Oleh: Abdul Hofir, Pegawai Ditjen
Pajak Kemenkeu RI
Dimuat di harian Padang Ekspres, 15
Juli 2019
Selama periode pertama Presiden
Jokowi, pemerintah belum berhasil merealisasikan janjinya membentuk Badan
Penerimaan Negara (BPN) yang semestinya dilaksanakan paling lambat tahun 2016.
Setelah tiga tahun berselang, wacana pembentukan BPN kembali menjadi komoditas
politik terutama dalam debat capres 2019. Baik kubu 01 maupun kubu 02 sama-sama
mengklaim akan mewujudkan terbentuknya BPN. Mengapa pembentukan badan ini
menjadi isu penting?
Berbicara mengenai organisasi
penghimpun penerimaan negara yang satu ini, kita perlu tahu bagaimana metamorfosis
terjadi pada lembaga tersebut. Dulu, organisasi DJP bernama Djawatan Padjak
yang pada masa penjajahan Belanda posisinya berada di bawah Departemen Van
Financien berdasarkan Staatsblad 1924 nomor 576. Pada masa penjajahan Jepang,
Departemen Van Financien diubah namanya menjadi Zaimubu. Setelah Indonesia
merdeka, para era 1945-1959 terjadi perubahan nama dan struktur organisasi
Djawatan Padjak, Djawatan Bea dan Cukai, serta Djawatan Padjak bumi yang berada
di bawah koordinasi Direktur Iuran Negara.
Memasuki tahun 1964, Djawatan Pajak
diubah menjadi Direktorat Pajak di bawah Pembantu Menteri Urusan Pendapatan
Negara. Terakhir, pada tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet nomor
75/U/KEP/11/1966 Direktorat Padjak diubah menjadi Direktorat Djenderal Padjak
yang membawahi Sekretariat Direktorat Djenderal, Direktorat Djenderal Padjak
Langsung, Direktorat Padjak Tidak Langsung, Direktorat Perentjanaan dan
Pengusutan, dan Direktorat Pembinaan Wilayah.
Tugas utama DJP adalah menghimpun
penerimaan negara dari sektor pajak. Ini sesuai dengan semangat nawacita
“terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan
gotong royong”. Kita mengaplikasikan bentuk gotong royong dalam konteks
perekonomian adalah dengan bersama-sama memikul kebutuhan keuangan negara
melalui membayar pajak sebagai kewajiban sekaligus hak warga negara.
Jika rumah tanggal dalam skala kecil
saja memerlukan penerimaan yang digunakan untuk belanja rumah tangga, apalagi
rumah tangga negara yang pengeluarannya sangat besar. Menilik pada APBN 2019,
pemerintah menargetkan jumlah belanja negara sebesar Rp2.439,7 triliun dengan
target pendapatan negara sebesar Rp2.142,5 triliun. Dari target penerimaan
tersebut, sebesar Rp1.577,6 triliun diharapkan dapat diperoleh dari pajak.
Mengapa harus pajak? Ini yang
seringkali menjadi pertanyaan banyak pihak. Memang ada beberapa alternatif
dalam mencari sumber penerimaan negara seperti zakat/infak/sedekah, retribusi,
sumbangan, bea, termasuk pajak. Dari beberapa pilihan tersebut, para pendiri
NKRI telah menyepakati bahwa sumber penerimaan negara yang utama adalah pajak.
Sejarah mencatat ketika BPUPKI
merumuskan UUD 1945, Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI mengemukakan
pentingnya aturan hukum soal pungutan pajak di dalam konstitusi. Usulan
tersebut dikemukakan pada tanggal 14 Juli 1945. Maka, lahirlah Pasal 23 UUD
1945 yang di dalam ayat (2) dinyatakan: “segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang”. Rumusan tersebut kini mengalami perubahan
pascaamandemen keempat UUD 1945 menjadi Pasal 23A yang berbunyi “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang”. Dan pemerintah kini telah menetapkan bahwa tanggal 14 Juli
adalah Hari Pajak.
Pajak dan APBN
Mari kita melihat kinerja penerimaan
negara sejak tahun 1990. Pada tahun 1990-2000, realisasi penerimaan perpajakan
(pajak, bea dan cukai, serta pajak ekspor) berjumlah Rp679,35 triliun atau
63,12% dari total penerimaan negara. Tahun 2001-2010, realisasinya mencapai
Rp4.167,39 triliun atau 69,33% dari total penerimaan negara. Sedangkan tahun
2011-2018, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp9.468,88 triliun atau
77,55% dari total penerimaan negara. Data ini menunjukkan betapa saat ini pajak
benar-benar menjadi andalan dalam penerimaan negara. Seiring dengan menipisnya
sumber daya alam, penerimaan negara dari SDA kini bukan menjadi yang utama.
Tugas untuk mencapai hal itu terutama berada di DJP.
Namun, sejumlah persoalan harus
dihadapi DJP dalam mengemban misinya mengamankan penerimaan negara. Setidaknya
ada tiga masalah besar: kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, penerimaan
yang belum tercapai, dan tax ratio yang rendah. Mari kita bedah satu demi satu.
Pertama, kepatuhan wajib pajak.
Masalah ini menjadi isu penting dan terus-menerus menjadi perhatian sejumlah
otoritas perpajakan di berbagai negara. Secara sederhana kepatuhan adalah
kesediaan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa harus diperiksa,
diinvestigasi, atau diberikan sanksi oleh DJP. Indikator yang paling mudah
adalah kepatuhan formal dalam hal penyampaian surat pemberitahuan (SPT) oleh
wajib pajak.
SPT tahunan wajib pajak orang
pribadi tahun pajak 2018, misalnya, wajib disampaikan ke kantor DJP paling
lambat akhir Maret 2019. Ternyata hingga 1 April 2019 baru disampaikan sejumlah
11,03 juta dari 18,334 juta SPT yang semestinya masuk dan dilaporkan oleh wajib
pajak sehingga tingkat kepatuhannya baru mencapai 61,7%. Sanksi yang relatif
rendah disinyalir menjadi penyebab ketidakpatuhan ini.
Kedua, kita menghadapi kenyataan
bahwa penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir belum menunjukkan hasil
yang memuaskan: melebihi atau minimal sama dengan target. Persentase penerimaan
dibandingkan dengan target yang dicanangkan dalam APBN baru berkisar pada angka
91,56% pada tahun 2014, 81,96% tahun 2015, 81,59% tahun 2016, 89,67% tahun
2017, dan 92,41% tahun 2018 (sumber: pajak.go.id). Jika dirata-rata, persentase
pencapaian penerimaan pajak sejak 2014-2018 sebesar 87,4%.
Ketiga, tax ratio. Rasio ini
menggambarkan kemampuan mengumpulkan pajak dari perekonomian yang dihitung dari
total penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Saat
ini, tax ratio kita mencapai 11,5%. Meskipun masih di bawah standar regional
(pernyataan Menkeu RI), tax ratio ini meningkat dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya yang berada di bawah 11%. Tentu kita berharap dalam masa mendatang
DJP dapat merealisasikan tax ratio yang ideal di kisaran 15% ke atas.
Tiga persoalan mendasar di atas
dapat diatasi dengan beberapa langkah seperti peningkatan pengawasan terhadap
wajib pajak yang belum menyampaikan SPT dan simplifikasi pengisian formulir
SPT, sosialisasi perpajakan yang lebih massif, mengintensifkan kegiatan joint
program (misal: joint analysis, joint audit, joint intelijen, dsb) antara DJP
dan instansi mitra lain seperti Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), dan penegakan
hukum. Saat ini joint program tengah berjalan dan menjadi salah satu agenda
utama DJP dan DJBC sekaligus menginisiasi kemungkinan bersatunya kedua kekuatan
penghimpun penerimaan negara itu menjadi satu badan penerimaan negara.
Kemampuan petugas pajak mengawasi
wajib pajak sebenarnya sangat berkaitan erat dengan upaya DJP mengintensifkan
penerimaan pajak. Berdasarkan data sdm.kemenkeu.go.id, saat ini jumlah pegawai
DJP adalah sebanyak 44.930 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak
269 juta jiwa, maka rasio pegawai pajak terhadap wajib pajak adalah 1:5.987.
Itu artinya satu pegawai pajak harus meng-cover sebanyak 5.987 wajib pajak.
Angka ini masih sangat rendah dibandingkan dengan rasio pegawai pajak di
beberapa negara seperti Inggris (1:986), Australia (1:1.187), dan Jepang
(1:1.104).
Dengan kewenangan yang terbatas
mengingat organisasi DJP hanya setingkat eselon I di Kementerian Keuangan,
tentu tugas yang diemban DJP tentu sangat berat. Oleh karena itu, kini muncul
wacana untuk menempatkan DJP ke level badan penerimaan yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden dengan kewenangan yang diperluas seperti kewenangan
dalam perekrutan pegawai, belanja barang, termasuk pengelolaan keuangan.
Prosesnya bisa bertahap dan bisa jadi bentuk finalnya tidak mesti demikian. Dia
bisa berbentuk badan semiotonom dan tetap berada di bawah Kemenkeu tapi dengan
kewenangan yang lebih besar.
Banyak sudah pembahasan mengenai
keterbatasan DJP jika tetap berada di bawah Kemenkeu dan tulisan ini tidak
perlu memperlebar pembahasan tersebut. Intinya adalah sudah saatnya DJP
diberikan kewenangan yang lebih besar agar dapat menjalankan tugasnya menggali
potensi menjadi penerimaan negara yang riil sehingga dapat digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, mari kita dukung upaya tersebut. (*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar