Gawaiku berbunyi bersamaan dengan getarnya yang khas. Aku lihat sebuah nama tertera di layar: Ibu. Ini pasti sesuatu yang penting. Atau setidaknya bagi aku. Dalam hal apapun, aku selalu mengupayakan untuk mengangkat telepon jika itu dari ibu. Jika pun karena sesuatu hal telepon tidak bisa aku angkat seketika, pada saat-saat berikutnya aku mengupayakan untuk menelpon balik ibu.
“Assalamu’alaikum!”
dari kampung di Jawa suara ibuku menyapa.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku.
“Kamu sehat, Le?” ibu selalu memanggilku dengan ‘thole’ meskipun aku kini sudah beranak tiga. Bahkan usiaku di atas empat puluh tahu. Baginya, aku masih sama seperti anak-anak dulu.
Anak-anakku
sendiri kadang menertawakanku jika mendengar nenek mereka menyapaku demikian.
Bagiku itu bukan masalah. Meskipun aku adalah seorang ayah, aku tetaplah anak
bagi ibuku.
“Alhamdulillah
sehat, Bu. Ibu bagaimana?” sapaku dengan mencoba tersenyum. Mestki hanya
sebatas suara, aku yakin senyumku bisa dirasakan oleh ibu.
“Alhamdulillah
Ibu juga sehat. Cuma kadang lutut suka sakit kalau buat jalan,” ibu lagi-lagi
mengeluh penyakitnya yang belakangan sering kambuh. Ah, seandainya aku di sana,
tangan ini bisa memijit kaki ibu. Paling tidak itu bisa membuat sakitnya lebih
ringan. Maafkan aku, ibu.
Dulu
ibu pernah diperiksa dokter. Kata dokter, sakit di persendian khususnya di
bagian lutut disebabkan kelebihan berat badan. Ibuku diminta untuk diet. Setelah
aku telisik, ibu memang suka minum teh manis terutama kalau sehabis makan nasi.
Konon, kelebihan gula akan disimpan tubuh dalam bentuk lemak.
Tapi,
menurutku dokter hanya mendiagnosis penyakit ibu dari apa yang terlihat. Pun
ibu tidak terus terang kebiasaannya yang menyebabkan sering munculnya sakit di
lutut.
“Ibu
sih masih suka bikin kue. Berdiri terlalu lama di dapur. Kurangi aktivitasnya,
Bu,” aku jadi sok menasihati. Tapi, ibu tidak marah atau tersinggung.
Dari
dulu, ibu punya kebiasaan menjual makanan. Kadang ke pasar, kadang ke sekolah.
Ada saja makanan yang dibuatnya. Kue buatan ibu selalu laku. Itu juga yang
membuatku senang: memiliki ibu yang mahir memasak.
Sekarang,
ibu menjual kue lebaran. Bisnis kecil-kecilan itu mulai digeluti selama lima
tahun belakangan sejak toko sembako milik Hajjah Aminah yang berjarak seratus
meter dari rumah ibu meminta supaya ibu menyediakan kue-kue kering untuk dijual
di toko tersebut.
Menjelang
lebaran, permintaan kue biasanya meningkat. Dengan harga yang disepakati, ibu
menyanggupi permintaan Hajjah Aminah itu.
Dulu,
ibu hanya menjual kue dalam jumlah kecil. Paling-paling 20 toples saja. Kadang
sengaja dibuat untuk dimakan sendiri. Tapi, sejak pesanan meningkat, jumlah kue
yang dibuat bisa sampai 200 toples. Hal itu tentu sangat menguras tenaga,
meskipun ibu dibantu beberapa orang tetangga yang memang tidak mempunyai
pekerjaan.
“Ibu
udah jarang bikin kue kok, Le,” lagi-lagi ibu tak mau berterus terang.
“Lha,
kemarin Tomo kirim foto ke saya,” kataku menyanggah keterangan ibu, “katanya Ibu
barusan beli toples banyak buat kirim kue pesanan.”
Ibu
tertawa. Paham kalau aku sudah mendapatkan info dari sumber tepercaya: Tomo,
adik kandungku. “Itu kan cuma sedikit, Le. Nggak papa kalau sedikit,” elak ibu
sambil tertawa.
Tak
sopan rasanya jika aku terus mendesak dan memaksa ibu mengakui kalau sakit
lututnya disebabkan terlalu banyak aktivitas di dapur. Bagaimana pun, itu
adalah kebiasaan ibu sejak dulu.
Bahkan
ketika menjelang lebaran, ibu nyaris tak tidur malam kecuali satu atau dua jam
saja. Mulai dari memasak opor ayam dan aneka lauk di sore hari, hingga memasak
lontong di malam hari.
Pekerjaan
itu dilakukan tanpa henti. Ibu ingin makanannya terlilhat segar, tidak basi
dikonsumsi esok hari. Makanya, masakan itu dibuat mepet dengan waktu menjelang
shubuh. Aku kadang kasihan. Tapi, ibu tak pernah mengeluh ngantuk atau
kecapekan.
“Ah,
Ibu sukanya gitu. Ya udah, tapi kalau malam pastikan istirahat yang cukup, Bu.
Nanti saya kirim uang buat beli obat atau ke dokter. Minta antar sama Tomo ya,
Bu,” kataku.
“Iyo,
Le. Terima kasih banyak,” kata-kata yang mestinya tak perlu terucap dari
seorang ibu kepada anak. Toh, ibu berhak atas apa yang aku punya. Di luar
kewajibanku memberikan nafkah untuk keluargaku. “Kiriman yang kemarin juga
belum habis kok udah mau dikasih lagi,” sambung ibu.
“Kan
sedikit, Bu,” aku membalikkan kata-kata ibu.
“Itu
banyak, Le. Makanya Ibu mau berterima kasih sama kamu.”
“Nggak
perlu, Bu,” aku merasa malu sekaligus tersanjung mendengar ucapan terima kasih dari
ibu. Justru di sinilah bahayanya ketika seorang anak merasa berjasa kepada
ibunya hanya dengan memberikan sedikit yang dia punya. Sementara dulu ibu rela
memberikan apa saja demi anaknya. Hidup dan matinya ia curahkan untuk kami,
anak-anaknya.
“Ngapain
berterima kasih sih, Bu,” kataku, “lha wong cuma sedikit. Yang penting Ibu jaga
kesehatan. Jangan terlalu capek.”
Ibu
tertawa lagi. Mungkin menganggapku terlalu cepat dewasa. “Ya udah kalau gitu.
Hati-hati di sana yo, Le. Aku doakan semoga kamu tetap sehat. Anak-anakmu juga
sehat semua. Salam buat istri kamu. Aku juga doakan semoga dia tetap sehat.”
“Aamiin.
Terima kasih, Bu.”
“Lebaran
besok pulangnya pas hari apa?” tiba-tiba ibuku menanyakan hal yang tidak aku
duga. Aku juga lupa memberi tahu ibu soal perkembangan terkini mengenai
kebijakan pemerintah yang melarang mudik sebagaimana tahun sebelumnya.
“Saya
masih bingung, Bu. Soalnya sekarang ada masa larangan mudik,” aku menyesal
mengatakan itu kepada ibu. Sudah hampir dua tahun aku tidak pulang ke rumah ibu.
Kali
ini, hal yang sama sepertinya bakal terjadi lagi. Pandemi masih menjadi hantu
di negeri ini. Bahkan hampir di seluruh dunia.
“Maksud
kamu bagaimana?” ibu bertanya memastikan keputusanku.
Aku
mencoba menjelaskan dengan pelan supaya ibu mau mengerti. “PNS nggak boleh
mudik dulu, Bu. Masih pandemi Covid-19.”
“Halah,
opo meneh iki,” ibu sepertinya kecewa. Aku yakin ibu bukan tidak tahu bahwa
saat ini angka Covid-19 masih tinggi. Tapi, ia berharap bahwa itu tak menjadi
penghalang anaknya untuk pulang dan bertemu dengannya.
Ibu,
seandainya engkau tahu, aku juga rindu bertemu dengan ibu. Tapi, aku juga harus
patuh dengan aturan di organisasi tempatku bekerja.
“Kalau
nekad mudik, bisa kena sanksi,” kataku.
“Sanksinya
apa? Dibayar saja. Yang penting kamu bisa pulang, Le,” ibu merespons dengan
cepat kalimatku.
“Sanksinya
disiplin, Bu. Disiplin PNS.”
Disiplin
PNS? Apa lagi? Ah, ibu. Kau mungkin tidak paham dunia birokrasi. Aku juga tidak
ingin memaksamu mengerti tentang dunia pekerjaanku. Aku benar-benar minta maaf.
Sejak
dulu, yang ibu tahu adalah berjualan makanan. Entah di Jakarta atau kini
setelah pulang kampung, sama saja. Berjualan makanan seolah-olah sudah menjadi
kegemarannya.
Di
saat aku masih berpikir bagaimana menjelaskan soal larangan mudik, ibu berkata,
“Ibu pernah dengar kalau pulang kampung nggak papa. Yang dilarang itu mudik.
Apa benar to, Le?”
Ha
ha ha, Ibu bisa saja. Ada saja orang yang membuat perbedaan antara mudik dan
pulang kampung. Padahal, mudik itu artinya pulang ke kampung halaman. Itu versi
KBBI daring, loh. Mau membantah?
Lalu,
bagaimana ceritanya kalau ada yang mengatakan mudik beda dengan pulang kampung?
“Yo wis, intinya PNS dilarang bepergian, Bu,” kataku menjawab pertanyaan ibu.
“Kalau
begitu, Ibu nggak usah masak opor ya?” pertanyaan ibu sontak membuatku terkejut
juga sedih. Sejak kecil aku paling suka opor ayam masakan ibu. Rasanya enak,
apalagi kalau ditambah sambal goreng hati dan remukan krupuk mi dan bawang
goreng. Aromanya makin harum.
“Lha
kan di rumah cuma ada Ibu sama Tomo, adik kamu,” lanjut ibu.
Saya
minta maaf, Bu. Insya Allah setelah masa larangan mudik, saya ambil cuti.
Anak-anak juga sudah kangen sama mbahnya. Sudah bosan di rumah terus katanya.
“Ya
sudah. Kalau lagi repot atau memang aturannya nggak boleh mudik ya jangan
nekad, Le,” ibu mengalah dengan keputusanku. Bagaimana pun, ia paham apa yang
terbaik bagi anaknya.
“Maafkan
Tomi ya, Bu,” kataku dengan air mata berkaca-kaca. Ibu pasti tak tahu perubahan
wajahku setelah mengucapkan kalimat itu.
Saat
emosiku naik, tiba-tiba ibu berkata, “Kamu nggak usah sedih, Le. Ibu nggak
papa. Yang penting kami kamu tidak kena masalah di kantor. Kerja yang benar.
Jaga kesehatan, ya.”
Dari
mana ibu tahu kalau aku tiba-tiba bersedih? Ah, sepertinya ada yang membocorkan
informasi kepada ibu. Entah siapa. Tunggu aku, ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar