Oleh: Abdul Hofir, pegawai Ditjen
Pajak Kemenkeu RI
Dimuat di harian Singgalang, 15 Juli
2019
Di tengah kondisi ekonomi nasional
dan global yang kurang menggembirakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut
untuk dapat merealisasikan amanah menghimpun penerimaan pajak. Banyak pihak
menyoroti kinerja penerimaan yang diraih DJP. Tahun 2014 DJP baru berhasil
mencapai 91,56% penerimaan pajak dibandingkan rencana. Tahun 2015 persentasenya
mencapai 81,96%, disusul tahun 2016 sebesar 81,59%, tahun 2017 sebesar 89,67%,
dan tahun 2018 sebesar 92,41% (sumber:
pajak.go.id). Dengan demikian, jika dirata-rata persentase pencapaian
penerimaan pajak sejak 2014-2018 baru sebesar 87,4%.
Tax ratio juga masih rendah. Rasio
ini menggambarkan kemampuan mengumpulkan pajak dari perekonomian yang dihitung
dari total penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB).
Saat ini, tax ratio kita mencapai 11,5%. Meskipun masih di bawah standar
regional (pernyataan Menkeu RI), tax ratio ini meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya yang berada di bawah 11%. Ke depan, diharapkan tax ratio
berada di kisaran 15% ke atas.
Di luar itu, saya mengidentifikasi
setidaknya ada empat tantangan besar DJP: (1) menjaga dan meningkatkan
kepatuhan wajib pajak pasca amnesti pajak melalui pengawasan, pemeriksaan, dan
penegakan hukum; (2) mengikuti dinamika dan pertumbuhan ekonomi digital; (3)
menuntaskan reformasi perpajakan yang saat ini memasuki jilid ketiga; hingga
(4) memenuhi harapan masyarat yaitu agar pemerintah membuat kebijakan yang
menstimulasi pertumbuhan ekonomi seperti lahirnya PP 23/2018 termasuk fasilitas
perpajakan lainnya.
Masalah kepatuhan menjadi isu
penting dan menjadi perhatian otoritas perpajakan di berbagai negara. Secara
sederhana kepatuhan adalah kesediaan wajib pajak memenuhi kewajiban
perpajakannya tanpa harus diperiksa, diinvestigasi, atau diberikan sanksi oleh
DJP. Indikator yang paling mudah adalah kepatuhan formal dalam hal penyampaian
surat pemberitahuan (SPT) oleh wajib pajak.
SPT tahunan wajib pajak orang
pribadi tahun pajak 2018, misalnya, wajib disampaikan ke kantor DJP paling
lambat akhir Maret 2019. Ternyata hingga 1 April 2019 baru disampaikan sejumlah
11,03 juta dari 18,334 juta SPT yang semestinya masuk dan dilaporkan oleh wajib
pajak sehingga tingkat kepatuhannya baru mencapai 61,7%.
Padahal, sejak 1983 pemerintah mulai
menerapkan sistem self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib
pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
pajaknya. Prinsip ini berkebalikan dengan sistem official assessment yang
memberikan kewenangan kepada DJP untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang
kemudian mewajibkan wajib pajak untuk membayarnya. Kesadaran, kejujuran, dan
kemauan dalam membayar pajak menjadi modal utama keberhasilan self assessment.
Kedua, soal ekonomi digital. Tidak
dapat dipungkiri lagi perekonomian masa kini berkaitan erat dengan pertumbuhan
teknologi informasi sehingga menciptakan apa yang disebut dengan ekonomi
digital. Penyerahan barang dan jasa telah menggunakan media internet
(e-commerce). Transaksi keuangan pun tidak lagi mengharuskan adanya pertemuan
antara pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana. Kita cukup menggunakan
fasilitas financial technology (fintech) lalu terjadilah transaksi keuangan
penyimpanan dan penggunaan dana.
Regulasi perpajakan bersifat luwes
dan dapat menjangkau perekonomian digital. Tetapi, ketentuan yang bersifat
khusus sejatinya sangat diperlukan. Misalnya, bagaimana mekanisme pengenaan
pajak penghasilan kepada pihak yang melakukan penjualan melalui e-commerce dan
pemungutan PPN bagi konsumen yang mengkonsumsi barang atau jasa.
Sayangnya, kita punya catatan kurang
baik mengenai hal ini. Peraturan Menteri Keuangan nomor 210/PMK.010/2018
tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (e-commerce) yang sedianya berlaku sejak 1 April 2019 ternyata
dicabut dengan alasan kekurangsiapan para stakeholder dan minimnya sosialisasi.
Ketiga, soal reformasi perpajakan
jilid III yang bergulir sejak 2017 dan ditargetkan selesai tahun 2024.
Reformasi ini melibatkan perubahan pada lima pilar utama: organisasi, sumber
daya manusia, teknologi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan
perpajakan. Dengan demikian, tahun ini kita berada di era reformasi perjakan
jilid III. Bagaimana hasil akhir dari proses metamorfosis kelembagaan DJP, kita
tunggu hasilnya bersama-sama. Yang pasti, kita berharap terjadi perubahan
terus-menerus ke arah yang lebih baik.
Keempat, soal stimulus dan fasilitas
perpajakan. Banyak fasilitas perpajakan diberikan pemerintah baik di bidang
pajak penghasilan (PPh) maupun PPN/PPnBM yang berakibat munculnya tax
expenditure sehingga perlu dilakukan secara hati-hati.
Untuk menjawab tantangan di atas,
DJP telah melakukan beberapa langkah di antaranya peningkatan pengawasan
terhadap wajib pajak yang belum menyampaikan SPT, penerapan e-filing dan
e-billing, sosialisasi perpajakan yang lebih massif, mengintensifkan kegiatan
joint program (misal: joint analysis, joint audit, joint intelijen, dsb.)
antara DJP dan instansi mitra lain seperti Ditjen Bea dan Cukai (DJBC),
penegakan hukum melalui pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak
pidana pajak, dan meregulasi fasilitas perpajakan seperti pembebasan atau
pengurangan PPh badan yang dituangkan dalam PP nomor 45 tahun 2019 yang mulai
berlaku 26 Juni 2019.
Kemampuan petugas pajak mengawasi
wajib pajak sebenarnya sangat berkaitan erat dengan upaya DJP mengintensifkan
penerimaan pajak. Data pada sdm.kemenkeu.go.id, saat ini jumlah pegawai DJP
adalah 44.930 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 269
juta jiwa, rasio pegawai pajak terhadap wajib pajak adalah 1:5.987. Angka ini
masih sangat rendah dibandingkan dengan rasio pegawai pajak di beberapa negara
seperti Inggris (1:986), Australia (1:1.187), dan Jepang (1:1.104). (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar