Oleh: Abdul Hofir, pegawai
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan
Dimuat di harian Solopos tanggal 10
September 2018
Solopos.com, SOLO -- Dalam sebuah
kesempatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan tax ratio
(perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dan produk domestik bruto atau
PDB) Indonesia masih sangat rendah bahkan jika dibandingkan dengan sesama
negara Asia Tenggara.
Data Kementerian Keuangan
menunjukkan dalam enam tahun terakhir tax
ratio kita belum pernah menembus angka 12%. Negara tetangga seperti
Filipina telah mampu mencapai tax ratio
12,9%, Singapura 14%, Thailand 16,5%, dan Malaysia 16,1% (data tahun 2015).
Tidak perlu diperdebatkan bagaimana
metode/pendekatan dalam menghitung tax
ratio itu. Yang jelas, tax ratio
yang rendah menunjukkan penerimaan pajak belum optimal jika dibandingkan dengan
PDB.
Setidaknya ada tiga cara
meningkatkan tax ratio. Pertama, meningkatkan kepatuhan
(sukarela) wajib pajak terutama dalam membayar pajak. Kedua, meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ketiga, audit kepatuhan dan penegakan
hukum. Berikut penjelasannya.
Peningkatan kesadaran wajib pajak
menuntut ada pemahaman tentang arti penting pajak bagi pembangunan. Banyak
masyarakat yang belum memahami bahwa pajak telah memberikan manfaat (meskipun
tidak langsung) dalam berbagai bentuk seperti subsidi (bahan bakar minyak,
kesehatan, sekolah, dan sebagainya), pembangunan sarana dan
prasarana/infrastruktur, belanja rutin pegawai, bantuan bencana, transfer ke
daerah, dana desa, dan belanja modal (termasuk proyek pemerintah yang
melibatkan rekanan swasta).
Kuat
dan Dipercaya
Ketidaktahuan masyarakat akan
manfaat pajak sering kali menimbulkan pertanyaan: Ke mana larinya uang pajak
yang saya bayar? Pengetahuan perpajakan masyarakat dan transparansi belanja
pajak menjadi faktor penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak (Rahayu,
2006).
Meningkatkan kepercayaan wajib pajak
kepada pemerintah bukanlah hal yang mudah dan tak bias dibangun hanya dalam
waktu singkat. Perlu upaya yang terus-menerus disertai bukti nyata bahwa
pemerintah mampu menghimpun penerimaan negara, khususnya dari pajak, secara
optimal dan membelanjakannya untuk kepentingan pembangunan.
Termasuk di dalamnya adalah jaminan
tidak ada korupsi dan penyalahgunaan anggaran negara. Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan harus menunjukkan diri sebagai institusi yang kuat,
kredibel, dan akuntabel serta mampu mengamankan penerimaan pajak yang
dicanangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Selain itu, kementerian atau lembaga
sebagai pengguna anggaran juga harus menggunakan anggaran secara benar untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hanya dengan cara ini kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah akan tumbuh.
Untuk menjadi semakin kuat dan
dipercaya, Direktorat Jenderal Pajak harus terus-menerus melakukan reformasi
perpajakan (tax reform). Sejarah
perpajakan di Indonesia menunjukkan pemerintah telah melaksanakan dua kali
reformasi perpajakan dalam skala besar.
Reformasi jilid 1 adalah ketika
pemerintah mulai menerapkan sistem baru dalam perpajakan kita yang dikenal
dengan self assessment system pada
1983. Sistem ini memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang.
Sistem ini berbeda dengan sistem
sebelumnya yang membebankan hanya kepada penyelenggara administrasi perpajakan
(fiskus) sebagai pihak yang menetapkan pajak kepada wajib pajak (official assessement). Reformasi pada
era ini diarahkan pada perubahan regulasi perpajakan.
Reformasi jilid 2 terjadi ketika
Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sistem administrasi modern secara nasional
pada awal 2008. Sejatinya diawali pada tahun 2002 dengan ditandai pembentukan
Kantor Pelayanan Wajib Pajak Besar atau large
tax office atau LTO. Pada era ini terjadi perubahan besar-besaran struktur
organisasi Direktorat Jenderal Pajak, mindset dan kualitas sumber daya manusia,
teknologi informasi, dan regulasi perpajakan.
Reformasi jilid 2 membuahkan hasil
nyata berupa penerimaan pajak yang meningkat, perubahan mental pegawai
Direktorat Jenderal Pajak ke arah yang lebih baik, dan kepuasan masyarakat yang
makin tinggi (survei AC Nielsen tahun 2005).
Pada 2013 Direktorat Jenderal Pajak
berhasil memperoleh Bronze Brand Champion of Most Trusted Institution yang
diselenggarakan oleh MarkPlus Insight. Kini, Direktorat Jenderal Pajak tengah
melakukan reformasi jilid 3.
Kebutuhan
Pengusaha
Reformasi jilid 1 ditandai dengan
perubahan internal melalui lima aspek. Pertama,
pembenahan struktur organisasi yang ideal. Kedua,
peningkatan kapasitas, profesionalisme, kompetensi, kredibilitas, dan
integritas pegawai. Ketiga, penguatan
teknologi informasi dan basis data.
Keempat, simplifikasi proses bisnis. Kelima, penyempurnaan regulasi
perpajakan yang menjamin ada kepastian hukum dan mengakomodasi dinamika
perekonomian.
Perubahan ini selaras dengan yang
diinginkan para pengusaha terhadap pemerintah dalam kerangka peningkatan
pendapatan negara melalui pajak yaitu perluasan basis pajak dengan
ekstensifikasi yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua wajib pajak.
Selain itu juga perbaikan sistem
informasi, penyederhanaan peraturan perpajakan, pelibatan kalangan pengusaha
mengenai peraturan pajak yang akan dikeluarkan, sosialisasi peraturan
perpajakan, dan pemberian imbalan dalam bentuk kemudahan mengurus perizinan
atau hak-hak khusus wajib pajak yang terbukti patuh dan benar dalam
menyampaikan surat pemberitahuan pajak (sumber: Rembuk Pajak Apindo, 6 Agustus
2018).
Dalam dua tahun ke depan, perubahan
itu semestinya telah menampakkan hasil nyata. Audit kepatuhan dan penegakan
hukum merupakan langkah terakhir dalam meningkatkan penerimaan dan tax ratio.
Persoalan kepatuhan pajak menjadi
permasalahan bersama di hampir semua negara yang memungut pajak dari
masyarakat. Oleh karena itu, di dalam undang-undang disebutkan tujuan utama
pemeriksaan adalah menguji kepatuhan wajib pajak.
Langkah
Terakhir
Jika cara ini tidak membuahkan hasil
atau ada indikasi wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,
Dierktorat Jenderal Pajak akan melakukan langkah penegakan hukum melalui
pemeriksaan bukti permulaan (mirip dengan proses penyelidikan dalam KUHAP)
hingga penyidikan.
Meskipun demikian, penerapan ultimum
remidium menjadikan upaya penegakan hukum sebagai langkah terakhir seandainya
wajib pajak tetap tidak mau membayar pajak. Dalam praktik, Direktorat Jenderal
Pajak lebih mengedepankan pengenaan sanksi administratif dibandingkan sanksi
pidana.
Dari ketiga langkah di atas, saya
melihat reformasi perpajakan adalah langkah utama, penting, dan mendesak
dilakukan dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio. Hal ini disebabkan reformasi perpajakan memiliki dua
arah sekaligus.
Pertama, pembenahan internal Direktorat
Jenderal Pajak. Kedua, meningkatkan
kepercayaan wajib pajak. Reformasi jilid 3 yang saat ini sedang bergulir harus
berjalan mulus dan didukung, terutama oleh aparat Direktorat Jenderal Pajak
sendiri.
Jika tidak, perbaikan yang selama
ini terjadi di Direktorat Jenderal Pajak hanya akan menjadi kenangan sejarah
yang biasanya dilupakan oleh masyarakat. Di sisi lain, kepercayaan masyarakat
akan merosot tajam yang berakibat pada turunnya kepatuhan dalam membayar pajak.
(Tulisan
ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar