Selasa, 18 Agustus 2020

DJP Menjawab Tantangan di 2019



Oleh: Abdul Hofir, pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu RI
Dimuat di harian Singgalang, 15 Juli 2019

Di tengah kondisi ekonomi nasional dan global yang kurang menggembirakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk dapat merealisasikan amanah menghimpun penerimaan pajak. Banyak pihak menyoroti kinerja penerimaan yang diraih DJP. Tahun 2014 DJP baru berhasil mencapai 91,56% penerimaan pajak dibandingkan rencana. Tahun 2015 persentasenya mencapai 81,96%, disusul tahun 2016 sebesar 81,59%, tahun 2017 sebesar 89,67%, dan tahun 2018 sebesar 92,41%  (sumber: pajak.go.id). Dengan demikian, jika dirata-rata persentase pencapaian penerimaan pajak sejak 2014-2018 baru sebesar 87,4%.


Tax ratio juga masih rendah. Rasio ini menggambarkan kemampuan mengumpulkan pajak dari perekonomian yang dihitung dari total penerimaan pajak dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB). Saat ini, tax ratio kita mencapai 11,5%. Meskipun masih di bawah standar regional (pernyataan Menkeu RI), tax ratio ini meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada di bawah 11%. Ke depan, diharapkan tax ratio berada di kisaran 15% ke atas.

Di luar itu, saya mengidentifikasi setidaknya ada empat tantangan besar DJP: (1) menjaga dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak pasca amnesti pajak melalui pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum; (2) mengikuti dinamika dan pertumbuhan ekonomi digital; (3) menuntaskan reformasi perpajakan yang saat ini memasuki jilid ketiga; hingga (4) memenuhi harapan masyarat yaitu agar pemerintah membuat kebijakan yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi seperti lahirnya PP 23/2018 termasuk fasilitas perpajakan lainnya.

Masalah kepatuhan menjadi isu penting dan menjadi perhatian otoritas perpajakan di berbagai negara. Secara sederhana kepatuhan adalah kesediaan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa harus diperiksa, diinvestigasi, atau diberikan sanksi oleh DJP. Indikator yang paling mudah adalah kepatuhan formal dalam hal penyampaian surat pemberitahuan (SPT) oleh wajib pajak.

SPT tahunan wajib pajak orang pribadi tahun pajak 2018, misalnya, wajib disampaikan ke kantor DJP paling lambat akhir Maret 2019. Ternyata hingga 1 April 2019 baru disampaikan sejumlah 11,03 juta dari 18,334 juta SPT yang semestinya masuk dan dilaporkan oleh wajib pajak sehingga tingkat kepatuhannya baru mencapai 61,7%.

Padahal, sejak 1983 pemerintah mulai menerapkan sistem self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya. Prinsip ini berkebalikan dengan sistem official assessment yang memberikan kewenangan kepada DJP untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang kemudian mewajibkan wajib pajak untuk membayarnya. Kesadaran, kejujuran, dan kemauan dalam membayar pajak menjadi modal utama keberhasilan self assessment.

Kedua, soal ekonomi digital. Tidak dapat dipungkiri lagi perekonomian masa kini berkaitan erat dengan pertumbuhan teknologi informasi sehingga menciptakan apa yang disebut dengan ekonomi digital. Penyerahan barang dan jasa telah menggunakan media internet (e-commerce). Transaksi keuangan pun tidak lagi mengharuskan adanya pertemuan antara pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana. Kita cukup menggunakan fasilitas financial technology (fintech) lalu terjadilah transaksi keuangan penyimpanan dan penggunaan dana.

Regulasi perpajakan bersifat luwes dan dapat menjangkau perekonomian digital. Tetapi, ketentuan yang bersifat khusus sejatinya sangat diperlukan. Misalnya, bagaimana mekanisme pengenaan pajak penghasilan kepada pihak yang melakukan penjualan melalui e-commerce dan pemungutan PPN bagi konsumen yang mengkonsumsi barang atau jasa.

Sayangnya, kita punya catatan kurang baik mengenai hal ini. Peraturan Menteri Keuangan nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce) yang sedianya berlaku sejak 1 April 2019 ternyata dicabut dengan alasan kekurangsiapan para stakeholder dan minimnya sosialisasi.

Ketiga, soal reformasi perpajakan jilid III yang bergulir sejak 2017 dan ditargetkan selesai tahun 2024. Reformasi ini melibatkan perubahan pada lima pilar utama: organisasi, sumber daya manusia, teknologi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perpajakan. Dengan demikian, tahun ini kita berada di era reformasi perjakan jilid III. Bagaimana hasil akhir dari proses metamorfosis kelembagaan DJP, kita tunggu hasilnya bersama-sama. Yang pasti, kita berharap terjadi perubahan terus-menerus ke arah yang lebih baik.

Keempat, soal stimulus dan fasilitas perpajakan. Banyak fasilitas perpajakan diberikan pemerintah baik di bidang pajak penghasilan (PPh) maupun PPN/PPnBM yang berakibat munculnya tax expenditure sehingga perlu dilakukan secara hati-hati.

Untuk menjawab tantangan di atas, DJP telah melakukan beberapa langkah di antaranya peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak yang belum menyampaikan SPT, penerapan e-filing dan e-billing, sosialisasi perpajakan yang lebih massif, mengintensifkan kegiatan joint program (misal: joint analysis, joint audit, joint intelijen, dsb.) antara DJP dan instansi mitra lain seperti Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), penegakan hukum melalui pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana pajak, dan meregulasi fasilitas perpajakan seperti pembebasan atau pengurangan PPh badan yang dituangkan dalam PP nomor 45 tahun 2019 yang mulai berlaku 26 Juni 2019.

Kemampuan petugas pajak mengawasi wajib pajak sebenarnya sangat berkaitan erat dengan upaya DJP mengintensifkan penerimaan pajak. Data pada sdm.kemenkeu.go.id, saat ini jumlah pegawai DJP adalah 44.930 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 269 juta jiwa, rasio pegawai pajak terhadap wajib pajak adalah 1:5.987. Angka ini masih sangat rendah dibandingkan dengan rasio pegawai pajak di beberapa negara seperti Inggris (1:986), Australia (1:1.187), dan Jepang (1:1.104). (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar