Alunan adzan Zulfikar terdengar sangat merdu. Suaranya lantang dibantu oleh pengeras suara mushalla. Anak berusia 12 tahun itu belajar adzan dari kakaknya, Munawir, yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Cikura, Bojong. Namun sayang, speaker toa yang sudah sember karena usia itu menyebabkan suara sang muadzin seperti habis makan gorengan. Serak dan sulit dikendalikan.
“Suarane sapa sih kae, kayong apik nemen,” Yu Saprah berujar kepada Suci, adiknya, yang duduk di depannya. Ia sedang asyik mencari kutu di rambut Suci.
(Suara siapa sih itu, sepertinya merdu sekali).
“Kae ta suarane Pikar, owh. Adine Nawir sing gemiyen nyantri ning Cikura,” jawab Suci.
(Itu sih suara Pikar. Adik Nawir yang dulu nyantri di Cikura). Yang dimaksud dengan Pikar adalah Zulfikar.
Namun, kedua kakak beradik itu tak menghentikan aktivitasnya. Satu-dua kutu yang didapat diletakkan di atas kuku jempol tangan kiri lalu dihimpit dengan kuku jempol tangan kanan. Suara “tes” berbunyi nyaring. Menandakan kutu mati dibunuh sang pemburu.
Suara merdu dari Mushalla An Nur di Dukuh Sidamulya itu sayup-sayup terdengar bahkan hingga ke desa tetangganya, Dermasuci. Kedua tempat itu sama-sama berada di dekat Bukit Sitanjung, Lebaksiu. Bedanya, jalanan di Desa Dermasuci lebih bagus dibandingkan Dukuh Sidamulya yang masih dikelilingi lumpur dan tanah liat. Jalan yang licin tidak mudah dilewati kendaraan, bahkan roda dua sekali pun. Alhasil, akses ke Sidamulya seringkali menemui kesulitan.
Usai mengumandangkan adzan, Zulfikar meletakkan mikrofon di meja. Remaja itu mendirikan shalat sunnah 2 rakaat. Kemudian, ia mengambil sapu lidi yang digantung di dinding mushalla. Disapunya karpet mushalla yang mulai tertutup debu dan kotoran.
Sudah sepuluh tahun karpet hijau yang kasar itu tak pernah diganti. Berdebu, keras, meninggalkan bekas di dahi jika dipakai untuk sujud. Seminggu sekali, Zulfikar menyapu karpet itu dengan sapu lidi untuk membersihkan debu dan pasir yang menempel di atasnya. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Namun, tetap saja debu-debu beterbangan serta menyebabkan sesak nafas dan batuk.
Allaahummaghfir lii dzunuubii
Waliwalidayya warhamhumaa
Kamaa robbayaani shoghiiroo
Sinten tiyange kepengin urip berkah
Lan matine pengin husnulkhatimah
Ayo sedulur shalat berjamaah
Melalui pengeras suara mushalla, Zulfikar melantunkan puji-pujian. Mengajak penduduk Dukuh Sidamulya untuk segera bersuci dan datang ke mushalla. Lima kali sehari remaja itu memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah. Ia lakukan itu semua demi menunaikan amanat Munawir, kakaknya, yang saat ini sedang merantau di Ibu Kota.
Sudah hampir empat tahun Munawir merantau ke Jakarta. Atas permintaan Ustadz Ashari, seniornya sewaktu nyantri di Cikura, ia menjadi marbot masjid. Tugasnya menjaga kebersihan masjid termasuk tempat wudhu, taman, dan toilet. Karena bacaan Qur’annya fasih dan memiliki suara yang merdu, Munawir ditunjuk menjadi imam cadangan.
Dari pekerjaannya menjadi marbot masjid, Munawir bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Ia bahkan masih sempat menabung. Sisa uang tabungannya dikirimkan untuk ibunya di Dukuh Sidamulya. Oleh ibunya, uang kiriman Munawir tak semuanya dihabiskan. Ada bagian yang disisihkan untuk biaya pemeliharaan mushalla. Itu karena mushalla yang dibangun dengan swadaya itu tak memiliki pemasukan rutin.
Dengan menyisihkan uang kiriman anaknya, ibunda Munawir berharap suatu saat mushalla bisa memiliki karpet shalat yang bagus. Meski sadar bahwa impiannya masih jauh panggang dari api, ia tak pennah putus asa. Ia yakin uang infak bulannya bisa mewujud menjadi karpet mushalla seperti yang selama ini ia idamkan.
Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa. Demikian janji Allah di dalam Al-Qur’an. Artinya: dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam (meniti jalan) Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Hanya orang-orang seperti ibunda Munawir yang benar-benar peduli pada kemakmuran mushalla. Itulah alasan Zulfikar mau menjalankan amanat kakaknya menjadi muadzin. Ia merasa memiliki dan harus menjaga mushalla itu.
Memasuki bulan Sya’ban, pengurus Masjid Nurul Huda tempat Munawir mengabdikan diri menjadi marbot, mengadakan lelang pengadaan karpet masjid. Pengurus menyepakati pergantian karpet baru yang lebih tebal, lebih halus, dan mudah dibersihkan. Rencana itu harus terealisasi sebelum masuk bulan Ramadan. Pengurus juga menyepakati pembelian penyedot debu. Total biaya yang diperlukan hampir Rp100 juta.
Ada kebingungan mengenai ke mana karpet lama akan ditempatkan. Sebagian pengurus mengusulkan untuk dijual dan uangnya digunakan untuk keperluan masjid. Namun, usul yang berbeda dikemukakan Pak Sastro. Sesepuh masjid itu menyarankan agar karpet lama disumbangkan ke masjid atau mushalla yang lebih memerlukan.
“Sebaiknya kita jangan berpikir melulu soal uang. Kita bisa mencari pemasukan masjid dari sumber yang lalin. Yakinlah, lelang karpet ini akan disambut antusias oleh jamaah. Saya juga yakin kalau karpet lama kita sumbangkan, tak ada yang keberatan,” pungkas Pak Sastro dengan nada pelan namun berwibawa.
Usul itu disetujui mayoritas pengurus dan akhirnya menjadi kesepakatan.
“Lalu, ke mana karpet akan kita berikan?” Pak Wondo bertanya.
“Nawir!” tiba-tiba Ustadz Ashari yang juga senior Munawir di Pesantren Cikura memanggil sang marbot. Ustadz yang dulu mengajak Munawir menjadi marbot di masjid itu punya ide yang menurutnya sangat bagus.
“Bagaimana kalau diberikan untuk mushalla di Dukuh Sidamulya tempat tinggal kamu?” tanya Ustadz Ashari.
“Hah? Serius, Ustadz?” Munawir ragu dengan usul seniornya, “lokasinya sangat jauh dari sini dan pastinya sulit dijangkau.
“Daerah mana itu, Ustadz?” Pak Sastro bertanya.
“Bapak-bapak semuanya,” Ustadz Ashari memberikan penjelasan, “saya paham betul kampung asal Mas Munawir ini. Namanya Dukuh Sidamulya. Daerahnya sangat terisolasi. Tidak mudah untuk menjangkau dukuh tersebut. Dari jalan raya, jaraknya sekitar dua kilometer. Tidak semua alat transportasi bisa masuk ke sana karena jalanannya masih berupa lumpur dan tanah liat.
“Namun, jika bapak-bapak setuju, menyumbang karpet bekas masjid kita ke sana insya Allah akan menjadi amal shalih dan jihad kita fi sabilillah. Di sana penduduk memerlukan karpet masjid yang layak agar bisa digunakan untuk beribadah. Saya dengar dari Munawir, lantai mushalla hanya terbuat dari plester semen dan ditutup dengan karpet hijau yang kasar.
“Jadi, saya berharap bapak-bapak setuju dengan usul saya agar kita sumbangkan karpet bekas masjid kita ke mushalla di Dukuh Sidamulya, tempat asal Mas Munawir.”
Pak Sastro langsung menyambut seruan Ustadz Ashari, “Saya sangat setuju, Ustadz!” diikuti oleh pengurus lainnya. Mendengar itu, mata Munawir berkaca-kaca. Ia sangat berbahagia karena pada akhirnya mushalla di kampungnya akan mendapatkan karpet bagus. Meskipun bekas, kondisinya masih lumayan. Ia membayangkan jamaah mushalla yang banyak dan ingin menikmati empuknya karpet itu ketika digunakan untuk bersujud.
“Allahu akbar,” seru Munawir lirih. Setetes air bening jatuh dari kelopak matanya.
Pada hari yang ditentukan, lima orang utusan masjid termasuk Ustadz Ashari dan Munawir datang ke Dukuh Sidamulya. Mereka menaiki mobil Innova. Karpet yang dibawa diangkut menggunakan mobil L300. Sampai di Tegal, kendaraan bergerak ke arah Slawi kemudian ke tenggara melewati Desa Pener menyusuri Jalan Inspeksi.
Persis sebelum Brug Sunglon, kendaraan berhenti. Ada kesulitan bagaimana karpet dibawa dan sampai ke Dukuh Sidamulya. Bukan karena jalannya yang sempit atau tak bisa dilalui mobil. Jalan yang tersedia di kawasan yang disebut tegalan itu tertutup lumpur dan tanah liat. Tentu sangat berisiko jika mobil dipaksakan melewatinya.
“Masih satu kilometer lagi, Ustadz!” Munawir menjelaskan jarak tempuh hingga ke Dukuh Sidamulya.
“Iya, Munawir. Namun, kalau karpet-karpet ini harus dibawa dengan berjalan kaki dari sini, kita semua akan kesulitan,” kilah Ustadz Ashari.
Mereka bermusyawarah mengenai cara membawa karpet hingga ke mushalla di Dukuh Sidamulya. Akhirnya disepakati bahwa kendaraan akan terus melintas hingga jarak terdekat dengan Dukuh Sidamulya. Dari titik itu, jika pun terpaksa, karpet akan dibawa dengan berjalan kaki.
Kendaraan benar-benar melintasi medan jalan yang berat. Beberapa kali ban mobil mengalami selip. Tanah liat menciprat ke mana-mana. Beruntung, kotorannya tak mengenai karpet yang tertutup rapat di atas bak mobil.
Hingga jarak sekitar 400 meter dari Dukuh Sidamulya, kendaraan berhenti. Para pemuda pedukuhan yang sudah mendengar kabar soal sumbangan karpet itu segera merapat. Mereka terlihat gembira. Karpet-karpet itu diturunkan dan dipanggul satu per satu menuju mushalla. Satu pemuda membawa satu karpet.
Pengurus Masjid Nurul Huda berjalan menuju Mushalla An Nur di Dukuh Sidamulya. Sejauh mata memandang, hanya ada tanaman hutan seperti pakis dan rasamala. Ada sedikit kebun jati dan pohon asam. Ada tebing mengelilingi sawah dan ladang. Tempat itu dulu sering dipakai tentara untuk latihan tembak-menembak.
Para pengurus masjid itu membayangkan bagaimana keseharian penduduk setempat. Bertani, berladang, mencari batu dan pasir di sungai. Tentu kehidupan mereka sangat sulit. Apalagi jika harus memakmurkan tempat ibadah. Sungguh perjuangan yang tidak mudah.
Kedatangan Ustadz Ashari dan rombongan disambut penduduk Sidamulya dengan tangis haru. Selama ini mereka mengidamkan karpet yang bagus untuk mushalla agar orang-orang bisa beribadah dengan lebih khusyuk. Kini, meskipun bekas, karpet itu sudah menjadi pengobat rindu orang-orang untuk shalat di mushalla.
Ibunda Munawir keluar dari rumahnya. Ia menghampiri rombongan pengurus Masjid Nurul Huda. Matanya menangkap sosok anak kesayangannya, Munawir. Perempuan itu memeluk anaknya seolah tak ingin lepas. Orang-orang di sekitarnya memandang dua insan ibu-anak itu dengan pandangan dan rasa haru.
“Terima kasih, anakku. Terima kasih, Pak Ustadz. Allah mengabulkan mimpi saya. Mushalla ini akhirnya memiliki karpet yang sangat bagus,” ibunda Munawir berbicara dengan nada bergetar. Matanya berkaca-kaca.
“Ibu sudah sisihkan uang bulanan kirimanmu, Nak,” ibunda Munawir melanjutkan, “kira-kira berapa harga karpet ini? Biar Ibu bayar dari tabungan infak mushalla kita.”
“Masya Allah,” Pak Sastro mengangkat kedua tangannya menghadap ke langit, “kami sengaja membawa karpet ini dari Jakarta untuk disumbangkan buat mushalla di kampung ini. Semua yang kami bawa ini gratis, Bu.”
“Hah? Gratis? Apakah benar, Nawir?” ibunda Munawir masih belum percaya dengan perkataan Pak Sastro.
“Benar, Bu,” jawab Munawir, “ini adalah karpet yang sebelumnya digunakan di masjid tempat Nawir bekerja. Karena akan diganti dengan yang baru, karpet lama ini disumbangkan untuk mushalla kita.”
“Allahu akbar,” ujar ibundan Munawir, “tapi ini masih seperti karpet baru, anakku!”
Ustadz Ashari menjelaskan, “Mohon maaf, Bu. Kami belum bisa membelikan karpet yang baru. Mudah-mudahan karpet bekas ini bermanfaat buat mushalla, apa namanya, Nawir?”
“An Nur, Ustadz,” jawab Munawir.
“Nah, Mushalla An Nur,” kata Ustadz Ashari sembari tersenyum, “adapun uang infak yang selama ini ada silakan digunakan untuk keperluan lainnya.”
Ibunda Munawir mengucapkan terima kasih kepada semua yang berkenan hadir mengantarkan karpet ‘baru’ itu ke Dukuh Sidamulya. Baginya, itu adalah pemberian yang sangat berharga. Usai menggelar karpet di ruang utama mushalla, rombongan pengurus Masjid Nurul Huda itu meninggalkan Dukuh Sidamulya.
Sebelum meninggalkan pedukuhan, Pak Sastro menyampaikan pesan kepada penduduk Dukuh Sidamulya yang hadir. Ia mengemukakan sebuah usul, “Maaf, Bu. Juga bapak dan ibu semuanya. Kami sadar bahwa pemberian karpet ini bukanlah apa-apa. Namun, insya Allah kami ikhlas melakukannya. Apalagi Mas Nawir adalah orang asli sini. Kalau boleh saya mengusulkan supaya nama mushalla diganti dari An Nur menjadi Al Munawir.”
“Setuju!” para pemuda menjawab serempak sambil pengepalkan tangan ke atas. Untuk kedua kali, ibunda Munawir meneteskan air mata. Tak terkira bahagianya. Doanya agar mushalla memiliki karpet baru terkabulkan. Bahkan nama anaknya pun dijadikan nama mushalla.
Munawir, pemuda yang ketika bersekolah dulu harus berjalan kaki sejauh lima kilometer ke pusat desa tanpa alas kaki, kini namanya abadi menjadi nama mushalla satu-satunya di tempat tinggalnya. Ia berulang-ulang mengucapkan tasbih dan hamdalah.
Rombongan dari Jakarta pergi meninggalkan Mushalla Al Munawir. Menorehkan cerita tentang seorang pemuda dan ibunya yang punya cita-cita mulia memakmurkan rumah Allah di sebuah dukuh terisolasi bernama Sidamulya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar