Senin, 17 Mei 2021

Tunggu Aku, Ibu

Gawaiku berbunyi bersamaan dengan getarnya yang khas. Aku lihat sebuah nama tertera di layar: Ibu. Ini pasti sesuatu yang penting. Atau setidaknya bagi aku. Dalam hal apapun, aku selalu mengupayakan untuk mengangkat telepon jika itu dari ibu. Jika pun karena sesuatu hal telepon tidak bisa aku angkat seketika, pada saat-saat berikutnya aku mengupayakan untuk menelpon balik ibu.


“Assalamu’alaikum!” dari kampung di Jawa suara ibuku menyapa.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabku.

“Kamu sehat, Le?” ibu selalu memanggilku dengan ‘thole’ meskipun aku kini sudah beranak tiga. Bahkan usiaku di atas empat puluh tahu. Baginya, aku masih sama seperti anak-anak dulu.

Anak-anakku sendiri kadang menertawakanku jika mendengar nenek mereka menyapaku demikian. Bagiku itu bukan masalah. Meskipun aku adalah seorang ayah, aku tetaplah anak bagi ibuku.

“Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu bagaimana?” sapaku dengan mencoba tersenyum. Mestki hanya sebatas suara, aku yakin senyumku bisa dirasakan oleh ibu.

“Alhamdulillah Ibu juga sehat. Cuma kadang lutut suka sakit kalau buat jalan,” ibu lagi-lagi mengeluh penyakitnya yang belakangan sering kambuh. Ah, seandainya aku di sana, tangan ini bisa memijit kaki ibu. Paling tidak itu bisa membuat sakitnya lebih ringan. Maafkan aku, ibu.

Dulu ibu pernah diperiksa dokter. Kata dokter, sakit di persendian khususnya di bagian lutut disebabkan kelebihan berat badan. Ibuku diminta untuk diet. Setelah aku telisik, ibu memang suka minum teh manis terutama kalau sehabis makan nasi. Konon, kelebihan gula akan disimpan tubuh dalam bentuk lemak.

Tapi, menurutku dokter hanya mendiagnosis penyakit ibu dari apa yang terlihat. Pun ibu tidak terus terang kebiasaannya yang menyebabkan sering munculnya sakit di lutut.

“Ibu sih masih suka bikin kue. Berdiri terlalu lama di dapur. Kurangi aktivitasnya, Bu,” aku jadi sok menasihati. Tapi, ibu tidak marah atau tersinggung.

Dari dulu, ibu punya kebiasaan menjual makanan. Kadang ke pasar, kadang ke sekolah. Ada saja makanan yang dibuatnya. Kue buatan ibu selalu laku. Itu juga yang membuatku senang: memiliki ibu yang mahir memasak.

Sekarang, ibu menjual kue lebaran. Bisnis kecil-kecilan itu mulai digeluti selama lima tahun belakangan sejak toko sembako milik Hajjah Aminah yang berjarak seratus meter dari rumah ibu meminta supaya ibu menyediakan kue-kue kering untuk dijual di toko tersebut.

Menjelang lebaran, permintaan kue biasanya meningkat. Dengan harga yang disepakati, ibu menyanggupi permintaan Hajjah Aminah itu.

Dulu, ibu hanya menjual kue dalam jumlah kecil. Paling-paling 20 toples saja. Kadang sengaja dibuat untuk dimakan sendiri. Tapi, sejak pesanan meningkat, jumlah kue yang dibuat bisa sampai 200 toples. Hal itu tentu sangat menguras tenaga, meskipun ibu dibantu beberapa orang tetangga yang memang tidak mempunyai pekerjaan.

“Ibu udah jarang bikin kue kok, Le,” lagi-lagi ibu tak mau berterus terang.

Lha, kemarin Tomo kirim foto ke saya,” kataku menyanggah keterangan ibu, “katanya Ibu barusan beli toples banyak buat kirim kue pesanan.”

Ibu tertawa. Paham kalau aku sudah mendapatkan info dari sumber tepercaya: Tomo, adik kandungku. “Itu kan cuma sedikit, Le. Nggak papa kalau sedikit,” elak ibu sambil tertawa.

Tak sopan rasanya jika aku terus mendesak dan memaksa ibu mengakui kalau sakit lututnya disebabkan terlalu banyak aktivitas di dapur. Bagaimana pun, itu adalah kebiasaan ibu sejak dulu.

Bahkan ketika menjelang lebaran, ibu nyaris tak tidur malam kecuali satu atau dua jam saja. Mulai dari memasak opor ayam dan aneka lauk di sore hari, hingga memasak lontong di malam hari.

Pekerjaan itu dilakukan tanpa henti. Ibu ingin makanannya terlilhat segar, tidak basi dikonsumsi esok hari. Makanya, masakan itu dibuat mepet dengan waktu menjelang shubuh. Aku kadang kasihan. Tapi, ibu tak pernah mengeluh ngantuk atau kecapekan.

“Ah, Ibu sukanya gitu. Ya udah, tapi kalau malam pastikan istirahat yang cukup, Bu. Nanti saya kirim uang buat beli obat atau ke dokter. Minta antar sama Tomo ya, Bu,” kataku.

“Iyo, Le. Terima kasih banyak,” kata-kata yang mestinya tak perlu terucap dari seorang ibu kepada anak. Toh, ibu berhak atas apa yang aku punya. Di luar kewajibanku memberikan nafkah untuk keluargaku. “Kiriman yang kemarin juga belum habis kok udah mau dikasih lagi,” sambung ibu.

“Kan sedikit, Bu,” aku membalikkan kata-kata ibu.

“Itu banyak, Le. Makanya Ibu mau berterima kasih sama kamu.”

“Nggak perlu, Bu,” aku merasa malu sekaligus tersanjung mendengar ucapan terima kasih dari ibu. Justru di sinilah bahayanya ketika seorang anak merasa berjasa kepada ibunya hanya dengan memberikan sedikit yang dia punya. Sementara dulu ibu rela memberikan apa saja demi anaknya. Hidup dan matinya ia curahkan untuk kami, anak-anaknya.

“Ngapain berterima kasih sih, Bu,” kataku, “lha wong cuma sedikit. Yang penting Ibu jaga kesehatan. Jangan terlalu capek.”

Ibu tertawa lagi. Mungkin menganggapku terlalu cepat dewasa. “Ya udah kalau gitu. Hati-hati di sana yo, Le. Aku doakan semoga kamu tetap sehat. Anak-anakmu juga sehat semua. Salam buat istri kamu. Aku juga doakan semoga dia tetap sehat.”

“Aamiin. Terima kasih, Bu.”

“Lebaran besok pulangnya pas hari apa?” tiba-tiba ibuku menanyakan hal yang tidak aku duga. Aku juga lupa memberi tahu ibu soal perkembangan terkini mengenai kebijakan pemerintah yang melarang mudik sebagaimana tahun sebelumnya.

“Saya masih bingung, Bu. Soalnya sekarang ada masa larangan mudik,” aku menyesal mengatakan itu kepada ibu. Sudah hampir dua tahun aku tidak pulang ke rumah ibu.

Kali ini, hal yang sama sepertinya bakal terjadi lagi. Pandemi masih menjadi hantu di negeri ini. Bahkan hampir di seluruh dunia.

“Maksud kamu bagaimana?” ibu bertanya memastikan keputusanku.

Aku mencoba menjelaskan dengan pelan supaya ibu mau mengerti. “PNS nggak boleh mudik dulu, Bu. Masih pandemi Covid-19.”

“Halah, opo meneh iki,” ibu sepertinya kecewa. Aku yakin ibu bukan tidak tahu bahwa saat ini angka Covid-19 masih tinggi. Tapi, ia berharap bahwa itu tak menjadi penghalang anaknya untuk pulang dan bertemu dengannya.

Ibu, seandainya engkau tahu, aku juga rindu bertemu dengan ibu. Tapi, aku juga harus patuh dengan aturan di organisasi tempatku bekerja.

“Kalau nekad mudik, bisa kena sanksi,” kataku.

“Sanksinya apa? Dibayar saja. Yang penting kamu bisa pulang, Le,” ibu merespons dengan cepat kalimatku.

“Sanksinya disiplin, Bu. Disiplin PNS.”

Disiplin PNS? Apa lagi? Ah, ibu. Kau mungkin tidak paham dunia birokrasi. Aku juga tidak ingin memaksamu mengerti tentang dunia pekerjaanku. Aku benar-benar minta maaf.

Sejak dulu, yang ibu tahu adalah berjualan makanan. Entah di Jakarta atau kini setelah pulang kampung, sama saja. Berjualan makanan seolah-olah sudah menjadi kegemarannya.

Di saat aku masih berpikir bagaimana menjelaskan soal larangan mudik, ibu berkata, “Ibu pernah dengar kalau pulang kampung nggak papa. Yang dilarang itu mudik. Apa benar to, Le?”

Ha ha ha, Ibu bisa saja. Ada saja orang yang membuat perbedaan antara mudik dan pulang kampung. Padahal, mudik itu artinya pulang ke kampung halaman. Itu versi KBBI daring, loh. Mau membantah?

Lalu, bagaimana ceritanya kalau ada yang mengatakan mudik beda dengan pulang kampung? “Yo wis, intinya PNS dilarang bepergian, Bu,” kataku menjawab pertanyaan ibu.

“Kalau begitu, Ibu nggak usah masak opor ya?” pertanyaan ibu sontak membuatku terkejut juga sedih. Sejak kecil aku paling suka opor ayam masakan ibu. Rasanya enak, apalagi kalau ditambah sambal goreng hati dan remukan krupuk mi dan bawang goreng. Aromanya makin harum.

“Lha kan di rumah cuma ada Ibu sama Tomo, adik kamu,” lanjut ibu.

Saya minta maaf, Bu. Insya Allah setelah masa larangan mudik, saya ambil cuti. Anak-anak juga sudah kangen sama mbahnya. Sudah bosan di rumah terus katanya.

“Ya sudah. Kalau lagi repot atau memang aturannya nggak boleh mudik ya jangan nekad, Le,” ibu mengalah dengan keputusanku. Bagaimana pun, ia paham apa yang terbaik bagi anaknya.

“Maafkan Tomi ya, Bu,” kataku dengan air mata berkaca-kaca. Ibu pasti tak tahu perubahan wajahku setelah mengucapkan kalimat itu.

Saat emosiku naik, tiba-tiba ibu berkata, “Kamu nggak usah sedih, Le. Ibu nggak papa. Yang penting kami kamu tidak kena masalah di kantor. Kerja yang benar. Jaga kesehatan, ya.”

Dari mana ibu tahu kalau aku tiba-tiba bersedih? Ah, sepertinya ada yang membocorkan informasi kepada ibu. Entah siapa. Tunggu aku, ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar