bulan Sur tak bisa pulang
ke kediamannya di Kedung Jenar. Pandemi corona virus disease melanda hampir ke seluruh negeri. Bepergian ke mana pun
selalu penuh risiko. Ini bukan soal tidak percaya kekuasaan Tuhan. Juga bukan
tidak yakin pada takdir. Bagi Sur, usaha menghindari risiko yang lebih besar
adalah cara mencapai takdir terbaik. Bukankah takdir adalah pilihan terbaik
dari Tuhan untuk umat manusia? Jadi, tak ada alasan hanya menyandarkan diri
pada takdir tanpa usaha. Demikian pula, tidak ada ruang untuk merasa kebal diri
dari segala penyakit yang karenanya secara sembrono melakukan perjalanan jarak
jauh, bolak-balik.
Virus itu makhluk yang teramat
kecil. Konon, hanya alat canggih yang bisa melihatnya dengan perbesaran ribuan
kali. Tidak pernah ada yang tahu apakah dalam tubuh kita terdapat virus
berbahaya atau tidak. Maka, pilihan terbaik adalah bertahan hingga waktu yang
dinyatakan aman, setidaknya menurut pemerintah dan anjuran para pemuka agama.
Gara-gara wabah ini, kota jadi sepi.
Tak ada lalu-lalang manusia seperti hari-hari biasanya. Semua pekerjaan
dilakukan di rumah. Bekerja, bersekolah, rapat, diskusi, memesan makanan.
Akibatnya, perekonomian terganggu. Nyaris tidak ada transaksi jual-beli. Semua
orang khawatir terhadap penularan virus yang konon telah memakan korban ribuan
orang meninggal dunia. Sungguh memilukan. Kejadian demi kejadian menjadikan Sur
insyaf untuk lebih waspada dan mawas diri agar tidak terjangkiti virus
mematikan itu.
Namun, Sur tetaplah manusia yang
mempunyai naluri dan kebutuhan. Ia sangat rindu pada istri dan anak-anaknya.
Hampir setiap hari ia menghubungi mereka dengan sarana video call, tapi yang ia dapat hanyalah kekecewaan. Anak-anaknya
hampir tak lagi percaya kepadanya. Berapa kali ia berjanji akan segera pulang,
tapi beberapa kali pula ia tak kunjung tiba. Kata si bungsu, “Ah, jawabannya
sama saja.”
Lagu terus mengalun. Menemukan
bagian akhirnya, lalu kembali berulang dari awal. Air mata Sur menetes,
bersamaan dengan mengalirnya bait syair:
Trenyuh
ati iki moco tulisanmu
Ora
kroso netes eluh neng pipiku
Artinya:
Sedih hati ini membaca tulisanmu
Tak terasa menetes air mata di
pipiku
Melalui lagu, orang bisa menyatakan
kegembiraan, benci, rindu, cinta, juga derita. Entah mengapa, campursari yang
ia dengar biasanya hanya menjadi hiburan sambil lalu. Tapi, kali ini bait-bait
syairnya sangat menyentuh Sur. Mungkin karena perasaannya sedang peka. Atau
karena dia sedang kecewa karena kebijakan pimpinannya yang melarang karyawan
hilir-mudik ke kampung halaman. Sementara, kerinduannya kian hari kian
memuncak.
Bisa juga perasaannya yang lebih
peka dari hari-hari biasanya disebabkan memang pas weton atau hari lahir Sur.
Iya, oleh orang tuanya, Sur diberi tahu bahwa ia lahir di hari Kamis Wage.
Persis dengan hari ini. Menurut orang tua, biasanya kalau jatuh weton, tabiat seseorang jadi berbeda.
Peka, mudah marah, tersinggung, hari-harinya seperti tak lagi menyenangkan.
Meskipun pengalaman setiap orang tentu berbeda.
Malam semakin larut. Kantuk datang
tanpa dapat dicegah. Seperti rasa rindu Sur kepada anak-istrinya di Kedung
Jenar. Pelan-pelan kedua matanya terkatup, lalu terdengar suara mendengkur dan
mendesis bergantian. Seperti truk bermuatan berat yang melalui jalan menanjak.
Hhrrrrrr...!
Di sampingnya, Layang Kangen terus
mengalun dari mesin pemutar lagu. Membelah keheningan malam. Menggantung tinggi
di langit kota Padang yang gelap. Mengantarkan gelombangnya hingga ke Kedung
Jenar. Di sana, keluarga Sur tinggal. Ada Ratri dan ketiga anak-anaknya: Maya,
Sari, dan Randu.
Di saat yang bersamaan, Ratri juga
tak dapat tidur. Bayangan Sur selalu hadir di pelupuk mata. Biasanya, setiap
akhir pekan suaminya selalu datang menemani dirinya dan juga anak-anak. Pergi
ke pemancingan, naik perahu karet, berenang, atau setidaknya bersepeda keliling
desa. Malam itu, aroma kerinduan dirasakan Ratri. Ia meraih gawai, lalu
mengirimkan pesan kepada Sur.
“Sayang, sedang apa?”
Pesan itu terbang di angkasa,
melayang-layang melalui gelombang. Dipantulkan oleh menara-menara dengan
kecepatan luar biasa. Lalu hinggap di gawai milik Sur. Ting! Sebuah pesan teks
masuk. Tapi, suaranya kalah dengan dengkuran Sur. Sebuah dengkuran kerinduan
kepada Ratri dan anak-anaknya. Pesan itu belum dibaca.
Ratri menunggu lama. Berharap pesan
pendeknya dibalas oleh Sur. Sayangnya, si penerima pesan sudah tak
memedulikannya. Bukan karena acuh, tapi karena telah terlelap dalam mimpi
indah. Ratri kecewa. Tombol panggilan telepon hendak ditekan, tapi kemudian
niat itu ia urungkan. Jangan-jangan Sur sudah beristirahat, pikir Ratri.
***
Bacaan murotal Al-Qur’an jelas
sekali terdengar. Setiap hari, marbot masjid selalu memutar bacaan Al-Qur’an
setengah jam sebelum masuk waktu adzan. Mata Sur terbuka, tangan kanannya
meraih gawai. Sinar layarnya terlihat menyilaukan karena lampu kamar masih
gelap, membuat Sur harus memicingkan matanya agar huruf dan angka pada gawai
terlihat jelas. Jam setengah lima pagi.
Setelah bersih-bersih dan berwudhu,
Sur mendirikan shalat dua rakaat dan mengakhirinya dengan shalat witir tiga
rakaat. Adzan shubuh berkumandang. Waktunya Sur keluar rumah untuk shalat
berjamaah dengan warga lain di sekitar rumahnya.
Usai shalat berjamaah, Sur kembali
ke kamarnya. Menyalakan lampu lalu meraih gawai. Rupanya ia baru sadar kalau
Ratri berkirim pesan tadi malam. Layar gawai menunjukkan bahwa pesan itu
terkirim ‘kemarin’ pukul 23.55. Berarti saat Sur tertidur. Ia membuka pesan
dari istrinya. Sebuah pesan kerinduan, “Sayang, sedang apa?”
Sur menyesal tidak segera membaca
dan membalas pesan itu segera. Saat ia terbangun, perhatiannya tertuju pada
waktu yang ditunjukkan oleh layar saja. Jari-jarinya hendak menekan tombol
panggilan, tapi urung dilakukan. Ia masih ingat bagaimana reaksi Sari, anak
keduanya, manakala mengetahui bahwa dirinya tetap belum pulang ke rumah. Ia
takut membuat anaknya kecewa. Memorinya kembali kepada keindahan bersama dengan
putra-putrinya di Kedung Jenar. Bibirnya bergetar, lalu air matanya kembali
menetes.
***
Pukul sembilan pagi. Sur kaget
ketika seberkas sinar menembus kaca jendela, tepat mengenai mukanya. Ia lekas
bangun dari tempat tidur. Ia beristighfar. Rupanya ia tertidur selepas membaca
pesan Ratri tadi. Padahal ia punya janji dengan Zul untuk bersama-sama mengisi
hari ini dengan memancing di muara.
Tangan Sur meraih gawai, lalu
mencari nomor kontak Zul. Melalui sambungan telepon, Sur tahu bahwa Zul sudah
lebih dulu sampai di muara dekat bandara Minangkabau, bersama dengan Pak Purno.
Zul meminta Sur segera menyusulnya karena hari sudah beranjak siang. Panas
matahari kian menyengat.
Selang satu jam kemudian, Sur sudah
memarkir sepeda motornya di tepi muara. Tempat itu adalah lokasi biasanya Sur
dan Zul memancing ikan. Pak Purnolah yang pertama memberi tahu lokasi tersebut.
Banyaknya pemancing yang berada di sana terutama pada akhir pekan menunjukkan
bahwa memang tempat itu cocok untuk mencari ikan. Setidaknya, itu menurut
keterangan Pak Purno.
Sur mencari keberadaan Zul. Matanya
menatap ke segala penjuru hingga akhirnya ia melihat sosok yang mirip Zul
dilihat dari warna jaket, penutup kepala, dan cara berdirinya. Sur mendekati
sosok itu dan ternyata memang benar kalau itu adalah Zul yang sedang istirahat
menikmati kue serabi yang dibawa dari rumah sebagai bekal selama memancing.
Kira-kira dua puluh meter di sebelah kiri Zul, ada Pak Purno yang tengah
menunggu pancingnya ditarik ikan.
Sur melihat Zul berjongkok, menatap
joran dengan pandangan kosong. Ujung benda itu bergerak berkedut-kedut seperti
mendapatkan tarikan ikan. Ternyata bukan. Gerakannya lebih disebabkan arus air
muara yang bergerak menuju laut. Deru pesawat dari arah selatan terdengar cukup
keras. Membuyarkan lamunan Zul. Suara mesin yang menempel pada sayapnya semakin
jelas. Seperti petir yang bergulung-gulung. Atau seperti suara ombak besar.
Pesawat itu melintas pada ketinggian lima puluh meter tepat di atas kepala Zul.
Lalu mendarat di bandara dekat dengan tempat Zul memancing ikan.
Melihat kedatangan Sur, wajah Zul
sumringah. Seperti mendapatkan suntikan semangat untuk memancing kembali. Sudah
lebih dari satu jam memancing, Zul belum mendapatkan satu ikan sekali pun.
Sementara Pak Purno yang sebetulnya hanya menemani Zul, sudah mendapatkan empat
ekor ikan. “Yang sabar, Zul. Namanya juga memancing. Kita dilatih kesabaran.”
“Iya, Sur. Aku tahu. Ayuk kita mancing lagi.”
Belum selesai percakapan antara Sur
dan Zul, pancing milik Zul yang diletakkan di atas ranting tiba-tiba bergerak
ke tengah muara. Seperti ada yang menariknya. “Hai Zul, pancingnya terbawa
ikan!” kata Sur setengah berteriak. Malang tak dapat ditolak. Usaha Zul untuk
meraih pancing sia-sia. Benda itu makin kencang bergerak ke tengah muara.
Menuju tempat yang cukup dalam. Zul pasrah. Mulutnya mengumpat pelan. Sejurus
kemudian, pandangannya makin kabur dan sekelilingnya menjadi gelap. Ia jatuh di
tepi muara.
Sur dan Pak Purno panik melihat Zul
terjatuh. Pria itu diangkat dan dibaringkan pada posisi rata, lalu dicek nadi
dan nafasnya. Beberapa pemancing lain berkerumun. Ada yang memberikan
pertolongan pertama, menggerak-gerakkan badannya, mendekatkan jari tangan ke
hidung, atau membukakan kelopak mata. Tapi sepertinya semua sia-sia. Melihat
tanda-tandanya, seorang pemancing mengatakan, “Inna lillah wa inna ilaihi
roji’un...!”
Sur tak percaya dengan apa yang ia
saksikan. Di hadapannya, sahabat dekatnya telah tiada. Pergi untuk
selama-lamanya. Justru di saat semestinya mereka bersenang-senang bersama.
Menikmati akhir pekan sesuai rencana. Saat itu pula, ingatannya tertuju pada
Ratri, istrinya di Kedung Jenar. Juga kepada anak-anaknya: Maya, Sari, dan
Randu. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya, Zul, tapi juga sangat rindu kepada
keluarganya. Dalam hati, ia melantunkan senandung:
Ra
maido sopo sing ora trenyuh
Ra
kepethuk sak untoro pengin weruh
Percoyo
aku kuatno atimu
Cah
ayu entenono tekanku
Artinya:
Tak bisa disalahkan, siapa yang
tidak trenyuh
Tak (bisa) bertemu sementara ingin
bisa melihat
Percayalah kepadaku kuatkan hatimu
Wanita cantik tunggulah kedatanganku
Ombak bergulung menepi menuju garis
panti. Suaranya memecah duka lara Sur yang kehilangan sahabatnya. Sementara
perahu kecil pembawa muatan pasir masih lalu-lalang membelah luasnya muara.
Mereka bergerak ke arah sungai lalu menepi untuk menurunkan gundukan pasir.
Dari arah selatan, sebuah pesawat terbang dalam posisi akan mendarat. Menatap
benda itu, Sur jadi ingin segera pulang ke Kedung Jenar. Wajah Ratri, Maya,
Sari, dan Randu kembali hadir. Seolah-olah memanggil dan memintanya pulang.
Entah kapan Sur bisa memenuhi permintaan itu.
Padang, 26 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar