Selasa, 11 April 2023

Pajak Penghasilan Tak Adil, Benarkah?

 Dimuat di harian Padang Ekspres edisi 14 Januari 2023

John Adam Smith, seorang ilmuwan berkebangsaan Skotlandia (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (lebih dikenal dengan Wealth of Nations) mengemukakan teori tentang prinsip-prinsip pemungutan pajak yang kemudian dikenal dengan four maxims



 

Pertama, equity atau keadilan. Artinya, pemungutan pajak harus didasarkan pada asas keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Prinsip kedua adalah certainty: pengenaan pajak harus memperhatikan kepastian hukum. Pajak tidak boleh dikenakan secara semena-mena, tapi harus berdasarkan undang-undang seperti amanah Pasal 23A UUD 1945.

Prinsip ketiga adalah convenience of payment. Pajak dikenakan pada saat yang tepat yaitu ketika seseorang sedang mempunyai penghasilan. Jangan mengenakan pajak ketika seseorang sedang tidak mempunyai apa-apa. Prinsip keempat adalah efficiency. Melalui prinsip ini, biaya yang dikeluarkan untuk memungut pajak tidak boleh lebih besar daripada pajak yang dipungut.

Karena keterbatasan ruang, saya ingin membahas prinsip pertama: keadilan. Ini sekaligus menyikapi kegundahan sebagian masyarakat berpenghasilan rendah yang mengemuka melalui pertanyaan, misalnya, “Apakah benar gaji Rp5 juta kena pajak?”

Setidaknya ada dua instrumen dalam pajak penghasilan (PPh) yang berguna dalam menciptakan prinsip keadilan yaitu penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan tarif berlapis bagi wajib pajak orang pribadi.

PTKP merupakan batasan untuk menentukan apakah penghasilan seseorang dikenai PPh atau tidak. Ini sama dengan nishab dalam penghitungan zakat. Sehingga seseorang dengan penghasilan di bawah PTKP tidak akan dikenai pajak alias nihil.

PTKP dibuat dengan mempertimbangkan perkembangan di bidang ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok yang biasanya semakin meningkat. Terdapat empat peruntukan PTKP: untuk diri wajib pajak, tambahan bagi wajib pajak dengan status kawin, tambahan untuk wajib pajak yang istrinya berpenghasilan dan penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, serta untuk tanggungan wajib pajak.

Besaran PTKP ditetapkan oleh undang-undang. Namun, UU memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat penyesuaian besarnya PTKP sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU PPh.

Sebelum UU HPP terbit, telah ada Peraturan Menkeu Nomor 101/PMK.010/2016 yang mengubah besaran PTKP menjadi sebagai berikut.

PTKP untuk diri wajib pajak adalah Rp54 juta setahun atau rata-rata Rp4,5 juta sebulan. Jika wajib pajak sudah menikah, ada tambahan PTKP sebesar Rp4,5 juta setahun. Dengan demikian, PTKP untuk seseorang berstatus kawin menjadi Rp58,5 juta setahun atau rata-rata Rp4.875.000,00 sebulan.

PTKP makin bertambah jika seseorang memiliki istri yang berpenghasilan dan penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. Nilai tambahannya mencapai Rp54 setahun. Dengan demikian, total PTKP menjadi Rp112,5 juta setahun.

Terakhir, PTKP bertambah jika wajib pajak memiliki anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak tiga orang, dengan tambahan PTKP sebesar Rp4,5 juta per orang setahun.

Besarnya PTKP seperti di atas kemudian dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU HPP. Jadi, sebetulnya PTKP di UU HPP hanya merupakan formalitas dari praktik yang selama ini sudah berjalan sejak 2016. Itu pun masih mungkin dilakukan penyesuaian (baca: penambahan) dengan Peraturan Menkeu setelah dikonsultasikan dengan DPR RI.

Makin tinggi beban seseorang makin tinggi pula PTKP. Berarti, margin penghasilan yang dapat dikenai pajak (dikenal dengan penghasilan kena paja) makin kecil sehingga PPh-nya juga semakin kecil.

Kedua, tarif pajak progresif. Kebijakan ini menetapkan bahwa makin tinggi penghasilan kena pajak makin tinggi pula tarif pajaknya. Melalui UU HPP, tarif PPh ditetapkan sebanyak 5 lapis tarif.

Lapisan kesatu untuk penghasilan kena pajak (PKP) s.d. Rp60 juta tarif pajaknya 5%. Untuk PKP di atas Rp60 juta s.d. Rp250 juta tarifnya 15%. PKP di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta tarifnya 25%, di atas Rp500 juta s.d. Rp5 miliar tarifnya 30%, dan di atas Rp5 miliar tarifnya 35%.

Ada perubahan yang cukup signifikan dalam penetapan lapisan tarif pasca-UU HPP di atas. Pertama mengenai pengenaan tarif 5% untuk PKP s.d. Rp60 juta. Sebelum UU HPP, batasan PKP hanya sampai dengan Rp50 juta. Artinya, PKP di atas Rp50 juta dikenai PPh dengan lapisan tarif kedua. Melalui UU HPP, tarifnya tetap 5% asalkan PKP-nya tidak melebihi Rp60 juta.

Apa makna perubahan tersebut? Menurut saya, ini bentuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.

Perubahan kedua mengenai lapisan tarif keempat menjadi sebesar 35%. Sebelum UU HPP, hanya ada empat lapisan tarif. Tertinggi adalah tarif 30% untuk PKP di atas Rp500 juta. Kini, tarifnya naik menjadi 35% untuk PKP di atas Rp5 miliar. Terlihat sekali bahwa pemerintah ingin menyasar wajib pajak pribadi kaya dengan mengenakan pajak bertarif tinggi.

Baik menaikkan PTKP maupun mereformasi lapisan tarif PPh, keduanya mempunyai maksud untuk meningkatkan penerimaan PPh. Di sisi lain, pemerintah ingin melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperlebar batasan tarif 5% dari semula Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Inilah upaya kita bersama untuk lebih menciptakan keadilan dalam pengenaan pajak.

Jadi, jika kembali ke pertanyaan, “Apakah benar gaji Rp5 juta kena pajak?” Jawabannya sangat bergantung pada kondisi wajib pajak. Apakah ia berstatus bujang, sudah menikah, memiliki tanggunggan, atau tidak? Kondisi subjektif seseorang akan sangat menentukan.

Tidak ada seorang pun yang rela dikenai pajak. Namun, jika peraturan mengharuskan demikian, tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti ketentuan yang ada. Karena bagaimana pun, undang-undang yang menjadi dasar pemungutan pajak adalah produk hukum yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat.

Terakhir, saya ingin mengutip terjemah Al-Qur’an surat At Taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan itu akan membersihkan dan menyucikan mereka. Dan doakanlah mereka. Sesungguhnya, doa engkau (menjadi) ketenteraman jiwa untuk mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Mengambil pelajaran dari ayat ini, sewajarnya pemerintah memberikan apresiasi kepada masyarakat yang patuh membayar dan melaporkan pajaknya. Setidaknya, sampaikan terima kasih bahwa pajak yang mereka bayar benar-benar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran bangsa. Adil, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar