Selasa, 18 Agustus 2020

Kangen

Hampir jam sebelas malam. Sur menerawang. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar yang beberapa bagiannya sudah mulai menguning, lapuk dimakan usia. Ada bekas bocoran air di sana. Namun, jika diperhatikan dengan saksama, pikiran Sur sebenarnya jauh melampaui batasan langit-langit yang ia pandang dengan matanya. Batinnya merintih, tanpa tahu harus disampaikan kepada siapa. Bait syair lagu yang ia dengar merasuk ke dalam kalbu, membuatnya merenung. Melalui Layang Kangen, Didi Kempot bertutur:


Umpomo tanganku dadi suwiwi
Iki ugo aku mesti enggal bali
Ning kepiye maneh mergo kahananku
Cah ayu entenono tekanku

Artinya:
Seumpama tanganku menjadi sayap
Sekarang juga aku pasti lekas pulang
Tapi bagaimana lagi karena keadaanku
Wanita cantik tunggulah kedatanganku

Sudah tiga bulan Sur tak bisa pulang ke kediamannya di Kedung Jenar. Pandemi corona virus disease melanda hampir ke seluruh negeri. Bepergian ke mana pun selalu penuh risiko. Ini bukan soal tidak percaya kekuasaan Tuhan. Juga bukan tidak yakin pada takdir. Bagi Sur, usaha menghindari risiko yang lebih besar adalah cara mencapai takdir terbaik. Bukankah takdir adalah pilihan terbaik dari Tuhan untuk umat manusia? Jadi, tak ada alasan hanya menyandarkan diri pada takdir tanpa usaha. Demikian pula, tidak ada ruang untuk merasa kebal diri dari segala penyakit yang karenanya secara sembrono melakukan perjalanan jarak jauh, bolak-balik.

Virus itu makhluk yang teramat kecil. Konon, hanya alat canggih yang bisa melihatnya dengan perbesaran ribuan kali. Tidak pernah ada yang tahu apakah dalam tubuh kita terdapat virus berbahaya atau tidak. Maka, pilihan terbaik adalah bertahan hingga waktu yang dinyatakan aman, setidaknya menurut pemerintah dan anjuran para pemuka agama.

Gara-gara wabah ini, kota jadi sepi. Tak ada lalu-lalang manusia seperti hari-hari biasanya. Semua pekerjaan dilakukan di rumah. Bekerja, bersekolah, rapat, diskusi, memesan makanan. Akibatnya, perekonomian terganggu. Nyaris tidak ada transaksi jual-beli. Semua orang khawatir terhadap penularan virus yang konon telah memakan korban ribuan orang meninggal dunia. Sungguh memilukan. Kejadian demi kejadian menjadikan Sur insyaf untuk lebih waspada dan mawas diri agar tidak terjangkiti virus mematikan itu.

Namun, Sur tetaplah manusia yang mempunyai naluri dan kebutuhan. Ia sangat rindu pada istri dan anak-anaknya. Hampir setiap hari ia menghubungi mereka dengan sarana video call, tapi yang ia dapat hanyalah kekecewaan. Anak-anaknya hampir tak lagi percaya kepadanya. Berapa kali ia berjanji akan segera pulang, tapi beberapa kali pula ia tak kunjung tiba. Kata si bungsu, “Ah, jawabannya sama saja.”

Lagu terus mengalun. Menemukan bagian akhirnya, lalu kembali berulang dari awal. Air mata Sur menetes, bersamaan dengan mengalirnya bait syair:

Trenyuh ati iki moco tulisanmu
Ora kroso netes eluh neng pipiku

Artinya:

Sedih hati ini membaca tulisanmu
Tak terasa menetes air mata di pipiku

Melalui lagu, orang bisa menyatakan kegembiraan, benci, rindu, cinta, juga derita. Entah mengapa, campursari yang ia dengar biasanya hanya menjadi hiburan sambil lalu. Tapi, kali ini bait-bait syairnya sangat menyentuh Sur. Mungkin karena perasaannya sedang peka. Atau karena dia sedang kecewa karena kebijakan pimpinannya yang melarang karyawan hilir-mudik ke kampung halaman. Sementara, kerinduannya kian hari kian memuncak.

Bisa juga perasaannya yang lebih peka dari hari-hari biasanya disebabkan memang pas weton atau hari lahir Sur. Iya, oleh orang tuanya, Sur diberi tahu bahwa ia lahir di hari Kamis Wage. Persis dengan hari ini. Menurut orang tua, biasanya kalau jatuh weton, tabiat seseorang jadi berbeda. Peka, mudah marah, tersinggung, hari-harinya seperti tak lagi menyenangkan. Meskipun pengalaman setiap orang tentu berbeda.

Malam semakin larut. Kantuk datang tanpa dapat dicegah. Seperti rasa rindu Sur kepada anak-istrinya di Kedung Jenar. Pelan-pelan kedua matanya terkatup, lalu terdengar suara mendengkur dan mendesis bergantian. Seperti truk bermuatan berat yang melalui jalan menanjak. Hhrrrrrr...!

Di sampingnya, Layang Kangen terus mengalun dari mesin pemutar lagu. Membelah keheningan malam. Menggantung tinggi di langit kota Padang yang gelap. Mengantarkan gelombangnya hingga ke Kedung Jenar. Di sana, keluarga Sur tinggal. Ada Ratri dan ketiga anak-anaknya: Maya, Sari, dan Randu.

Di saat yang bersamaan, Ratri juga tak dapat tidur. Bayangan Sur selalu hadir di pelupuk mata. Biasanya, setiap akhir pekan suaminya selalu datang menemani dirinya dan juga anak-anak. Pergi ke pemancingan, naik perahu karet, berenang, atau setidaknya bersepeda keliling desa. Malam itu, aroma kerinduan dirasakan Ratri. Ia meraih gawai, lalu mengirimkan pesan kepada Sur.

“Sayang, sedang apa?”

Pesan itu terbang di angkasa, melayang-layang melalui gelombang. Dipantulkan oleh menara-menara dengan kecepatan luar biasa. Lalu hinggap di gawai milik Sur. Ting! Sebuah pesan teks masuk. Tapi, suaranya kalah dengan dengkuran Sur. Sebuah dengkuran kerinduan kepada Ratri dan anak-anaknya. Pesan itu belum dibaca.

Ratri menunggu lama. Berharap pesan pendeknya dibalas oleh Sur. Sayangnya, si penerima pesan sudah tak memedulikannya. Bukan karena acuh, tapi karena telah terlelap dalam mimpi indah. Ratri kecewa. Tombol panggilan telepon hendak ditekan, tapi kemudian niat itu ia urungkan. Jangan-jangan Sur sudah beristirahat, pikir Ratri.

***

Bacaan murotal Al-Qur’an jelas sekali terdengar. Setiap hari, marbot masjid selalu memutar bacaan Al-Qur’an setengah jam sebelum masuk waktu adzan. Mata Sur terbuka, tangan kanannya meraih gawai. Sinar layarnya terlihat menyilaukan karena lampu kamar masih gelap, membuat Sur harus memicingkan matanya agar huruf dan angka pada gawai terlihat jelas. Jam setengah lima pagi.

Setelah bersih-bersih dan berwudhu, Sur mendirikan shalat dua rakaat dan mengakhirinya dengan shalat witir tiga rakaat. Adzan shubuh berkumandang. Waktunya Sur keluar rumah untuk shalat berjamaah dengan warga lain di sekitar rumahnya.

Usai shalat berjamaah, Sur kembali ke kamarnya. Menyalakan lampu lalu meraih gawai. Rupanya ia baru sadar kalau Ratri berkirim pesan tadi malam. Layar gawai menunjukkan bahwa pesan itu terkirim ‘kemarin’ pukul 23.55. Berarti saat Sur tertidur. Ia membuka pesan dari istrinya. Sebuah pesan kerinduan, “Sayang, sedang apa?”

Sur menyesal tidak segera membaca dan membalas pesan itu segera. Saat ia terbangun, perhatiannya tertuju pada waktu yang ditunjukkan oleh layar saja. Jari-jarinya hendak menekan tombol panggilan, tapi urung dilakukan. Ia masih ingat bagaimana reaksi Sari, anak keduanya, manakala mengetahui bahwa dirinya tetap belum pulang ke rumah. Ia takut membuat anaknya kecewa. Memorinya kembali kepada keindahan bersama dengan putra-putrinya di Kedung Jenar. Bibirnya bergetar, lalu air matanya kembali menetes.

***

Pukul sembilan pagi. Sur kaget ketika seberkas sinar menembus kaca jendela, tepat mengenai mukanya. Ia lekas bangun dari tempat tidur. Ia beristighfar. Rupanya ia tertidur selepas membaca pesan Ratri tadi. Padahal ia punya janji dengan Zul untuk bersama-sama mengisi hari ini dengan memancing di muara.

Tangan Sur meraih gawai, lalu mencari nomor kontak Zul. Melalui sambungan telepon, Sur tahu bahwa Zul sudah lebih dulu sampai di muara dekat bandara Minangkabau, bersama dengan Pak Purno. Zul meminta Sur segera menyusulnya karena hari sudah beranjak siang. Panas matahari kian menyengat.

Selang satu jam kemudian, Sur sudah memarkir sepeda motornya di tepi muara. Tempat itu adalah lokasi biasanya Sur dan Zul memancing ikan. Pak Purnolah yang pertama memberi tahu lokasi tersebut. Banyaknya pemancing yang berada di sana terutama pada akhir pekan menunjukkan bahwa memang tempat itu cocok untuk mencari ikan. Setidaknya, itu menurut keterangan Pak Purno.

Sur mencari keberadaan Zul. Matanya menatap ke segala penjuru hingga akhirnya ia melihat sosok yang mirip Zul dilihat dari warna jaket, penutup kepala, dan cara berdirinya. Sur mendekati sosok itu dan ternyata memang benar kalau itu adalah Zul yang sedang istirahat menikmati kue serabi yang dibawa dari rumah sebagai bekal selama memancing. Kira-kira dua puluh meter di sebelah kiri Zul, ada Pak Purno yang tengah menunggu pancingnya ditarik ikan.

Sur melihat Zul berjongkok, menatap joran dengan pandangan kosong. Ujung benda itu bergerak berkedut-kedut seperti mendapatkan tarikan ikan. Ternyata bukan. Gerakannya lebih disebabkan arus air muara yang bergerak menuju laut. Deru pesawat dari arah selatan terdengar cukup keras. Membuyarkan lamunan Zul. Suara mesin yang menempel pada sayapnya semakin jelas. Seperti petir yang bergulung-gulung. Atau seperti suara ombak besar. Pesawat itu melintas pada ketinggian lima puluh meter tepat di atas kepala Zul. Lalu mendarat di bandara dekat dengan tempat Zul memancing ikan.

Melihat kedatangan Sur, wajah Zul sumringah. Seperti mendapatkan suntikan semangat untuk memancing kembali. Sudah lebih dari satu jam memancing, Zul belum mendapatkan satu ikan sekali pun. Sementara Pak Purno yang sebetulnya hanya menemani Zul, sudah mendapatkan empat ekor ikan. “Yang sabar, Zul. Namanya juga memancing. Kita dilatih kesabaran.” “Iya, Sur. Aku tahu. Ayuk kita mancing lagi.”

Belum selesai percakapan antara Sur dan Zul, pancing milik Zul yang diletakkan di atas ranting tiba-tiba bergerak ke tengah muara. Seperti ada yang menariknya. “Hai Zul, pancingnya terbawa ikan!” kata Sur setengah berteriak. Malang tak dapat ditolak. Usaha Zul untuk meraih pancing sia-sia. Benda itu makin kencang bergerak ke tengah muara. Menuju tempat yang cukup dalam. Zul pasrah. Mulutnya mengumpat pelan. Sejurus kemudian, pandangannya makin kabur dan sekelilingnya menjadi gelap. Ia jatuh di tepi muara.

Sur dan Pak Purno panik melihat Zul terjatuh. Pria itu diangkat dan dibaringkan pada posisi rata, lalu dicek nadi dan nafasnya. Beberapa pemancing lain berkerumun. Ada yang memberikan pertolongan pertama, menggerak-gerakkan badannya, mendekatkan jari tangan ke hidung, atau membukakan kelopak mata. Tapi sepertinya semua sia-sia. Melihat tanda-tandanya, seorang pemancing mengatakan, “Inna lillah wa inna ilaihi roji’un...!”

Sur tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Di hadapannya, sahabat dekatnya telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Justru di saat semestinya mereka bersenang-senang bersama. Menikmati akhir pekan sesuai rencana. Saat itu pula, ingatannya tertuju pada Ratri, istrinya di Kedung Jenar. Juga kepada anak-anaknya: Maya, Sari, dan Randu. Ia tak ingin kehilangan sahabatnya, Zul, tapi juga sangat rindu kepada keluarganya. Dalam hati, ia melantunkan senandung:

Ra maido sopo sing ora trenyuh
Ra kepethuk sak untoro pengin weruh
Percoyo aku kuatno atimu
Cah ayu entenono tekanku

Artinya:

Tak bisa disalahkan, siapa yang tidak trenyuh
Tak (bisa) bertemu sementara ingin bisa melihat
Percayalah kepadaku kuatkan hatimu
Wanita cantik tunggulah kedatanganku

Ombak bergulung menepi menuju garis panti. Suaranya memecah duka lara Sur yang kehilangan sahabatnya. Sementara perahu kecil pembawa muatan pasir masih lalu-lalang membelah luasnya muara. Mereka bergerak ke arah sungai lalu menepi untuk menurunkan gundukan pasir. Dari arah selatan, sebuah pesawat terbang dalam posisi akan mendarat. Menatap benda itu, Sur jadi ingin segera pulang ke Kedung Jenar. Wajah Ratri, Maya, Sari, dan Randu kembali hadir. Seolah-olah memanggil dan memintanya pulang. Entah kapan Sur bisa memenuhi permintaan itu.

Padang, 26 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar