Selasa, 18 Agustus 2020

Menyoroti Peran dan Kinerja DJP

Oleh: Abdul Hofir, Pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu RI
Dimuat di harian Padang Ekspres, 15 Juli 2019

Selama periode pertama Presiden Jokowi, pemerintah belum berhasil merealisasikan janjinya membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang semestinya dilaksanakan paling lambat tahun 2016. Setelah tiga tahun berselang, wacana pembentukan BPN kembali menjadi komoditas politik terutama dalam debat capres 2019. Baik kubu 01 maupun kubu 02 sama-sama mengklaim akan mewujudkan terbentuknya BPN. Mengapa pembentukan badan ini menjadi isu penting?

Berbicara mengenai organisasi penghimpun penerimaan negara yang satu ini, kita perlu tahu bagaimana metamorfosis terjadi pada lembaga tersebut. Dulu, organisasi DJP bernama Djawatan Padjak yang pada masa penjajahan Belanda posisinya berada di bawah Departemen Van Financien berdasarkan Staatsblad 1924 nomor 576. Pada masa penjajahan Jepang, Departemen Van Financien diubah namanya menjadi Zaimubu. Setelah Indonesia merdeka, para era 1945-1959 terjadi perubahan nama dan struktur organisasi Djawatan Padjak, Djawatan Bea dan Cukai, serta Djawatan Padjak bumi yang berada di bawah koordinasi Direktur Iuran Negara.

Memasuki tahun 1964, Djawatan Pajak diubah menjadi Direktorat Pajak di bawah Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara. Terakhir, pada tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet nomor 75/U/KEP/11/1966 Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Djenderal Padjak yang membawahi Sekretariat Direktorat Djenderal, Direktorat Djenderal Padjak Langsung, Direktorat Padjak Tidak Langsung, Direktorat Perentjanaan dan Pengusutan, dan Direktorat Pembinaan Wilayah.

Tugas utama DJP adalah menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak. Ini sesuai dengan semangat nawacita “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Kita mengaplikasikan bentuk gotong royong dalam konteks perekonomian adalah dengan bersama-sama memikul kebutuhan keuangan negara melalui membayar pajak sebagai kewajiban sekaligus hak warga negara.

Jika rumah tanggal dalam skala kecil saja memerlukan penerimaan yang digunakan untuk belanja rumah tangga, apalagi rumah tangga negara yang pengeluarannya sangat besar. Menilik pada APBN 2019, pemerintah menargetkan jumlah belanja negara sebesar Rp2.439,7 triliun dengan target pendapatan negara sebesar Rp2.142,5 triliun. Dari target penerimaan tersebut, sebesar Rp1.577,6 triliun diharapkan dapat diperoleh dari pajak.

Mengapa harus pajak? Ini yang seringkali menjadi pertanyaan banyak pihak. Memang ada beberapa alternatif dalam mencari sumber penerimaan negara seperti zakat/infak/sedekah, retribusi, sumbangan, bea, termasuk pajak. Dari beberapa pilihan tersebut, para pendiri NKRI telah menyepakati bahwa sumber penerimaan negara yang utama adalah pajak.

Sejarah mencatat ketika BPUPKI merumuskan UUD 1945, Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI mengemukakan pentingnya aturan hukum soal pungutan pajak di dalam konstitusi. Usulan tersebut dikemukakan pada tanggal 14 Juli 1945. Maka, lahirlah Pasal 23 UUD 1945 yang di dalam ayat (2) dinyatakan: “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Rumusan tersebut kini mengalami perubahan pascaamandemen keempat UUD 1945 menjadi Pasal 23A yang berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dan pemerintah kini telah menetapkan bahwa tanggal 14 Juli adalah Hari Pajak.


Pajak dan APBN

Mari kita melihat kinerja penerimaan negara sejak tahun 1990. Pada tahun 1990-2000, realisasi penerimaan perpajakan (pajak, bea dan cukai, serta pajak ekspor) berjumlah Rp679,35 triliun atau 63,12% dari total penerimaan negara. Tahun 2001-2010, realisasinya mencapai Rp4.167,39 triliun atau 69,33% dari total penerimaan negara. Sedangkan tahun 2011-2018, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp9.468,88 triliun atau 77,55% dari total penerimaan negara. Data ini menunjukkan betapa saat ini pajak benar-benar menjadi andalan dalam penerimaan negara. Seiring dengan menipisnya sumber daya alam, penerimaan negara dari SDA kini bukan menjadi yang utama. Tugas untuk mencapai hal itu terutama berada di DJP.

Namun, sejumlah persoalan harus dihadapi DJP dalam mengemban misinya mengamankan penerimaan negara. Setidaknya ada tiga masalah besar: kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, penerimaan yang belum tercapai, dan tax ratio yang rendah. Mari kita bedah satu demi satu.

Pertama, kepatuhan wajib pajak. Masalah ini menjadi isu penting dan terus-menerus menjadi perhatian sejumlah otoritas perpajakan di berbagai negara. Secara sederhana kepatuhan adalah kesediaan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa harus diperiksa, diinvestigasi, atau diberikan sanksi oleh DJP. Indikator yang paling mudah adalah kepatuhan formal dalam hal penyampaian surat pemberitahuan (SPT) oleh wajib pajak.

SPT tahunan wajib pajak orang pribadi tahun pajak 2018, misalnya, wajib disampaikan ke kantor DJP paling lambat akhir Maret 2019. Ternyata hingga 1 April 2019 baru disampaikan sejumlah 11,03 juta dari 18,334 juta SPT yang semestinya masuk dan dilaporkan oleh wajib pajak sehingga tingkat kepatuhannya baru mencapai 61,7%. Sanksi yang relatif rendah disinyalir menjadi penyebab ketidakpatuhan ini.

Kedua, kita menghadapi kenyataan bahwa penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir belum menunjukkan hasil yang memuaskan: melebihi atau minimal sama dengan target. Persentase penerimaan dibandingkan dengan target yang dicanangkan dalam APBN baru berkisar pada angka 91,56% pada tahun 2014, 81,96% tahun 2015, 81,59% tahun 2016, 89,67% tahun 2017, dan 92,41% tahun 2018 (sumber: pajak.go.id). Jika dirata-rata, persentase pencapaian penerimaan pajak sejak 2014-2018 sebesar 87,4%.

Ketiga, tax ratio. Rasio ini menggambarkan kemampuan mengumpulkan pajak dari perekonomian yang dihitung dari total penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Saat ini, tax ratio kita mencapai 11,5%. Meskipun masih di bawah standar regional (pernyataan Menkeu RI), tax ratio ini meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada di bawah 11%. Tentu kita berharap dalam masa mendatang DJP dapat merealisasikan tax ratio yang ideal di kisaran 15% ke atas.

Tiga persoalan mendasar di atas dapat diatasi dengan beberapa langkah seperti peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak yang belum menyampaikan SPT dan simplifikasi pengisian formulir SPT, sosialisasi perpajakan yang lebih massif, mengintensifkan kegiatan joint program (misal: joint analysis, joint audit, joint intelijen, dsb) antara DJP dan instansi mitra lain seperti Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), dan penegakan hukum. Saat ini joint program tengah berjalan dan menjadi salah satu agenda utama DJP dan DJBC sekaligus menginisiasi kemungkinan bersatunya kedua kekuatan penghimpun penerimaan negara itu menjadi satu badan penerimaan negara.

Kemampuan petugas pajak mengawasi wajib pajak sebenarnya sangat berkaitan erat dengan upaya DJP mengintensifkan penerimaan pajak. Berdasarkan data sdm.kemenkeu.go.id, saat ini jumlah pegawai DJP adalah sebanyak 44.930 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak 269 juta jiwa, maka rasio pegawai pajak terhadap wajib pajak adalah 1:5.987. Itu artinya satu pegawai pajak harus meng-cover sebanyak 5.987 wajib pajak. Angka ini masih sangat rendah dibandingkan dengan rasio pegawai pajak di beberapa negara seperti Inggris (1:986), Australia (1:1.187), dan Jepang (1:1.104).

Dengan kewenangan yang terbatas mengingat organisasi DJP hanya setingkat eselon I di Kementerian Keuangan, tentu tugas yang diemban DJP tentu sangat berat. Oleh karena itu, kini muncul wacana untuk menempatkan DJP ke level badan penerimaan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan kewenangan yang diperluas seperti kewenangan dalam perekrutan pegawai, belanja barang, termasuk pengelolaan keuangan. Prosesnya bisa bertahap dan bisa jadi bentuk finalnya tidak mesti demikian. Dia bisa berbentuk badan semiotonom dan tetap berada di bawah Kemenkeu tapi dengan kewenangan yang lebih besar.

Banyak sudah pembahasan mengenai keterbatasan DJP jika tetap berada di bawah Kemenkeu dan tulisan ini tidak perlu memperlebar pembahasan tersebut. Intinya adalah sudah saatnya DJP diberikan kewenangan yang lebih besar agar dapat menjalankan tugasnya menggali potensi menjadi penerimaan negara yang riil sehingga dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, mari kita dukung upaya tersebut. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar