Oleh: Abdul Hofir. Penulis adalah
pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Dimuat di harian Solopos tanggal 1
September 2015
Solopos.com, SOLO — Akhir-akhir ini
bergulir petisi online mendukung penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) buku
dan pajak penghasilan (PPh) royalti. Ini bermula dari surat terbuka Yeni Mulati
alias Afifah Afra (selanjutnya saya sebut Yeni), seorang penulis yang aktif di
Forum Lingkar Pena, kepada Menteri Keuangan.
Surat terbuka itu berkaitan dengan
penerbitan Peraturan Menteri Keuangan No. 158/PMK.010/2015 tanggal 12 Agustus
2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang Tidak Dikenai PPN.
Yeni berpendapat ketika jasa
kesenian dan hiburan tidak dikenai PPN, mengapa buku sebagai sumber ilmu dan
pendidikan justru dikenai PPN? Surat tersebut berbuah petisi di
http://www.change.org yang hingga saat tulisan ini dibuat sudah didukung lebih
dari 2.000 pendukung.
Surat terbuka tersebut muncul
dilatarbelakangi keresahan Yeni selaku penulis yang merasa terbebani pemotongan
PPh atas royalti penulisan buku yang diperoleh dari penerbit. Saat buku dijual
di pasaran, buku tersebut dikenai PPN sebesar 10% dari harga jual.
Yeni beralasan budaya membaca di
kalangan masyarakat kita belum terbentuk dan daya beli masyarakat semakin
rendah. Pengenaan PPN atas buku semakin memberatkan konsumen sehingga buku
seolah-olah menjadi barang mewah.
Di samping itu, pengenaan PPh atas
royalti juga membebani penulis mengingat pekerjaan menulis bukanlah pekerjaan
yang ringan. Perlu pengorbanan waktu siang malam, penelitian/survei, dan
sebagainya.
Tulisan ini mencoba mengulas
mengenai aspek perpajakan apa yang relevan dengan dunia penerbitan (buku) serta
hubungannya dengan PMK 158/PMK.010/2015. Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah
menghadapi masukan masyarakat yang meminta penghapusan PPN buku dan PPh
royalti?
Sebelum itu, ada beberapa konsep
dasar yang perlu kita pahami bersama. Pertama,
dari sisi yang memungut, pajak yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi dua:
pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat terdiri atas PPh, PPN, pajak
pertambahan nilai barang mewah (PPNBM), dan pajak bumi dan bangunan atau PBB
(selain PBB perdesaan dan perkotaan).
Pajak daerah terdiri atas pajak
provinsi seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor,
dan pajak rokok; serta pajak kabupaten/kota seperti pajak hotel, pajak
restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, PBB perdesaan
dan perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
PPN merupakan pajak pusat yang
ketentuannya diatur dalam UU No. 8/1983 tentang PPN dan PPnBM yang diubah
terakhir dengan UU No. 42/2009 (dapat disebut juga sebagai UU PPN 1984).
Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984
mengatur 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN, di antaranya jasa pelayanan
kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keagamaan, jasa pendidikan, dan
jasa kesenian dan hiburan. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui jasa
kesenian dan hiburan memang tidak dikenai PPN.
Dengan kata lain, jasa tersebut
bukan objek PPN. Alasannya, jasa kesenian dan hiburan merupakan objek pajak
daerah, yaitu pajak hiburan yang diatur di dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Kedua, PMK 158/PMK.010/2015 bukanlah
ketentuan baru. PMK ini hanya mempertegas ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Pasal 1 PMK 158 menyatakan jasa tertentu dalam kelompok jasa kesenian dan
hiburan termasuk dalam jenis jasa yang
tidak dikenai pajak pertambahan nilai.
Kalimat ini selaras dengan ketentuan
Pasal 4A ayat (3) UU PPN 1984. Tidak ada maksud pemerintah untuk
mendiskriminasi wajib pajak dengan memberi fasilitas PPN atas jasa kesenian dan
hiburan karena masih banyak jasa-jasa lain yang juga tidak dikenai PPN.
Ketiga, terdapat barang kena pajak yang
semestinya dikenai PPN tapi karena pertimbangan tertentu diberikan fasilitas
pembebasan PPN, seperti buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku agama.
Mengenai hal ini, telah terbit PMK
No. 122/PMK.011/2013 tentang Buku-Buku Pelajaran Umum, Kitab Suci, dan
Buku-buku Pelajaran Agama yang Atas Impor dan/atau Penyerahannya Dibebaskan
dari Pengenaan PPN.
Suatu buku dikategorikan sebagai
buku pelajaran umum dan agama apabila buku tersebut merupakan buku-buku fiksi
dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa, yang
merupakan buku-buku pelajaran pokok, penunjang, dan kepustakaan.
Selain itu, buku dikategorikan
sebagai bukan buku pelajaran umum maupun buku agama, termasuk di antaranya buku
hiburan, buku musik, buku roman populer, buku katalog di luar keperluan
pendidikan, buku karikatur, buku komik, dan buku reproduksi lukisan.
Mungkinkah PPN atas buku secara
keseluruhan dibebaskan? Dalam soal PPN berlaku kaidah: semua barang dan jasa
dipungut PPN kecuali undang-undang menyebutkan lain, misalnya UU PPN 1984
menyebutkan jenis-jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Barang-barang itu seperti barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras, gabah, jagung,
sagu, kedelai, garam, dan sebagainya), serta barang hasil pertambangan atau
hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (minyak mentah, gas bumi,
batubara sebelum diproses menjadi briket batubara dan sebagainya).
Selain itu, beberapa barang kena
pajak mendapatkan fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan seperti buku
pelajaran umum, kitab suci, dan buku agama.
Mutu
Pendidikan
Tujuan pemberian fasilitas adalah
untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan membantu tersedianya buku pelajaran
umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau
masyarakat.
Jika pengenaan PPN atas buku selain
buku pelajaran umum dan buku agama dianggap memberatkan, PMK No.
122/PMK.011/2013 memberikan solusi agar buku-buku tersebut disahkan sebagai
buku pelajaran umum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh menteri dimaksud.
Pembebasan atau penghapusan PPN atas
buku secara keseluruhan sulit dilakukan karena selain buku adalah barang kena
pajak menurut UU PPN 1984, penerimaan pajak dari PPN menempati porsi yang
strategis dalam anggaran pendapatan dna belanja Negara (APBN). Pemerintah
berkepentingan mengamankan penerimaan pajak dari sektor ini.
Bagaimana dengan PPh royalti? Dalam
konteks penerbitan buku, royalti bermakna uang jasa yang dibayar oleh penerbit
kepada pengarang untuk setiap buku yang diterbitkan.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h
UU No. 7/1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No. 36/2008 (selanjutnya disebut UU PPh 1984) memberikan
contoh royalti sebagai imbalan atas penggunaan atau hak menggunakan hak cipta
di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model,
rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial, atau hak serupa lainnya.
Oleh karena dimensi royalti yang
luas dan beragam, pembebasan PPh atas royalti penulis sebagaimana dimaksud
dalam petisi pada permulaan tulisan ini akan dapat menimbulkan ketidakadilan
karena tidak adanya equal treatment dengan jenis royalti lainnya.
Bagaimana mekanisme pembayaran PPh
royalti? Pajak di Indonesia menganut sistem self assessment yang mengandung
arti wajib pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Terdapat dua cara pembayaran PPh
yaitu menyetor sendiri dan melalui pemotongan oleh pihak lain. Royalti
merupakan objek PPh yang pembayarannya dilakukan melalui cara kedua, yaitu
pihak yang membayarkan royalti (perusahaan penerbit) memotong PPh atas royalti
yang diterima penulis.
Royalti merupakan beban perusahaan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan di sisi lain merupakan
penghasilan penulis sehingga PPh atas royalti sebenarnya bukan merupakan beban
perusahaan penerbit, melainkan pembayaran pajak di muka yang dapat dikreditkan
dari pajak penulis yang bersangkutan pada akhir tahun saat melaporkan seluruh
penghasilannya dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh.
Perusahaan penerbit pada akhir tahun
pajak juga melaporkan kepada kantor pajak berapa penghasilan neto (laba) yang
diperoleh. Atas laba tersebut dikenakan PPh sebesar 25%. Ketentuan ini tidak
berlaku apabila perusahaan penerbit memilih menggunakan mekanisme sebagaimana
diatur dalam PP No. 46/2013.
Berdasarkan PP ini, perusahaan dapat
membayar kewajiban pajaknya sebesar 1% dari jumlah peredaran bruto (omzet)
tanpa memperhitungkan berapa biaya yang dikeluarkan. Kita harus memahami benar
bahwa antara pribadi penulis yang memperoleh royalti dan perusahaan penerbit adalah
dua entitas yang berbeda.
Kewajiban perpajakannya pun berbeda.
Keberatan Yeni yang saya kutip di awal tulisan ini tampaknya disebabkan
kerancuan pemahaman mengenai pemisahan entitas perusahaan dan pribadi sehingga
timbul kesan bahwa atas buku yang terbit dari perusahaan penerbitan dikenai
pajak berkali-kali, yaitu PPh 1% dari peredaran bruto, PPh atas royalti, dan
PPN 10%.
Ketiganya tidaklah sama. PPh 1% dari
peredaran bruto (omzet) atau 25% dari penghasilan neto (laba) dikenakan pada
level perusahaan penerbit, royalti dikenakan atas penghasilan penulis,
sementara PPN dikenakan atas penjualan buku kepada konsumen.
Beban PPN ada pada konsumen akhir
sedangkan perusahaan penerbit atau penjual buku hanya membantu pemerintah
memungut pajak atas buku tersebut. Demikian, semoga dapat dipahami.
(Tulisan
ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili institusi Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar