Oleh: Abdul Hofir, Pegawai
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di Jakarta
Dimuat di harian Solopos tanggal 16
April 2015
Esai Muhammad Aslam di Solopos edisi
13 April 2015 berjudul Remunerasi Pegawai Sektor Perpajakan mengandung beberapa
hal yang menurut saya perlu diperjelas dan diberi tanggapan seperlunya agar
tidak dipahami secara salah. Pemahaman yang salah dapat berakibat pengambilan
sikap dan tindakan yang kurang tepat.
Beberapa hal tersebut di antaranya, pertama, “Pegawai Ditjen Pajak bukanlah
satu-satunya elemen mutlak yang berperan dalam kesuksesan mencapai target
penerimaan pajak... Ada kerelaan dan kesadaran wajib pajak... peran karyawan
divisi pajak dan konsultan pajak juga tidak boleh dikesampingkan... Mereka
bekerja sama dan bahu-membahu melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Dalam sistem perpajakan, terdapat
tiga unsur utama agar pajak dapat dilaksanakan secara efektif: (1) kebijakan
perpajakan, (2) undang-undang perpajakan, dan (3) administrasi perpajakan
(Prof. R. Mansury, Ph.D, 2002:3). Kebijakan perpajakan mengacu pada
pilihan-pilihan yang diambil pemerintah berkaitan dengan subjek pajak, objek pajak,
tarif, dan prosedur pajak.
Undang-undang perpajakan harus
diartikan sebagai perangkat peraturan yang terdiri dari undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya. Sesuai Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Kita tahu dalam sistem
ketatanegaraan kita, undang-undang merupakan produk bersama antara pemerintah
dan DPR sebagai representasi masyarakat. Ini berarti undang-undang selain
sebagai aturan yang harus dipegang bersama antara pemerintah dan masyarakat,
juga berfungsi sebagai salah satu alat kebijakan perpajakan.
Administrasi perpajakan memiliki
tiga pengertian: (1) instansi atau badan yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab menyelenggarakan pemungutan pajak, (2) orang-orang yang terdiri dari
pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi perpajakan, dan (3) proses
kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak. Dengan demikian, dapat kita pahami
pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) memang
hanya salah satu elemen dalam kesuksesan pencapaian penerimaan pajak.
Jika dalam kondisi ekstrem
masyarakat seluruh Indonesia tidak membayar pajak, sudah pasti target
penerimaan pajak tidak akan tercapai. Sama seperti tim sepak bola yang hanya
mengandalkan kehebatan pelatih tanpa didukung oleh kualitas dan semangat para
pemainnya, tim tidak akan ada artinya.
Apakah kondisi demikian yang kita
harapkan? Tentu saja tidak. Pajak ibarat darah dalam tubuh manusia yang
berperan mendistribusikan nutrisi yang dibutuhkan ke seluruh tubuh. Pajak
dibutuhkan untuk menjadi bahan dasar distribusi pembangunan ke seluruh sektor
dan dan pelaksana pembangunan. Gaji pegawai negeri, tentara, polisi,
pembangunan sarana dan prasarana, subsidi, kesehatan, pembayaran utang
pemerintah, dan keperluan lainnya yang diselenggarakan pemerintah memerlukan dana
yang utamanya bersumber dari pajak.
Dengan pemahaman semacam ini,
mestinya kesadaran membayar pajak dimiliki oleh seluruh elemen bangsa, bukan
hanya pengusaha/perusahaan. Kesadaran itulah yang akan membimbing kita
melaksanakan kewajiban dan hak perpajakan secara benar, bahu-membahu antara
administrasi perpajakan dan masyarakat perpajakan termasuk wajib pajak dan
konsultan pajak.
Kedua, “Terbitnya Perpres 37/2015
menunjukkan kesejahteraan pegawai Ditjen Pajak sangat diperhatikan
pemerintah... Karyawan divisi pajak perusahaan swasta dan konsultan pajak
diabaikan peran dan kontribusinya baik sebagai pelaksana peraturan
perundang-undangan perpajakan maupun sebagai masyarakat pembayar pajak.”
Menurut Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Definisi tersebut—termasuk juga
makna pajak di banyak negara—secara tegas menyatakan bahwa timbal balik atau
imbalan dari membayar pajak tidak diberikan secara langsung sebagaimana ketika
kita membayar retribusi. Masyarakat luas yang akan merasakan manfaat pajak yang
dihimpun oleh DJP Kemenkeu dalam bentuk penyediaan saranan fisik dan fasilitas
yang dibutuhkan oleh warga negara.
Jadi, pernyataan tentang
kesejahteraan pegawai divisi pajak perusahaan swasta dan konsultan pajak
bertentangan dengan makna pajak yang dianut banyak negara, karena tidak ada
imbalan dalam bentuk bonus atau sejenisnya yang diberikan secara langsung
kepada pembayar pajak.
Selain itu, Pasal 80 UU 5/2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menyebutkan PNS selain mendapatkan gaji
juga mendapat tunjangan yang terdiri dari tunjangan kinerja dan tunjangan
kemahalan. Tunjangan kinerja diberikan sesuai capaian kinerja setiap pegawai
dengan memperhatikan beban kerja dan risiko. Pemberian tunjangan kinerja kepada
pegawai DJP Kemenkeu dimaksudkan selain sebagai bentuk imbalan atas kinerja
juga harus dipandang sebagai upaya menutup celah penyimpangan yang dapat
timbul, meskipun untuk alasan yang terakhir bisa saja bersifat relatif.
Ketiga, “Menurut saya, pemerintah
seharusnya memberikan remunerasi/ bonus kepada karyawan divisi pajak perusahaan
swasta dan/atau konsultan pajak saat tahun pajak sudah memasuki kadaluwarsa...
Jika dalam jangka waktu lima tahun tidak ada pemeriksaan pajak atau ketetapan
pajak dari Ditjen Pajak, laporan wajib pajak dianggap benar dan sudah
melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku... rapelan remunerasi/bonus nilainya setara dan disesuaikan dengan
tingkat/golongan pegawai/pejabat di lingkungan Ditjen Pajak.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata remunerasi berarti pembelian hadiah (penghargaan atas jasa dan sebagainya)
atau imbalan. Contoh: pemerintah menetapkan peraturan khusus mengenai
remunerasi kepada pegawai negeri. Remunerasi diberikan berdasarkan capaian
kinerja sesuai dengan beban kerja dan risiko yang ditanggung pegawai. Sistem
ini dinilai lebih adil karena memberikan imbalan kepada pegawai menurut beban
kerja, risiko, dan kinerja yang dihasilkan dengan memperhatikan peringkat
jabatan (grade) pegawai.
DJP Kemenkeu menerapkan sistem
remunerasi sebagai bentuk imbalan kepada pegawai sejak bergulir moderinsasi
administrasi perpajakan dengan dibentuknya Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak
Besar (KPP WP Besar pada tahun 2002) yang kemudian diberlakukan secara nasional
pada akhir 2007. Sulit Disamakan Pengaturan penghasilan pegawai termasuk
remunerasi antara PNS DJP Kemenkeu dan pegawai swasta sulit disamakan. Selain
sumber dana dan regulasi (menyangkut kepegawaian dan keuangan) yang berbeda,
keduanya memiliki tujuan yang tidak sama.
Pegawai DJP Kemenkeu punya tugas
utama menghimpun penerimaan pajak nasional, sedangkan divisi pajak swasta
dan/atau konsultan pajak punya kepentingan menghemat pembayaran pajak baik
secara legal melalui tax plan maupun
secara ilegal melalui penggelapan pajak (tax
evasion).
Perpajakan di negara kita menganut
sistem self assessment yang berarti wajib pajak diberikan kepercayaan penuh
untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya.
Pemeriksaan yang dilakukan DJP Kemenkeu bertujuan terutama untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan (compliance
audit). Jika terbukti ada kekurang pembayaran, DJP Kemenkeu dapat
menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.
Wajib pajak yang tidak diperiksa dalam
waktu lima tahun belum tentu tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakannya, melainkan akibat keterbatasan yang dimiliki oleh DJP baik dalam
hal jumlah pemeriksa maupun ruang lingkup pemeriksaan yang dilakukan. Terhadap
wajib pajak yang demikian, negara memberikan apresiasi dengan memberikan
kepastian hukum bahwa data yang disajikan dalam surat pem-beritahuan (SPT)
menjadi pasti.
Keempat, “Jika kesimpulan pemeriksaan pajak
dari Ditjen Pajak ada kurang bayar pajak maksimal 5% dari total pajak yang
terutang pada tahun yang diperiksa Ditjen Pajak, seluruh karyawan divisi pajak
perusahaan swasta yang diperiksa dan/atau konsultan pajaknya tetap berhak
memperoleh remunerasi/ bonus tersebut.”
Pernyataan ini barangkali linier
dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan apabila dalam waktu lima tahun wajib
pajak tidak diperiksa, dia dianggap berprestasi karena data dalam SPT dianggap
benar (datanya menjadi pasti) sehingga layak mendapatkan bonus. Demikian juga
dalam hal terdapat temuan yang berakibat pada kekurangan pembayaran pajak,
sepanjang tidak melebihi 5% juga dianggap berprestasi.
Saya tidak mengetahui landasan
ilmiah pernyataan ini selain barangkali hanya anggapan saja, baik dalam konteks
penetapan persentase kurang bayar maupun dasar perolehan bonus.
Kelima, “Perpres No. 37/2015 ini tidak
hanya diskriminatif bagi praktisi perpajakan swasta. Perpres ini juga
diskriminatif bagi pegawai negeri sipil (PNS) di instansi lain... Remunerasi
berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan perlakuan diskriminatif terhadap
instansi lain yang tidak memperoleh remunerasi terutama bagi guru dan prajurit
TNI serta anggota Polri.”
Berdasarkan uraian di atas,
remunerasi bukan barang baru dalam dunia pegawai negeri sipil. Kementerian
Agama, misalnya, mendapatkan alokasi remunerasi Rp2,8 triliun. Demikian juga
TNI dan institusi lainnya. Dengan demikian, adalah tidak benar jika remunerasi
yang diberikan kepada pegawai DJP Kemenkeu sebagai bentuk diskriminasi,
melainkan imbalan yang pantas diterima sesuai dengan capaian kinerja.
Perpres 37/2015 juga secara tegas
mengatur adanya punishment dalam
bentuk penurunan tunjangan kinerja jika ternyata DJP Kemenkeu gagal mencapai
kinerja penerimaan pajak nasional. Menghimpun penerimaan negara dari pajak
bukan tugas yang mudah.
Aparat pajak berhadapan tidak saja
dengan tabiat manusia yang tidak suka dipungut pajak, tapi juga dengan
celah-celah yang timbul dan dimiliki peraturan perpajakan kita yang banyak
dimanfaatkan oleh wajib pajak. Hal ini sudah diakui dan banyak dikaji secara
akademis. Belum lagi tekanan politik penguasa dan legislatif yang tidak jarang
justru berakibat pada penurunan jumlah penerimaan pajak.
Masyarakat semestinya mendukung
upaya memperkuat institusi pajak negara kita seperti negara lain dalam bentuk
tax authority yang langsung bertanggung jawab kepada kepala negara, bukan
lembaga setingkat eselon I seperti DJP Kemenkeu. Tentu semuanya kembali kepada
keputusan politik antara pemerintah dan legislatif.
Masyarakat sangat berharap
penerimaan pajak tercapai dengan jaminan kesejahteraan terwujud sebagaimana
janji pemerintah khususnya presiden pada waktu kampanye dulu. Ini berarti kita
mempunyai keinginan yang sama agar target penerimaan pajak menurut APBN-P 2015
senilai Rp1.489,3 triliun dapat tercapai.
Namun, aneh bin ajaib, rencana
pemerintah melakukan sejumlah langkah meningkatkan penerimaan pajak seperti
kebijakan pelaporan bukti pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas bunga
deposito harus dicabut lantaran dinilai melanggar UU Perbankan. Perhitungan DJP
Kemenkeu, kebijakan tersebut berpotensi menambah peneri-maan pajak hingga
senilai Rp 1,25 triliun.
Penerapan pajak pertambahan nilai
(PPN) atas jasa layanan jalan tol sebesar 10% juga tertunda dari jadwal 1
April. DJP Kemenkeu sudah mengeluarkan aturan yang melandasinya, hal itu
dibatalkan atas instruksi Presiden Joko Widodo karena waktu pelak-sanaannya
dinilai kurang tepat. Belum lagi objek pajak lainnya yang semestinya dikenakan
pajak malah mendapatkan fasilitas bebas pajak.
Paradoks seperti ini menunjukkan
cara pandang masyarakat yang hipokrit. Di satu sisi tidak mau membayar atau
dikenai pajak, sementara di sisi lain ingin agar penerimaan pajak tercapai.
Inilah tanggung jawab kita bersama
dan kewajiban pemerintah khususnya presiden sebagai kepala negara untuk
memikirkan bagaimana caranya agar DJP Kemenkeu sebagai institusi pemungut pajak
lebih kuat dan didukung instansi pemerintah lainnya dan masyarakat pada
umumnya.
(Naskah
ini pendapat pribadi, tidak mengatasnamakan institusi Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan).
EKolom GAGASAN Harian SOLOPOS, 16 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar