Oleh: Abdul Hofir, pegawai
Direktorat Jenderal Pajak
Dimuat di situs www.pajak.go.id
Selama beberapa dekade, masyarakat
menganggap bahwa pelanggaran di bidang perpajakan hanya cukup diselesaikan
dengan tindakan administratif seperti imbauan, klafirikasi, atau pemeriksaan.
Ada yang bahkan menunggu Dirjen Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak. Jika
terdapat sengketa pajak, tanpa ragu wajib pajak mengajukan keberatan bahkan
banding ke pengadilan pajak. Kita seolah-olah abai terhadap kenyataan bahwa
pelanggaran yang dilakukan wajib pajak dapat dikategorikan sebagai tindakan
pidana jika memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Banyak modus wajib pajak melakukan
tindak pidana pajak, di antaranya menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak
yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS), memotong/memungut
pajak tapi tidak menyetorkannya ke kas negara, dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap. Selain itu, wajib pajak bisa saja melakukan tindak pidana lainnya
seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang bisa jadi mengiringi pidana
pajak sebagai predicate crime.
Masih ingat kasus Asian Agri yang
sangat menyedot perhatian publik dengan total kerugian negara mencapai Rp1,25
triliun? Kasus tersebut telah diputus oleh Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA)
dengan putusan dua tahun penjara dengan masa percobaan satu tahun serta denda
pidana sebesar lebih dari Rp2,5 triliun rupiah. Pada awalnya, kasus Asian Agri
diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dikuatkan oleh putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat sebelum akhirnya dibatalkan dengan putusan kasasi
MA (www.pajak.go.id).
Baru-baru ini Menteri Keuangan
melantik Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak menggantikan Robert Pakpahan.
Terhitung sejak awal November 2019, DJP resmi dinahkodai Dirjen baru. Kalangan
dunia usaha berharap agar Dirjen Pajak dapat menciptakan kebijakan dan kinerja
perpajakan yang lebih baik. Di sisi lain, fakta menunjukkan capaian penerimaan
pajak hingga akhir Oktober 2019 yang belum menggembirakan. Diprediksi,
realisasi penerimaan pajak tahun ini shortfall sekitar Rp140 triliun dari target
APBN sebesar Rp1.577,56 triliun, atau hanya tercapai sekitar Rp1.315,91 triliun
(91 persen). Penegakan hukum pajak juga berada di pundak beliau sebagai pucuk
pimpinan tertinggi di DJP.
Administratif
vs Pidana
Pencapaian penerimaan pajak hendaknya
dilakukan bukan hanya dengan pendekatan persuasif administratif. Jika terdapat
indikasi pidana yang dilakukan oleh wajib pajak, DJP tidak boleh ragu untuk
memprosesnya melalui pemeriksaan bukti permulaan dan jika perlu sampai ke
penyidikan. Tentu tidak ada maksud untuk menakut-nakuti, tetapi semua pihak
juga perlu tahu bahwa penegakan hukum adalah bagian dari proses bisnis di DJP.
Muaranya adalah pemberian efek jera dan peningkatan wajib pajak. Jika wajib
pajak patuh, insya Allah penerimaan pajak akan meningkat.
Hampir semua negara yang memungut
pajak, kepatuhan wajib pajak selalu menjadi persoalan. Hal ini disebabkan
polarisasi antara “kewajiban yang memaksa” bagi setiap warga negara untuk
membayar pajak dan tabiat manusia yang tidak mudah melepaskan harta atau uang
yang selama ini menjadi haknya. Dua kutub itu menciptakan ruang yang
memungkinkan warga negara untuk tidak patuh terhadap kewajiban membayar pajak.
Bahkan, beberapa orang malah melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai
tindak pidana pajak baik karena alpa maupun sengaja.
Selama kurun waktu 2014 s.d. 2018
DJP telah menyelesaikan penyidikan tindak pidana pajak yang berkasnya
dinyatakan lengkap (P-21) sebanyak 425 berkas perkara. Jumlah tersebut relatif
kecil jika dibandingkan dengan potensi wajib pajak melakukan tindak pidana.
Namun, faktor keterbatasan jumlah penyidik dan pengungkapan kasus yang
memerlukan waktu yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan kepentingan
menyelesaikan kekurangan bayar wajib pajak melalui tindakan administratif, penyelesaian
P-21 seperti di atas sudah cukup bagus.
Di wilayah Sumatera Barat dan Jambi,
misalnya, vonis 3 tahun penjara dan denda lebih dari Rp6 milyar subsider 6
bulan penjara dijatuhkan Pengadilan Negeri Jambi kepada direktur utama PT Jambi
Jaya Makmur (bergerak di bidang jual-beli solar). Demikian pula di wilayah
lain, banyak kasus pidana pajak sudah diputus pengadilan dan pelakunya
dipenjara dan didenda.
Pemberian hukuman pidana bukan
sesuatu yang tiba-tiba. Ada proses panjang yang dimulai dari pemeriksaan bukti
permulaan. Pada tahap ini, pemeriksa bukti permulaan berupaya mencari
setidaknya dua bahan bukti yang menguatkan dugaan bahwa telah terjadi tindak
pidana pajak. Namun, wajib pajak diberi kesempatan menyelesaikan pembayaran
pokok ditambah denda sebesar 150% sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU
KUP agar proses pemeriksaan bukti permulaan dihentikan. Jika pembayaran tidak
diselesaikan, penyidik akan meningkatkan status pemeriksaan bukti permulaan
menjadi penyidikan.
Dalam tahap penyidikan, penyidik
akan melakukan tindakan pro justicia dengan memanggil tersangka, saksi, dan
ahli untuk diperiksa. Pada tahap akhir, penyidik membuat berkas perkara dan
melimpahkannya ke kejaksaan. Upaya ini dapat dihentikan jika wajib pajak
menyelesaikan pembayaran kerugian negara sebesar pokok ditambah denda empat
kali lipat Pasal 44 ayat (2) UU KUP). Jika tidak dilakukan, penyidikan akan
berlanjut menjadi penuntutan dan persidangan di pengadilan. Biarkan hakim yang
memutuskan hukuman apa yang layak bagi pelaku pidana pajak.
Jika ditanyakan kepada hati nurani
tentang tindakan penyidikan yang berakhir pada hukuman penjara dan denda, tentu
tidak ada orang yang ingin merampas kemerdekaan orang lain. Kita sangat
menghormati hak orang untuk menikmati kebebasan termasuk bekerja untuk
menghidupi diri dan keluarga. Tapi, kecurangan sebagian orang untuk mengambil
keuntungan dengan melakukan kejahatan di bidang pajak tentu merugikan
penerimaan negara yang berarti juga merugikan hak warga negara lainnya untuk
mendapatkan kesejahteraan. Kezalilman harus diputus dengan cara memberikan
hukuman pidana.
Jadi, tujuan penindakan pidana pajak
sebagai cara terakhir memperbaiki perilaku wajib pajak (ultimum remidium) adalah membuat wajib pajak lebih patuh terhadap
aturan perpajakan dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) kepada para pelanggar peraturan perpajakan. Bukan
hanya terhadap wajib pajak sebagai pelaku, namun juga wakil, kuasa, pegawai
dari wajib pajak, dan pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta
melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Namun, upaya DJP melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hendaknya tidak semata-mata
memenuhi target kuantitas saja. Agar menimbulkan efek jera dan meningkatkan
kepatuhan wajib pajak, perlu dilakukan upaya-upaya mendorong efektivitas
penyidikan pajak. Pertama, menambah
personel penyidik pajak. Jumlah penyidik pajak aktif di DJP saat ini sebanyak
645 orang dari total 1.477 pegawai yang sudah mengikuti pendidikan dan
dilantik. Itu artinya masih banyak tenaga terdidik yang belum digunakan
sepenuhnya dalam upaya penegakan hukum pajak. Ibarat anak panah, para penyidik
ini tinggal menunggu kapan ia akan dilepas dari busurnya untuk menancap ke sasaran.
Kedua, mengintensifkan pelaksanaan
penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang pidana asalnya (predicate crime) berupa tindak pidana di
bidang perpajakan. Kerja sama dengan OJK dan PPATK dalam penegakan hukum dan
pertukaran informasi perlu terus ditingkatkan. Ketiga, mengintensifkan penyidikan kasus tindak pidana perpajakan
terhadap pengguna faktur pajak TBTS karena biasanya melibatkan banyak pihak. Keempat, meningkatkan koordinasi dengan
Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polri dan Kejaksanaan dalam
kegiatan penyidikan. Kelima,
meningkatkan kapasitas jaksa melalui penyelenggaraan diklat perpajakan untuk
membantu jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana pajak. Keenam, dukungan tenaga forensik digital
dalam proses penyidikan terutama dalam pengumpulan dan pengolahan barang bukti
digital.
Di lapangan, penindakan kasus pidana
pajak bukan tanpa kendala. Perlawanan wajib pajak bisa dilakukan dalam berbagai
bentuk dan cara mulai dari mempersoalkan hal-hal yang bersifat administratif
sampai melaporkan penyidik pajak ke kepolisian. Target utamanya jelas: menggagalkan tindakan penyidikan. Padahal
Pasal 36A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyatakan bahwa
pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila
dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebagai negara yang besar, kita
membutuhkan biaya pembangunan yang tidak sedikit. Tahun 2019 pemerintah
menargetkan belanja negara sebesar Rp2,461,1 triliun. Sebagaimana dikemukakan
di awal tulisan, pajak diharapkan mampu memberi kontribusi penerimaan sebesar
Rp1.577,6 triliun. Sementara di tahun 2020, pemerintah menargetkan belanja
negara sebesar Rp2.540,4 triliun, dan Rp1.861,8 triliun di antaranya disokong
oleh penerimaan pajak.
Tindak pidana pajak bukan saja
merugikan penerimaan negara, tetapi juga mereka yang berhak atas kesejahteraan
dan pelayanan dari negara. Maka, setiap pelaku kejahatan tindak pidana pajak
sudah selayaknya mendapatkan hukuman agar memberikan efek jera bagi siapapun
baik pelaku maupun orang yang turut serta melakukan tindak pidana. Kepatuhan
wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sangat diharapkan dalam
rangka mendukung tercapainya penerimaan negara. Semoga Dirjen Pajak mampu
menjalankan tugas dengan amanah dan dapat memenuhi harapan masyarakat dalam
mengamankan penerimaan pajak. Selamat bertugas, Pak Suryo Utomo.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap
instansi penulis bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar